Merujuk kepada pilu yang dimaksud Nizar, Musyfiqur mewartakan, “Kepiluan seorang perempuan dalam pengamalan personal Nizar dapat dipastikan adalah istrinya yang meninggal secara mengenaskan” (hal. 13). Persoalan lain, ia ingin menegasikan seluruh konstruksi besar kesejarahan masa lalu yang telah “meracuni” pemahaman manusia sehingga asumsi tersebut sering kali dijadikan alasan untuk menempatkan perempuan tak lebih sebagai masyarakat kelas rendah yang dituntut untuk tunduk dan patuh kepada kelas utama, para lelaki (hal. 12).
Menangkap pernyataan tersebut, benar adanya jika puisi-puisi Nizar seolah mewakilkan jeritan hati perempuan. Baca sajaknya bertajuk: “Maukah Engkau Pergi Bersamaku Menuju Lautan Matra?”, “Schizophrenia”, “Engkau Menulis Puisi, Aku yang Menandatangani”, “Kepada Nona yang Menciptakan Keheningan”, “Percakapan Bersama Perempuan Paruh Baya” hingga “Wahai Nona yang Melepas Feminitasnya”. Tujuh dari tujuh belas puisi yang digarap dengan ramah oleh penerjemah cukup menjadi jawaban atas keberpihakan Nizar. Lalu mengapa saya menyebutnya ramah?
Tak lepas dari kepiawaian Musyfiqur Rahman mengalihbahasakan teks Arab ke dalam bahasa Indonesia, saya turut mengamini ungkapan Maman S. Mahayana, saya menikmati puisi Nizar Qabbani ini seperti bukan karya terjemahan. Diksinya terjaga dengan sangat baik. Itulah sebabnya—selayaknya puisi romantisme yang memiliki karakter ‘segar’—kita dapat menangkap maksud tanpa dipersulit dengan pemahaman yang rumit.
Berbeda dengan “Aku Ingin Engkau Menjadi Perempuan Sejati”, Nizar nampak mengindahkan perempuan sebagai sesuatu yang agung, mungkin sesekali aku bisa menemukan sebuah jazirah/dan sesekali pula mutiara dapat kujarah/namun, menemu perempuan adalah mukjizat termegah/ (hal. 21). Uniknya, ia juga memperhatikan konsonan akhir dalam setiap lariknya, sehingga nilai estetis puisi dapat tercipta.
Menerjemahkan makna sekaligus memainkan rima hingga berirama bukanlah hal yang mudah. Kejelian Musyfiqur nampak dalam puisi Nizar berikut, serta tertulis dalam buku-buku air, mawar, dan melati/aku ingin engkau ucapkan salam perpisahan bagai merpati/seperti air dalam gumpalan awan begitu murni (hal. 24). Pun dalam larik “Schizophrenia”, ketepatan diksi mampu mempengaruhi pelafalan, di antara kita ada banyak pemimpin tiran, informan/kantong-kantong kekuasaan/dan perusahaan saham gabungan/yang hendak memberantas cinta, revolusi, dan tulisan (hal 75). Inilah sekelumit penemuan yang saya yakin—berdampak pada spontanitas pembaca untuk mengatakan bahwa puisi-puisi ini memang layak dinikmati.
Menyoal ciri khas, hampir seluruh puisi Nizar mengandung repetisi. Menariknya, Nizar berkolaborasi dengan teknik penerjemah yang luwes, puisi-puisi ini berhasil memblokade istilah monoton. Meskipun demikian, kita tidak boleh mengabaikan makna yang ingin disampaikan penulis dalam sajak-sajaknya. Berikut saya tuliskan secara acak repetisi Nizar:
Apakah aku jatuh hati padamu?
Tak ada yang pasti
Apakah aku mengalami gangguan penglihatan dan jiwa?
Tak ada yang pasti
Apakah aku berkepribadian ganda?