Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kinan

1 Juni 2021   15:17 Diperbarui: 1 Juni 2021   15:28 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kinan masih lelap tertidur. Meski tepukan bertubi-tubi di pipi serta kaki kecilnya ditarik. Tubuhnya telah menjuntai setengah ke bawah hingga menyentuh lantai. Tangannya reflek menggapai-gapai saat hidungnya dipencet tangan besar ibunya demi membuat remaja tanggung itu terbangun. 

"Maaak!" teriak Kinan dengan mata tertutup. 

"Borokokok! Bangun, sahur! Keburu imsyak."

"Ini udah bangun, Mak," jawab Kinan sambil bangkit dengan menjinjing selimut yang ikut terjatuh ke lantai. Kemudian gadis itu kembali membanting tubuhnya ke atas kasur membuat sang Ibu naik pitam. 

"Astagfirullah, Kinannn!" Dengan sekuat tenaga ibu menarik telinga Kinan, tak peduli gadis itu menjerit-jerit kesakitan. 

Setelah berhasil bangun. Kinan melangkah sempoyongan ke kamar mandi. 

"Kakaaak!" teriak Kinan, saat titik-titik air mendarat di wajahnya. Sang Kakak hanya terkekeh melihat adiknya yang meradang. Ia berjalan cepat ke meja makan meninggalkan Kinan yang terus mengomel hingga tubuhnya masuk ke kamar mandi. 

"Cuci muka, gosok gigi, Kinan! Jangan tidur di kamar mandi." Lagi-lagi suara ibu Kinan terdengar dari arah ruang makan. 

Setelah selesai dengan aktifitasnya, Kinan bergegas ke ruang makan mendapati keluarganya yang telah menunggu. 

Semua anggota keluarga Pak Barata telah berkumpul. Tiga kakak lelaki Kinan, ibu serta ayahnya telah duduk di kursinya masing-masing sambil menikmati makanan mereka. 

Masih dengan menggerutu Kinan duduk dan mengambil piring berisi nasi yang disodorkan ibunya. 

"Makan yang banyak biar besok gak lemes. Jangan lupa doa dulu." Petuah ibu yang hanya numpang lewat di telinga Kinan. Ayah dan kakak-kakak Kinan hanya menggeleng-geleng melihat Kinan yang terus menekuk wajahnya. 

"Sahur aja ogah-ogahan, giliran siang aja kratakan di dapur," ledek Haris kakak Kinan yang pertama pada adik bungsunya. 

"Fitnah banget si!" jawab Kinan kesal. 

"Sudah, sudah, sudah! Makan!" lerai ibu Kinan membuat keempat anaknya terdiam. Sang Ayah hanya tersenyum melihat anak-anak dan istrinya heboh di meja makan. 

Setelah dua puluh menit berlalu, satu persatu anggota keluarga itu meninggalkan ruang makan. Menyisakan Kinan dan ibunya. 

"Setelah ini cuci piring, Kinan," perintah ibu Kinan lembut. 

"Kinan sendiri, Bu?"

"Iyalah, masa harus ibu lagi yang nyuci."

"Ah! Ibu mah pilih kasih, masa Kinan aja yang disuruh-suruh," ucap Kinan kesal merasa ibunya tak adil. 

"Ya, ampun, Kinan!"

"Iya-iya, Kinan cuci piring."
Walaupun terpaksa Kinan membereskan meja makan dan membawa piring-piring kotor ke dapur. 

"Kinan, jangan lupa niat puasanya."
Tak ada sahutan dari Kinan, membuat ibunya kembali berteriak. 

"Kinan! Kinan! Kalau diajak ngomong itu nyahut, Kinan."

"Iya, Mak, Iya!" Jawab Kinan sambil meletakan piring ke tempat cucian. Na'as terlalu keras hingga lima buah piring beling itu pecah berkeping-keping. 

Terkejut melihat apa yang terjadi, Kinan buru-buru membereskannya. Namun karena kurang hati-hati tangannya tergores ujung beling yang runcing. Darah menetes dari lukanya. Meskipun Kinan berusaha menghentikan dengan sebelah tangannya tetapi darah tak kunjung berhenti. 

"Astagfirullah, Kinan!" Jerit ibunya dari ambang pintu dapur. Kinan yang panik dan merasa bersalah terkejut melihat sang Ibu kemudian bangkit dan berlari ke luar rumah lewat pintu belakang. Kinan terus berlari meninggalkan rumahnya. 

"Kinan! Kinan!" Masih terdengar di telinganya suara ibu memanggil-manggil. Namun Kinan tak peduli, ia terus saja berlari hingga tak terasa ia telah sampai di ujung desa. 

Sebuah mobil bak terbuka melintas. Kinan berteriak dan menghentikan mobil tersebut. Setelah berhenti, Kinan meminta ijin sang Sopir untuk menumpang. Kemudian dengan sigap Kinan melompat ke atas begitu dapat persetujuan. 

Mobil melaju menembus pagi. Angin sepoi menerpa tubuh Kinan. Membuatnya merasa ngantuk dan tertidur. 

Hari sudah siang, saat sopir mobil bak membangunkan. Kinan yang setengah bingung terbangun dan melompat turun dari Bak. Kemudian ia melangkah menyusuri jalanan tanpa tahu arah dan tujuan. 

Sesekali Kinan berhenti dan istirahat saat merasa lelah. Semakin jauh perjalanan Kinan semakin bingung. Ia mulai menyesali perbuatannya. Seharusnya ia tak kabur dari rumah.

"Harusnya aku minta maaf. Harusnya aku tidak pergi." Kalimat-kalimat penyesalan terus meluncur dari mulutnya. Namun hal itu tak merubah keadaan. Kini Kinan sendirian berada di jalanan yang tak ia ketahui di mana tepatnya. 

Hari semakin gelap saat Matahari tenggelam di ufuk barat. Kinan berdiri mematung di depan sebuah Masjid hingga seorang wanita paruh baya membawanya. 

Kinan menurut semua ajakan dan perintah wanita tersebut. Sambil berurai air mata Kinan menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan wanita tersebut dan menceritakan kejadian detail mengenai dirinya. 

"Sudah, jangan menangis lagi. InsyaAllah nanti kami akan membantumu pulang," ucap wanita itu membuat Kinan merasa lega. 

"Sekarang makan dulu ya," ucap WA ita itu lagi yang dibalas anggukan oleh Kinan. 

Kinan mengambil sebuah lontong dari piring dengan tangan bergetar. Kemudian membuka bungkusnya dan makan dengan berurai air mata. Ia benar-benar merasa lapar. Saat ia menempelkan ujung lontong ke lidahnya, dada Kinan sesak di penuhi rasa rindu keadaan rumah. 

Terbayang bagaimana ibu selalu memperhatikan dan mengingatkan dalam segala hal. Baru kali ini menyadari segala amarah serta sikap cerewet ibu adalah bentuk kasih sayangnya.

Pulang dan kembali bersama keluarganya, hanya itu yang diinginkan Kinan sekarang. 

Tamat

Mutia AH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun