Apa yang ada dipikiranmu saat mendengar kata guru? Pahlawan yang berjasa mendidik dan mengajar orang-orang yang berhasil membangun bangsa ini. Pasti terlintas sepeda tua dan dedikasi tinggi ala Omar Bakri. Atau keringat dan senyum dalam gubuk reyot tempat segelintir siswa duduk dengan semangat menimba ilmu. Aku sangat berharap pikiran-pikiran seperti itu yang terlintas di kepalaku saat ditanya seperti apa guru dalam bayanganku. Sayang tidak begitu.
Aku Rinta, sepanjang aku menimba ilmu di bangku sekolah, sering kali aku dikelabuhi oleh orang-orang tanpa dedikasi yang haus harta dan kekuasaan dalam topeng ketidaktulusan. Sedihnya orang-orang tersebut adalah mereka yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ya, guru.
“Apalagi kali ini?” Tanya ibu padaku saat aku SMP
“Uang untuk bayaran renang…” Kataku
“Lho bukannya kamu gak ikut renang?” Tanya ibu lagi,
“Iya tapi harus tetap bayar.” Jawabku
Ibu menggeleng sambil menghela napas kehabisan kata-kata.
Dialog itu terjadi di SMP dan semakin banyak di SMA. Keluhan-keluhan akan guru hanya sebatas keluhan karena memang kenyataannya sudah menjadi lazim guru meminta iuran ini dan itu. Bahkan suatu kali aku dan teman sekelas diminta untuk membeli modul buku yang ia tawarkan dengan harga tinggi. Tentu saja dengan iming-iming nilai yang sudah terjamin baik. Dalam pandangan objektifnya, ibu membela guru-guru tersebut,
“ Kadang, memang kita juga perlu mengerti..” kata ibu suatu hari. Ia terdiam tampak berusaha memilih kata-kata. “ Mengerti bahwa pendapatan para guru itu tidak seberapa, bahwa mereka juga membutuhkan tambahan uang untuk kelangsungan hidup keluarga.”
“Tapi kenapa harus meminta begitu, rasanya aneh..” Kataku tidak suka
“Yah, memang seharusnya sebagai pendidik mereka tidak pantas meminta iuran macam-macam. Apalagi murid-muridnya mengerti bahwa sang guru tersebut berbuat salah.”