Carmen terdiam kaku. Perempuan itu memilin cincin emas di jari manisnya, itu cincin pernikahan. Mengapa hidup tidak berjalan seperti yang diinginkan?
Carmen merasa hidupnya semakin terkekang ketika mendapati kabar perjodohan yang diatur orang tuanya, sehingga membuat Carmen tidak punya pilihan selain terima. Jauh di lubuk hati terdalam, Carmen belum mau menikah. Nyatanya hal ini diatur sebagai keberlangsungan jangka panjang, yang mana disepakati antara ayahnya dan mitra bisnis. Selain itu juga, perjodohan ini menguntungkan, apalagi dapat meningkatkan derajatnya secara sosial. Sedangkan ibunya tidak dapat berbuat apa-apa selain patuh pada sang empu.
Terkadang Carmen pun miris memikirkan nasib ibunya, sebagai seorang inlander yang menikahi bangsawan Netherland, pernikahan mereka dianggap tidak sah di mata hukum. Meski tidak menginginkan pernikahan itu, dia berusaha menjalani hari-hari pernikahannya dengan baik. Namun suami yang menikahinya, Arne Klaas, mencintai perempuan lain dan memilih mendua. Arne juga tidak menganggap dan memperlakukan dirinya dengan baik. Kehidupan pernikahan bahagia yang sungguh ironis.
Senyum pahit terukir di bibir Perempuan itu, sorotnya menatap mata biru itu hampa, “Aku sudah menikah will, maaf.”
~~~
Arne gelisah dan amarah membuncah menguasi diri. Asisten pribadinya melaporkan hal tak terduga dan mengejutkan tentang sang istri, Carmen. Akhir-akhir ini dia sering mendapati Carmen pulang larut malam dan tidak mengacuhkan dirinya ketika ditanya. Ternyata semua itu terjawab. Arne membenci perilaku perempuan itu, terlebih dia bermain di belakangnya.
“Ada apa denganmu, sejak kapan kau peduli dengan apa yang kulakukan?” Carmen tidak terima saat Arne memaksanya mengundurkan diri dari Militare Hospital.
“Kau itu perempuan, lebih baik melayani suami daripada mengurusi orang lain. Lagipula, kau pikir aku tidak tahu kalau kau selingkuh dengan Perwira? Dan apa itu, kau juga membangun klinik rahasia untuk kaum pribumi bodoh itu?” cibir Arne memandang Carmen rendah. “Kau benar-benar dalam masalah, Carmen.”
Perempuan itu menatap Suaminya tidak percaya. Dibalasnya tuduhan dan ucapan kasar itu, “Aku tidak pernah berselingkuh, kaulah yang melakukannya! Entah siapa yang memberitahumu omong kosong ini, terlebih aku membantu pribumi? Memangnya apa yang salah ketika aku menolong kaumku? Beraninya kau mengatakan itu padaku seolah dirimu yang paling benar?!”
Arne gelap mata sehingga tidak dapat menahan diri untuk menampar wajah Carmen kencang, perempuan itu terhuyung hampir terjatuh. Sejenak Arne tertegun. Pipi istrinya memerah, tatapan tajam penuh kebencian ditujukan untuknya. Carmen segera berlari keluar rumah meninggalkannya.
Pria itu menyesali seketika, di luar sedang ada gencatan senjata antara faksi Djepang dan Netherland, seharusnya itulah yang dia sampaikan pada perempuan itu.