Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penunggu Sumur Tua (Tamat)

11 Oktober 2020   17:55 Diperbarui: 11 Oktober 2020   23:26 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak Siti di sana berhasil menjadi pramugari, lho! Sayange, ketika melakoni penerbangan pertamanya, Pesawat yang ditumpangi Mbak Siti mengalami kecelakaan dan jatuh di tengah laut. 

Kurang ajar, Saryo! airmataku jadi menetes lagi mengingat Mbak Siti.

Lagian, orangtua mana yang sudi menikahkan anaknya dengan manusia bergajul seperti Saryo. Pagi, siang, malam pegaweane orak genah. Judi, mabok, maling. Saryo dari dulu sudah dianggap oleh warga sebagai sampah busuk yang mengotori ketentraman desa.

Jelas saja, Bapak dan Emak menolak merestui Mbak Siti dengan dirinya. Cuma dengan membayangkan Saryo jadi kakak iparku saja rasanya jijik!

Kemudian aku teringat ucapan Mbah Darsih. Sore ini pelaku yang dengan tega membunuh dirinya akan terungkap. Jangan-jangan si Saryo jabingan ini! “Weh, Celeng! Sing Mateni Mbah Darsih awakmu, ya?” Tuduhku sambil menampol mulut mancungnya.

Iyo! Nenek sialan itu, akulah yang membunuhnya! Hahaha!

Kerumunan warga yang tadinya sudah tenang meriuh kembali. Beberapa warga kembali mendaratkan batu bata ke kepalanya. Pak Lurah dan Pak RT RW kembali sibuk menenangkan warga. 

Kok tega banget kowe. Alesanmu apa?

Darsih! Aku dendam sama nenek sialan itu! Dia! Dialah yang menggagalkanku berduaan dengan Siti! Saat kusekap Siti dan kubawa dia ke hutan itu.
Niatku untuk mencumbu manis bibirnya digagalkan oleh si Darsih sialan itu.
Darsih datang dan mengalungkan arit tajamnya ke leherku mengancam akan membunuhku jika aku teruskan.
Aku ketakutan dan lari tunggang langgang. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti pecundang.
Sejak itulah aku ingin membalas perlakuan Darsih sialan itu suatu saat nanti.

Aku puas! Dendam itu kini sudah terbalaskan! Hahaha!

Matahari sudah padam hatiku semakin geram. Kali ini aku tak bisa menahan lagi. Amarahku tumpah dalam genggamanku kujotos mulut mancungnya bertubi-tubi.

Amarah wargapun pecah. Mereka beramai-ramai kembali menimpa tubuh Saryo dengan bogem dan batu bata. Warga terlihat seperti semut yang berebut gula.

Tidak lama kemudian, Pak Yanto dengan suara lantang menghentikan aksi warga itu. “Hoopp!!!” kemudian dia berseru,

Aja kesuwen, BAKAR!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun