Mohon tunggu...
Muthiah Nuraisyah Sadewo
Muthiah Nuraisyah Sadewo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana

NIM: 43121010266 - Mata Kuliah: Etika dan Hukum Bisnis - Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Etika dan Hukum Platon

26 Mei 2022   06:26 Diperbarui: 26 Mei 2022   06:37 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Plato mendefinisikan hukum sebagai sarana keadilan. Dia memetik inti ajaran kebijaksanaan Socrates, gurunya, kemudian menghubungkannya dengan hukum. Plato menghubungkan kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis di bawah pimpinan kaum bangsawan, berbeda dengan Socrates yang memposisikan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusialah yang menjadi letak perbedaan tersebut. Bagi Plato, kesempurnaan individu hanya mungkin terlahir dalam konteks negara di bawah kontrol para guru moral, para pemimpin yang bijak, dan para mitra bestari, yakni kaum bangsawan. Sementara bagi Socrates, secara individual manusia memiliki kemungkinan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada (kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri).

Menurut Plato, pemerintahan yang dikendalikan oleh kaum bangsawan akan memungkinkan adanya keikutsertaan semua orang dalam mengeluarkan gagasan keadilan, dikarenakan kaum bangsawan adalah orang-orang yang bijaksana sebab kebaikan hanya dapat diterima oleh mereka. Situasi ini tidak menutup kemungkinan keadilan dapat tercapai secara sempurna. Jika ini terjadi, maka hukum tidak diperlukan. 

Dalam bukunya yang berjudul "The Republic", Plato mengungkapkan bahwa keadilan dapat tercipta tanpa ada hukum karena kaum bangsawanlah yang menjadi penguasa, dimana mereka merupakan kaum cerdik, pandai, dan bijaksana, yang tentu mewujudkan Theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya). Dengan kata lain, bentuk negara yang pemerintahannya dikendalikan oleh kaum bijaksana yaitu para filsuf adalah yang dinamakan aristokrasi sebagai negara ideal Plato. Pemerintahan dikelola dengan berpedoman pada keadilan sesuai dengan ide keadilan orang arif tersebut dan kaum bijak berperilaku sebagai guru juga pelayan kepentingan umum berbasis keadilan.

Secara nyata, Plato menguraikan teorinya mengenai hukum sebagai berikut:

  1. Hukum adalah susunan sempurna untuk mengatasi dunia fenomena yang penuh dengan kondisi ketidakadilan.
  2. Agar tidak muncul kekacauan hukum maka kaidah-kaidah atau aturan-aturan hukum mesti dihimpun dalam satu kitab.
  3. Supaya rakyat atau warga negara dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum, maka setiap undang-undang mesti didahului preambule mengenai motif dan tujuan undang-undang tersebut.
  4. Tugas hukum adalah memandu para rakyat atau warga negara kepada suatu hidup yang saleh dan sempurna melalui undang-undang.
  5. Siapapun yang melanggar undang-undang, maka dia harus dihukum. Pemberian hukuman dilakukan supaya memperbaiki sikap moral para penjahat karena pelanggaran merupakan suatu penyakit intelektual manusia akibat kebodohan. Apabila penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.

Lain halnya dengan Aristoteles yang mendefinisikan hukum itu sebagai rasa sosial-etis. Aristoteles menghubungkan pemikirannya mengenai hukum bukan dengan bawaan alamiah "manusia sempurna" milik Socrates maupun mutu "kaum terpilih"  (aristokrat) milik Plato, melainkan dengan perasaan sosial-etis yang ada dalam konteks individu sebagai warga negara (polis). Seorang individu tidak hanya akan menimbulkan "bencana", tetapi juga akan cenderung tak terkendali akibat bawaan alamiah Dionysian-nya apabila berdiri sendiri lepas dari polis. Dengan demikian, hukum itu sama halnya seperti polis, yakni adalah wacana yang dibutuhkan untuk membimbing manusia pada nilai-nilai moral yang rasional.

Menurut Aristoteles, inti manusia moral yang rasional adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup atau summum bonum. Dalam hal ini, manusia diarahkan oleh dua pembimbing, yaitu akal dan moral. Akal atau rasio atau nalar mengarahkan pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta secara bersamaan memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi, akal mempunyai dua kegunaan, yakni teoritis dan praksis. Aristoteles memakai kata sophia yang menunjukkan kearifan untuk yang pertama, dan kata phronesis (disebut prudentia/prudence dalam termonilogi Skolatik abad pertengahan) untuk yang kedua.

Aristoteles menyatakan moral membimbing manusia untuk memilih jalan tengah di antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Dalam konstruksi filosofis makhluk moral yang rasional inilah Aristoteles membuat teorinya mengenai hukum. Hukum harus adil karena dia merupakan pemandu manusia pada nilai-nilai moral yang rasional. Keadilan hukum serupa dengan keadilan umum, dimana dijumpai dengan hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan pribadi maupun pihak lain, dan terdapat kesamaan. Inilah perasaan sosial-etis terlihat, yang mana menjadi dasar teori Aristoteles. Tidak membingungkan apabila perumusan mengenai keadilan bertopang pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu hidup secara terhormat (honeste vivere), tidak mengganggu orang lain (alterum non laedere), dan memberi kepada tiap orang bagiannya (suum quique tribuere).

  • Mengapa Perlu Etika dan Hukum?

a. Etika

Etika sangat diperlukan baik itu dalam dunia sehari-hari, bermasyarakat, bisnis, politik, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari atau bermasyarakat, etika sangat diperlukan sebab etika dapat menjadi jalur yang tepat untuk terciptanya sebuah situasi lingkungan masyarakat yang baik dan kondusif. Etika berperan sebagai landasan untuk mengerjakan suatu aktivitas yang tetap mengarah pada nilai-nilai dan norma-norma, sehingga perilaku atau tindakan seseorang itu dapat diterima oleh masyarakat dan tidak bertentangan di dalam masyarakat. Misalnya pada saat kita sedang berada di sekitar perumahan, kita tidak bisa menjaga etika dan moral yakni melakukan sesuatu yang menyimpang, maka kita akan memperoleh predikat tidak baik secara sikap maupun tingkah laku oleh masyarakat sekitar.

Dalam dunia bisnis, etika diperlukan sebab bisnis bukan hanya berbicara tentang meraih keuntungan yang maksimal (maximum profit), tetapi juga harus memikirkan nilai-nilai manusiawi. Peran etika dalam bisnis ialah sebagai pengendali terhadap individu pelaku bisnis, yakni lewat pengaplikasian kebiasaan atau pemahaman tentang penghayatan nilai-nilai dalam prinsip moral sebagai pusat kekuatan sebuah perusahaan dengan memprioritaskan kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan bertingkah laku tanpa membeda-bedakan atau diskriminasi.

Adanya etika bisnis membuat terciptanya persaingan yang sehat di antara para pelaku bisnis, sehingga memberikan kenyamanan dalam mengoperasikan bisnis. Selain itu, keuntungan bisnis dengan kesejahteraan sosial dapat seimbang karena diterapkannya etika bisnis. Bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa dampak positif juga kebahagiaan sebesar-besarnya bagi semua pihak tanpa ada yang dirugikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun