Tebar pesona dengan keliling desa menggunakan mobil Ayla miliknya. Kesibukan barunya membuat Sukir lupa dengan pekerjaannya di kota. Pada dasarnya, ia memang tak butuh pekerjaan karena toko beras Haji Dulah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga tujuh turunan.
"Sukir, shalat Maghrib. Ojo dolanan HP bae, inget maring Sing Gawe Urip," nasihat Haji Dulah pada putra bungsunya.
"Halahh, Pak! Giliran waras bawel," ucap Sukir cuek.
Begitulah kerjaan Sukir, tebar pesona dan pijit-pijit HP setiap harinya.
"Sukir, wayah Maghrib masuk omah, ora ilok ndodok nang ngarep lawang." Kembali Haji Dulah memperingatkan. Namun, pemuda itu sama sekali tak mengindahkan nasihat ayahnya, ia tetap asyik dengan gawai di tangannya.
Angin berembus membawa aroma kemenyan yang dibakar seseorang. Sukir bergidik ada hawa dingin menjalari tengkuknya ,tetapi sesaat kemudian tubuhnya merasakan hawa panas. Membuat lelaki itu gelisah dan uring-uringan tanpa alasan.
Hingga beberapa hari Sukir bersikap aneh, setiap waktu Maghrib ia kumat, meski hawa dingin karena seharian hujan, serta AC yang terus menyala di kamarnya, Sukir tetap merasa kepanasan.
Seperti petang ini, Sukir mondar-mandir di kamarnya. Bibi dan ayahnya hanya geleng-geleng kepala keheranan. Namun, tiba-tiba pemuda itu tertegun, memasang pendengarannya baik-baik. Kemudian, ia berlari ke luar rumah, disusul bibi dan ayahnya.
Sampai teras Sukir berhenti, dan tersenyum sumringah. Dilihatnya seorang gadis cantik tengah berjalan mendekat, dialah putri bungsu Nini Kesong.
"Lastri!" panggil Sukir kemudian. Membuat sepasang kakak beradik di belakangnya melongo keheranan, karena tak melihat siapapun di sana.
Tamat