"Kinan, jangan lupa niat puasanya."
Tak ada sahutan dari Kinan, membuat ibunya kembali berteriak.Â
"Kinan! Kinan! Kalau diajak ngomong itu nyahut, Kinan."
"Iya, Mak, Iya!" Jawab Kinan sambil meletakan piring ke tempat cucian. Na'as terlalu keras hingga lima buah piring beling itu pecah berkeping-keping.Â
Terkejut melihat apa yang terjadi, Kinan buru-buru membereskannya. Namun karena kurang hati-hati tangannya tergores ujung beling yang runcing. Darah menetes dari lukanya. Meskipun Kinan berusaha menghentikan dengan sebelah tangannya tetapi darah tak kunjung berhenti.Â
"Astagfirullah, Kinan!" Jerit ibunya dari ambang pintu dapur. Kinan yang panik dan merasa bersalah terkejut melihat sang Ibu kemudian bangkit dan berlari ke luar rumah lewat pintu belakang. Kinan terus berlari meninggalkan rumahnya.Â
"Kinan! Kinan!" Masih terdengar di telinganya suara ibu memanggil-manggil. Namun Kinan tak peduli, ia terus saja berlari hingga tak terasa ia telah sampai di ujung desa.Â
Sebuah mobil bak terbuka melintas. Kinan berteriak dan menghentikan mobil tersebut. Setelah berhenti, Kinan meminta ijin sang Sopir untuk menumpang. Kemudian dengan sigap Kinan melompat ke atas begitu dapat persetujuan.Â
Mobil melaju menembus pagi. Angin sepoi menerpa tubuh Kinan. Membuatnya merasa ngantuk dan tertidur.Â
Hari sudah siang, saat sopir mobil bak membangunkan. Kinan yang setengah bingung terbangun dan melompat turun dari Bak. Kemudian ia melangkah menyusuri jalanan tanpa tahu arah dan tujuan.Â
Sesekali Kinan berhenti dan istirahat saat merasa lelah. Semakin jauh perjalanan Kinan semakin bingung. Ia mulai menyesali perbuatannya. Seharusnya ia tak kabur dari rumah.
"Harusnya aku minta maaf. Harusnya aku tidak pergi." Kalimat-kalimat penyesalan terus meluncur dari mulutnya. Namun hal itu tak merubah keadaan. Kini Kinan sendirian berada di jalanan yang tak ia ketahui di mana tepatnya.Â