Mohon tunggu...
Mutia Rachma
Mutia Rachma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Wanderer, cooking and sport enthusiast. https://www.tumblr.com/blog/duniamute

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inspirasi Pak Budi

28 Juni 2016   15:20 Diperbarui: 28 Juni 2016   15:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada dipikiranmu saat mendengar kata guru? Pahlawan yang berjasa mendidik dan mengajar orang-orang yang berhasil membangun bangsa ini. Pasti terlintas sepeda tua dan dedikasi tinggi ala Omar Bakri. Atau keringat dan senyum dalam gubuk reyot tempat segelintir siswa duduk dengan semangat menimba ilmu. Aku sangat berharap pikiran-pikiran seperti itu yang terlintas di kepalaku saat ditanya seperti apa guru dalam bayanganku. Sayang tidak begitu.

Aku Rinta, sepanjang aku menimba ilmu di bangku sekolah, sering kali aku dikelabuhi oleh orang-orang tanpa dedikasi yang haus harta dan kekuasaan dalam topeng ketidaktulusan. Sedihnya orang-orang tersebut adalah mereka yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, guru.

“Apalagi kali ini?” Tanya ibu padaku saat aku SMP

“Uang untuk bayaran renang…” Kataku

“Lho bukannya kamu gak ikut renang?” Tanya ibu lagi,

“Iya tapi harus tetap bayar.” Jawabku

Ibu menggeleng sambil menghela napas kehabisan kata-kata.

Dialog itu terjadi di SMP dan semakin banyak di SMA. Keluhan-keluhan akan guru hanya sebatas keluhan karena memang kenyataannya sudah menjadi lazim guru meminta iuran ini dan itu. Bahkan suatu kali aku dan teman sekelas diminta untuk membeli modul buku yang ia tawarkan dengan harga tinggi. Tentu saja dengan iming-iming nilai yang sudah terjamin baik. Dalam pandangan objektifnya, ibu membela guru-guru tersebut,

“ Kadang, memang kita juga perlu mengerti..” kata ibu suatu hari. Ia terdiam tampak berusaha memilih kata-kata. “ Mengerti bahwa pendapatan para guru itu tidak seberapa, bahwa mereka juga membutuhkan tambahan uang untuk kelangsungan hidup keluarga.”

“Tapi kenapa harus meminta begitu, rasanya aneh..” Kataku tidak suka

“Yah, memang seharusnya sebagai pendidik mereka tidak pantas meminta iuran macam-macam. Apalagi murid-muridnya mengerti bahwa sang guru tersebut berbuat salah.”

Obrolanku dengan ibu hanya sampai situ. Tidak ada pembahasan lain, tidak ada pengaduan hanya ada pemakluman dan mencoba betapa pun tidak suka dan tidak rela uang iuran tersebut masuk ke kantong mereka, aku dan ibu harus mengerti. Mengerti perjuangan mereka sebagai orangtua.

***

Aku tumbuh besar dengan guru-guru semacam itu. Ada banyak juga guru-guru baik dan tulus yang sangat berperan dalam perkembangan wawasan serta nilai-nilai yang sangat mempengaruhi hidupku. Namun memang guru dengan predikat ‘matre’ atau sederhananya suka meminta uang begitu berkesan. Tentu kesan negatif.

Hingga, aku yang saat SMA tertarik dengan kebudayaan Jepang diterima di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran. Di sana lah aku melihat sosok seorang dosen, sederhana dan bersahaja. Tutur katanya lembut, tulus dan penuh makna. Rasanya apa pun yang dikatakan beliau adalah benar, meskipun ia sering kali berkata,

“Kita di kelas ini, sama-sama belajar..” Yang kami tangkap sebagai ungkapan rendah hati seorang dosen, bahwa seakan beliau tidak selalu benar dan belum banyak tahu mengenai apa pun meskipun kenyataan berkata sebaliknya.

Nama beliau adalah Budi Rukhyana, yang sering dipanggil Budi sensei. Sensei dalam bahasa Jepang berarti guru atau dosen. Beliau dosen beberapa mata kuliah di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran yang membahas Jepang dari sudut sosiologi, pola pikir serta kebudayaan. Sebagai dosen Sastra Jepang, ia tahu betul apa yang terjadi pada Jepang, pola pikirnya, semangat, disiplin, kerja keras serta kebanggaan akan tanah air merupakan hal-hal yang patut ditanamkan pada setiap diri bangsa Indonesia terhadap negeri tercinta. 

****

Meskipun kami kuliah di Sastra Jepang, tidak lantas mendewakan segala sesuatu yang berasal dari Jepang. Jepang dengan berbagai kelebihannya memang patut ditiru dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tentu ada kekurangannya. Tapi yang Budi sensei sering bahas dalam kelas adalah aite no kimochi. Aite no kimochi dalam bahasa Indonesia berarti perasaan lawan. Lawan di sini diartikan lawan pembicara bisa teman, keluarga, pasangan, penjual dan lain sebagainya.

Menurut beliau, ini kecenderungan sifat bangsa Jepang. Mereka sangat mengutamakan aite no kimochi. “Apakah ini hal baik yang perlu ditiru?” tanyanya pada sebuah sesi kelas Nihonjijo*. Ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berpendapat baik dan tidak baik lalu sesi berpendapat diakhiri dengan uraian panjang beliau mengenai aite no kimochi.

“ Aite no kimochi bisa baik jika, jika kita memposisikan orang lain dengan tepat. Artinya sebelum kita bertindak dan berkata pada seseorang dalam sebuah forum diskusi atau obrolan dengan memikirkan perasaan lawan bicara mereka. Apakah mereka akan tersinggung atau tidak, bagaimana cara mengutarakan pendapat tanpa menyinggung dan lain sebagainya. Namun, aite no kimochi pada bangsa Jepang sering menyulitkan hubungan pertemanan. Dalam tata bahasa, mereka tidak selalu bisa berkata to the point. Seringkali hanya mengacu pada hal yang dimaksud karena terlalu memikirkan perasaan lawan bicara. Ini menyulitkan bagi lawan bicara dari bangsa lain sebut saja Indonesia.” Begitu Penjelasan Budi Sensei kala itu.

Namun dalam banyak hal, aku jadi berpikir mengenai aite no kimochi. Menurutku, bicara bisa to the point tapi prinsip aite no kimochi juga penting untuk diterapkan. Karena, kadang mulut atau perbuatan yang tidak dipikirkan akan berdampak buruk. Perkataan yang penuh emosi dan tanpa dipikir dapat menyulut pertengkaran yang banyak berakhir dengan kematian.

****

Aku saat itu tidak begitu tahu berapa jumlah gaji seorang dosen. Tapi sepertinya besar namun tidak sebesar seorang professional yang bekerja di perusahaan asing atau profesi lain. Tapi kurasa, dengan jam terbang mengajar yang tinggi, tawaran mengajar di mana-mana serta berbagai permintaan seminar pendapatan dosen bisa sangat besar. Ah aku tidak pernah begitu ingin tahu.

Melihat banyak dosen lain ke kampus mengajar dengan berbagai merek mobil mahal, dandanan yang super stylish serta tentengan yang menunjukan kelas sangat berbeda apabila aku mengalihkan pandangan pada bapak Budi. Beliau termasuk dosen sederhana dengan gaya sederhana dan kendaraan yang sederhana. Namun kesederhanaannya menjadi karisma yang membuat beliau begitu dihormati rekan serta mahasiswa-mahasiswi di kampus. Beliau sangat mendukung segala bentuk kegiatan yang sifatnya menambah ilmu pengetahuan di kampus. Sering memberi informasi mengenai lomba essay serta membantu siapa pun yang tidak segan bertanya mengenai segala hal termasuk kemahasiswaan.

Saat beliau menjabat kedudukan pembantu dekan bidang pendidikan pun, beliau tetap Budi sensei yang rendah hati dan suka berbagi ilmu. Sosoknya yang ramah dan tutur kata yang menenangkan membuat semua seakan senang berdekatan dengannya.

***

Jatinangor, hari itu mendung pekat menggantung di langit. Mata kuliah hanya satu dengan dosen bapak Budi Rukhyana. Rasanya melangkahkan kaki keluar dari kosan menuju kampus begitu malas. Tapi dosen yang sering menginspirasi dengan kata-kata tajam yang diutarakan dengan lembut tapi begitu bermakna, bapak Budi menarikku keluar menuju kampus yang terletak di atas bukit.

Seperti langit Jatinangor hari itu, tampaknya pak Budi sedang dirundung mendung meskipun tetap tersenyum tulus seperti biasa. Tapi aku membawa pulang sesuatu dari kelasnya.

Bagai tamparan ia berujar “Untuk apa kamu jadi mahasiswa tanpa kontribusi.”

Mungkin itu hanya kata-kata yang lewat begitu saja tapi begitu dalam mengangguku. Apa kontribusiku sebagai mahasiswa ya? Aku jadi bertanya-tanya. Sebagai manusia? Aku semakin gelisah dan tidak karuan. Aku terus memikirkan kata ‘Kontribusi’ dan ‘mahasiswa’. Hingga menyadari bahwa aku tidak punya sedikit pun kontribusi pada apa pun. Menyedihkan.

Kuliah hari ini berbuah dengan pemikiran bahwa aku harus berbuat sesuatu. Lantas aku memutuskan dari hal yang paling sederhana yang aku bisa. Di dekat kosan tempat aku tinggal terdapat sebuah kelas mengaji anak-anak kecil dari lingkungan sekitar, pengajarnya mahasiswa-mahasiswi yang kos di sekitar daerah yang bernama Sukawening tersebut. Kelas mengaji juga diisi kegiatan belajar mengajar yang efektif. Aku sebagai bagian dari realisasi kontribusi, memutuskan bergabung untuk mengajar di kelas tersebut. 

Rasanya, tak ada yang istimewa namun dalam hati aku senang sekali bisa menjadi bagian dari pengajar yang melihat proses berkembangnya anak-anak dari yang tidak bisa mengaji atau membaca hingga bisa melakukan hal tersebut bahkan dengan lebih baik. Kebanggan bisa berkontribusi menjadi hal terbaik bagiku. Kontribusi lain yang aku lakukan adalah dengan menulis. Yah aku suka menulis. Segera saja aku menulis beragam opini tentang lingkungan, politik, film dan lain sebagainya pada sebuah Koran. Menurutku, menyampaikan opini menjadi bagian kontribusi kecil.

Memang kata-kata yang diucapkan beliau, baginya hanya selewat tapi ternyata begitu mengena hingga menarik dan membangun kesadaran padaku juga banyak teman yang mengikuti mata kuliah beliau.

****

Pandangan-pandangan pak Budi begitu sangat menginspirasi banyak orang. Dan aku salah satu yang rajin mencatat beragam pandangannya yang sederhana tapi bermakna. Pada polemik universitas menjadi world class university beliau dengan tutur kata yang lembut mengatakan bahwa :

“Jika world class university ukurannya infrastruktur percuma saja. Karena infrastruktur yang bagus harus ditunjang dengan superstruktur yang baik..”

“apa maksudnya sensei?” Nugraha salah seorang teman kelasku bertanya,

“superstruktur itu adalah manusia-manusia yang memahami kondisi dan situasi. Misalnya sebuah software yang memudahkan penulisan huruf dengan bahasa Jepang baru saja diluncurkan. Software tersebut dibagikan secara gratis di kampus. Hal tersebut membutuhkan orang-orang yang mampu dan mau belajar agar dapat menggunakan software tersebut. Maka pentingnya pengetahuan sebelum software digunakan.”

“Jadi intinya superstruktur harus dibenahi sebelum ada pembenahan infrastruktur.” Kataku menyimpulkan

“Betul, kita harus memperbaiki diri untuk pantas menggunakan infrastruktur yang layak.” Katanya menutup satu lagi kelas penuh makna.

Pandanganya mengenai sastra tak akan pernah aku bisa lupa. Menurut beliau sastra punya fungsi Yutaka na kokoro. Apakah itu?

Yutaka na kokoro dalam bahasa Indonesia berarti mengkayakan batin. Fungsi sastra secara umum adalah mengkayakan batin. Sastra hadir untuk mempertanyakan sekaligu menjawab pertanyaan dalam kehidupan. Sastra juga hadir untuk menelanjangi pikiran manusia. Apa yang didapat seseorang setelah membaca kisah sastra? 

Pengetahuan baru, kisah baru, jendela baru, pandangan baru, negeri asing yang baru serta sederet hal baru yang membuka tabir ilmu sehingga pada akhirnya menjadikan batin kita penuh, kaya dan utuh. Sastra juga punya peran yang besar dalam perkembangan kebudayaan karena memang bagian dari kebudayaan tersebut. Perkembangan sastra menjadi salah satu faktor penentu majunya sebuah bangsa. Indonesia bisa menjadi bangsa besar dengan sastra, semakin berkembang sastra di Indonesia semakin kaya manusia-manusia Indonesia maka semakin harmonis negeri ini.

****

Jika aku ditanya lagi, apa yang terlintas saat kamu mendengar kata guru? Kali ini aku akan berkata,

“boleh aku ganti dengan kata pengajar? Jika boleh, pengajar termasuk guru dan dosen adalah orang-orang yang berperan dalam perkembangan jiwa seseorang, manusia sederhana tanpa pamrih yang selalu dan akan terus menginspirasi calon-calon orang sukses yang duduk dihadapannya. Selalu penuh pikiran optimis bahwa bangsa Indonesia akan dipenuhi oleh generasi-generasi bijak dan cerdas yang telah dibimbingnya saat sekolah.

Bapak Budi Rukhyana yang aku kira saat ini masih mengabdi menjadi pendidik, pendorong semangat dan pemberi inspirasi di Universitas Padjadjaran telah begitu menginspirasi dengan berbagai kata-kata penuh makna, pandangan yang tajam, ketulusan dan kesederhanaan yang menyatu dalam kebersahajaan seorang pengajar. Aku salah satu dari sekian banyak orang yang terinspirasi, yang mengagumi dan terus berdoa dan berharap bahwa semua pengajar akan seperti beliau.

Kita perlu berterima kasih atas peran pengajar seperti beliau. Aku ingin semua orang tahu bahwa menjadi pengajar adalah sebuah profesi luar biasa. Mereka tanpa sadar mengarahkan para peserta didiknya pada sebuah nilai, pandangan yang membuka pikiran dan mengubah hidup seseorang. Mereka adalah super agen yang berperan dalam agenda perubahan nasional yang mungkin tak mendapat tanda jasa berupa lencana atau bunga tapi mereka berjasa menelurkan generasi-generasi cerdas dan berbudi pekerti.

“ Terima kasih pak budi.” Kataku saat kembali mengunjungi kampus yang kosong pada hari minggu yang ditemani cahaya cerah matahari pagi itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun