Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penunggu Sumur Tua (Tamat)

11 Oktober 2020   17:55 Diperbarui: 11 Oktober 2020   23:26 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu Ia datang seperti babi yang buta. Golok yang ia kibaskan membuat kami ngeri luarbiasa.

Cerita ini merupakan sambungan dari Penunggu Sumur Tua (2) dan Penunggu Sumur Tua

Sabtu pahing, untuk selanjutnya akan kutandai hari ini sebagai hari pembawa sial.

Pagi tadi nafasku terengah-engah menuntun si Supri naik turun tanjakan sebelum akhirnya bisa ditambal di bengkel Lek Tarno.

Sampai di kebun, aku memanjat pohon kelapa. Aku lagi asyik memelintir buah kelapa, eh.. blarake ujug-ujug sempal. Aku terjatuh dan tersangkut pada ranting pohon jambu. Perutku kini masih terasa ngilu.

Pada waktu aku mencari rumput, ndilalah aku ngarit di area sarang babi. Ada dua ekor anak babi sedang tidur bersama induknya. Kehadiranku membuat mereka terbangun dan marah.

Si induk babi tanpa menungnggu klarifikasiku langsung menyeruduk. Babi itu terus mengejarku hingga memaksaku untuk bergegas naik ke pohon rambutan.

Dan sore ini, aku getun banget. Tini dan Tono, dua ekor anak wedhus yang kurawat seperti anak sendiri tiba-tiba mati. Mereka keracunan rumput yang ternyata sudah bercampur endrim.

Sing sabar yo, Nang” Ucap Emak menenangkan hatiku dengan suara lembutnya. Sebaliknya, adikku malah terlihat gembira sekali mendengar nasib apesku hari ini,  “Haha! guoblok men kowe, Mas!”

Sementara Bapakku seperti biasa, Ia tak berkata apa-apa. Bapak cuma senyum-senyum. Lalu kembali melanjutkan proses penguburan dua anak wedhusku.

Mak, Bapak, Adek. Tadi malam Mbah Darsih Nitip salam!

“Ngarang! Mbah Darsih mati seminggu lalu! Sarapmu wis pedhot gara-gara wedhusmu mati to, Mas Dul bajindul!” Adikku tak percaya ucapanku. Ia mendorong punggungku sampai aku hampir njedag.

“Huss! Ampun ngoten, Nduk! Saru!” Emak menegur sikap petakilannya. Aku yang kesal kemudian menjewer kuping kiri bocah tomboy itu.

Tenan! Tadi malam aku ketemu arwah Mbah Darsih di sumur tua. Beliau nitip salam karo berpesan supaya keluarga kita berjaga-jaga! Mboh, aku ndak paham disuruh berjaga dalam hal apa”

“Arwah Mbah Darsih juga bilang, siapa pelaku yang membunuh dirinya bakal terungkap sore ini!”

Sikap petakilan adikku seolah hilang usai mendengar apa yang kusampaikan. Kulihat ia terdiam lalu menenggelamkan wajahnya dalam ketiak Emak. Emak dan Bapak tak menanggapi ucapanku.

Keduanya hanya kompak mengernyitkan dahi. Entah, aku tak bisa membaca jelas apa yang sedang mereka pikirkan. Saat itu kami mendadak hening.

Tini dan Tono sudah beres kami kubur. Kuberikan kuburan mereka dengan batu nisan lalu kutaburi dengan kembang-kembang. Matahari kulihat hendak bersembunyi di balik pohon-pohon randu pekarangan rumah.

Aku dan keluargaku masih hening terpaku menatap matahari semakin rendah, menarik sulur-sulur sinarnya pelan-pelan.

Gubrakkk!! Brakk!!

Suara dobrakan pintu depan rumah seketika itu memecah keheningan kami. Adikku menjerit histeris. Ibuku berulang kali nyebut-nyebut nama Gusti. Aku dan Bapak segera berlari ke dalam rumah menuju sumber suara itu. 

Brakk! Pintu depan terbuka. Aku melihat Saryo mengacungkan golok. Tatapan matanya seperti Babi yang kutemui tadi pagi. Beringas, menjijikan!

“Tak Pateni kowe!” Tanpa penjelasan, Saryo mengibaskan golok ke arah Bapak. Bapak mengelak, golok itu menancap ditembok. Saryo mengibaskan lagi golok itu ke bapak berkali-kali, golok itu menebas lengan kanan Bapak sampai sobek, darah mengucur dari lengan Bapak.

Aku ambil besi yang biasa kupakai untuk menyengget cengkeh lalu memukulkannya ke kepala Saryo. Pletak! Pletak! Pletak! besi yang kupukulkan bengkok. Saryo memeriksa kepalanya, haha dia geram kepalanya bocor lalu beralih menyerangku dengan goloknya.

“Pak mlayu Pak! Lari!” Bapak lari ke belakang, disambut oleh ibu kemudian berlari mencari bantuan warga desa.

Saryo makin beringas macam babi tadi pagi. Perabotan ruang depan rumah banyak yang pecah. Aku kewalahan terus menerus mengelak kibasan goloknya. 

Sampai akhirnya aku kehilangan fokus. Goblok! tak sadar aku tangkis ayunan goloknya dengan lengan kananku. Sambil merem akau berkata dalam hati “Remuk deh tanganku. Mati aku!”

Dalam kepasrahan itu dilalah, aku tak merasa sakit apapun meski kurasa Saryo sudah bertubi tubi menebas tanganku. Ketika aku melek aku baru menyadari tebasan Saryo ke lenganku selalu terpental. “Wih jebule aku kebal, cuk!”

Mungkin ini berkat khodam dari cincin yang diberikan oleh Lik Hadi saat dulu ngarit bersama. Kok bisa yo, padahal katanya kekuatan cincin ini sudah hilang

Saryo mendorong tubuhku bagaikan babi yang menyerudukku tadi pagi. Aku tersungkur dan dihujani tebasan golok itu berkali-kali. Saryo menjambak rambutku mendongakkan kepalaku lalu menebas leherku. “Mati aku, Mak!”

Aku selamat! tebasan itu tidak mempan. Jantungku masih berdebar sementara Saryo kelelahan, sepertinya frustasi. Saryo duduk lalu terdiam. Kesempatan ini kugunakan untuk meraih toples rengginang lalu memukulkannya ke kepala Saryo. Pyarr!

Saryo tak membalas, ia tetap terdiam. Akupun terdiam kelelahan diliputi keheranan kenapa Saryo melakukan tindakan brutal ini kepada keluargaku. Hingga akhirnya warga ramai berdatangan menangkap Saryo mengikatnya lalu memukulinya beramai-ramai.

“Heh, Celeng! kenapa kau mau membunuh Bapakku! Ngapa kowe nyerang omahku?” pertanyaanku itu tak dijawab. Saryo malah tersenyum kemudian terbahak. Senyuman dan tawa yang menjijikan! “Woy, Jawab!”

Aku benci sama Bapakmu! Emakmu! Keluargamu! Pengen tak pateni kabeh seisi omahmu!

Bapak Emakmu kuwi gak becus! Akibat ketidakbecusan mereka, Mbakyumu, Siti, wanita yang aku sangat aku cintai cuma jadi pembantu dan mati sia-sia di tanah perantauan!
Seandainya dulu orangtuamu merestuiku untuk menikahinya, nasib Siti tidak akan mengenaskan seperti itu.
Dia akan bahagia hidup bersamaku. Bukan jadi pembantu yang mati dengan hina! Jancuuuk!!!

Omonganmu njijeni, su!

Saryo mengingatkanku dengan Mbak Siti, Kakak yang dulu merantau ke kota atas kehendaknya sendiri untuk menjadi pramugari. Ucapan Saryo itu ngawur. Entah mendapat kabar hoax dari mana dia. Mbak Siti di sana bukan jadi pembantu.

Mbak Siti di sana berhasil menjadi pramugari, lho! Sayange, ketika melakoni penerbangan pertamanya, Pesawat yang ditumpangi Mbak Siti mengalami kecelakaan dan jatuh di tengah laut. 

Kurang ajar, Saryo! airmataku jadi menetes lagi mengingat Mbak Siti.

Lagian, orangtua mana yang sudi menikahkan anaknya dengan manusia bergajul seperti Saryo. Pagi, siang, malam pegaweane orak genah. Judi, mabok, maling. Saryo dari dulu sudah dianggap oleh warga sebagai sampah busuk yang mengotori ketentraman desa.

Jelas saja, Bapak dan Emak menolak merestui Mbak Siti dengan dirinya. Cuma dengan membayangkan Saryo jadi kakak iparku saja rasanya jijik!

Kemudian aku teringat ucapan Mbah Darsih. Sore ini pelaku yang dengan tega membunuh dirinya akan terungkap. Jangan-jangan si Saryo jabingan ini! “Weh, Celeng! Sing Mateni Mbah Darsih awakmu, ya?” Tuduhku sambil menampol mulut mancungnya.

Iyo! Nenek sialan itu, akulah yang membunuhnya! Hahaha!

Kerumunan warga yang tadinya sudah tenang meriuh kembali. Beberapa warga kembali mendaratkan batu bata ke kepalanya. Pak Lurah dan Pak RT RW kembali sibuk menenangkan warga. 

Kok tega banget kowe. Alesanmu apa?

Darsih! Aku dendam sama nenek sialan itu! Dia! Dialah yang menggagalkanku berduaan dengan Siti! Saat kusekap Siti dan kubawa dia ke hutan itu.
Niatku untuk mencumbu manis bibirnya digagalkan oleh si Darsih sialan itu.
Darsih datang dan mengalungkan arit tajamnya ke leherku mengancam akan membunuhku jika aku teruskan.
Aku ketakutan dan lari tunggang langgang. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti pecundang.
Sejak itulah aku ingin membalas perlakuan Darsih sialan itu suatu saat nanti.

Aku puas! Dendam itu kini sudah terbalaskan! Hahaha!

Matahari sudah padam hatiku semakin geram. Kali ini aku tak bisa menahan lagi. Amarahku tumpah dalam genggamanku kujotos mulut mancungnya bertubi-tubi.

Amarah wargapun pecah. Mereka beramai-ramai kembali menimpa tubuh Saryo dengan bogem dan batu bata. Warga terlihat seperti semut yang berebut gula.

Tidak lama kemudian, Pak Yanto dengan suara lantang menghentikan aksi warga itu. “Hoopp!!!” kemudian dia berseru,

Aja kesuwen, BAKAR!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun