Sebulan menikah, sawah sehektar Haji Dullah terjual untuk memenuhi tuntutan istri tercinta, Nini Kesong yang melegenda.
Tetangga dan saudara hanya geleng kepala, tanpa berbuat apa-apa, karena tak berhak ikut campur urusan orang lain.
Tentu saja anak dan cucu Haji Dullah tak bisa tinggal diam. Hingga suatu hari tanpa sepengetahuan Nini Kesong, Haji Dullah dibawa Sukir ke orang pintar.
Membawa Haji Dullah ke orang pintar, bukanlah perkara mudah. Setelah melewati drama penculikan untuk membawanya kabur dari rumah baru sang perempuan legenda penakluk duda kaya. Sukir juga harus mengalami suasana dilematis.
Bagaimana tidak, Sukir yang notabene lelaki modern yang berpikir serba logis. Harus menghadapi kenyataan ayahnya  mendapat guna-guna dari pemilik pelet jaran goyang, yang kini menjadi ibu tirinya.
Sukir mengacak rambutnya frustasi, Haji Dullah yang dari semalam ia bawa pulang paksa, terus saja mengigau menyebut nama Nini kesong. Lelaki tujuh puluh lima tahunan itu terus saja meronta, hendak lari menemui sang bidadari. Terpaksa, Sukir mengikat Haji Dullah di pembaringannya. Prihatin hati Sukir melihat Ayahnya tak berdaya.
"Bi, bapak bagaimana ini," tanya sukir pada Bi Inah, yang tak lain adalah adik kandung Haji Dullah.
"Gowo nggone mbah Petruk kae loh," ucap Bi Inah, mengusulkan pendapatnya.
"Dukun itu? Tidak, Bi, musyrik itu," Sukir diam berpikir.
"Meski shalatku bolong-bolong untuk ke dukun, tidaklah, Bi," lanjut Sukir kemudian.
"Lah terus piye, iso opo diobati dewek?" ucap wanita paruh baya itu kesal.
"Hemm ... Â tenang Bi, aku ada temen barang kali dia bisa bantu," ucap sukir semangat.