“Ngarang! Mbah Darsih mati seminggu lalu! Sarapmu wis pedhot gara-gara wedhusmu mati to, Mas Dul bajindul!” Adikku tak percaya ucapanku. Ia mendorong punggungku sampai aku hampir njedag.
“Huss! Ampun ngoten, Nduk! Saru!” Emak menegur sikap petakilannya. Aku yang kesal kemudian menjewer kuping kiri bocah tomboy itu.
“Tenan! Tadi malam aku ketemu arwah Mbah Darsih di sumur tua. Beliau nitip salam karo berpesan supaya keluarga kita berjaga-jaga! Mboh, aku ndak paham disuruh berjaga dalam hal apa”
“Arwah Mbah Darsih juga bilang, siapa pelaku yang membunuh dirinya bakal terungkap sore ini!”
Sikap petakilan adikku seolah hilang usai mendengar apa yang kusampaikan. Kulihat ia terdiam lalu menenggelamkan wajahnya dalam ketiak Emak. Emak dan Bapak tak menanggapi ucapanku.
Keduanya hanya kompak mengernyitkan dahi. Entah, aku tak bisa membaca jelas apa yang sedang mereka pikirkan. Saat itu kami mendadak hening.
Tini dan Tono sudah beres kami kubur. Kuberikan kuburan mereka dengan batu nisan lalu kutaburi dengan kembang-kembang. Matahari kulihat hendak bersembunyi di balik pohon-pohon randu pekarangan rumah.
Aku dan keluargaku masih hening terpaku menatap matahari semakin rendah, menarik sulur-sulur sinarnya pelan-pelan.
Gubrakkk!! Brakk!!
Suara dobrakan pintu depan rumah seketika itu memecah keheningan kami. Adikku menjerit histeris. Ibuku berulang kali nyebut-nyebut nama Gusti. Aku dan Bapak segera berlari ke dalam rumah menuju sumber suara itu.
Brakk! Pintu depan terbuka. Aku melihat Saryo mengacungkan golok. Tatapan matanya seperti Babi yang kutemui tadi pagi. Beringas, menjijikan!