“Tak Pateni kowe!” Tanpa penjelasan, Saryo mengibaskan golok ke arah Bapak. Bapak mengelak, golok itu menancap ditembok. Saryo mengibaskan lagi golok itu ke bapak berkali-kali, golok itu menebas lengan kanan Bapak sampai sobek, darah mengucur dari lengan Bapak.
Aku ambil besi yang biasa kupakai untuk menyengget cengkeh lalu memukulkannya ke kepala Saryo. Pletak! Pletak! Pletak! besi yang kupukulkan bengkok. Saryo memeriksa kepalanya, haha dia geram kepalanya bocor lalu beralih menyerangku dengan goloknya.
“Pak mlayu Pak! Lari!” Bapak lari ke belakang, disambut oleh ibu kemudian berlari mencari bantuan warga desa.
Saryo makin beringas macam babi tadi pagi. Perabotan ruang depan rumah banyak yang pecah. Aku kewalahan terus menerus mengelak kibasan goloknya.
Sampai akhirnya aku kehilangan fokus. Goblok! tak sadar aku tangkis ayunan goloknya dengan lengan kananku. Sambil merem akau berkata dalam hati “Remuk deh tanganku. Mati aku!”
Dalam kepasrahan itu dilalah, aku tak merasa sakit apapun meski kurasa Saryo sudah bertubi tubi menebas tanganku. Ketika aku melek aku baru menyadari tebasan Saryo ke lenganku selalu terpental. “Wih jebule aku kebal, cuk!”
Mungkin ini berkat khodam dari cincin yang diberikan oleh Lik Hadi saat dulu ngarit bersama. Kok bisa yo, padahal katanya kekuatan cincin ini sudah hilang
Saryo mendorong tubuhku bagaikan babi yang menyerudukku tadi pagi. Aku tersungkur dan dihujani tebasan golok itu berkali-kali. Saryo menjambak rambutku mendongakkan kepalaku lalu menebas leherku. “Mati aku, Mak!”
Aku selamat! tebasan itu tidak mempan. Jantungku masih berdebar sementara Saryo kelelahan, sepertinya frustasi. Saryo duduk lalu terdiam. Kesempatan ini kugunakan untuk meraih toples rengginang lalu memukulkannya ke kepala Saryo. Pyarr!
Saryo tak membalas, ia tetap terdiam. Akupun terdiam kelelahan diliputi keheranan kenapa Saryo melakukan tindakan brutal ini kepada keluargaku. Hingga akhirnya warga ramai berdatangan menangkap Saryo mengikatnya lalu memukulinya beramai-ramai.
“Heh, Celeng! kenapa kau mau membunuh Bapakku! Ngapa kowe nyerang omahku?” pertanyaanku itu tak dijawab. Saryo malah tersenyum kemudian terbahak. Senyuman dan tawa yang menjijikan! “Woy, Jawab!”
Aku benci sama Bapakmu! Emakmu! Keluargamu! Pengen tak pateni kabeh seisi omahmu!
Bapak Emakmu kuwi gak becus! Akibat ketidakbecusan mereka, Mbakyumu, Siti, wanita yang aku sangat aku cintai cuma jadi pembantu dan mati sia-sia di tanah perantauan!
Seandainya dulu orangtuamu merestuiku untuk menikahinya, nasib Siti tidak akan mengenaskan seperti itu.
Dia akan bahagia hidup bersamaku. Bukan jadi pembantu yang mati dengan hina! Jancuuuk!!!
Omonganmu njijeni, su!
Saryo mengingatkanku dengan Mbak Siti, Kakak yang dulu merantau ke kota atas kehendaknya sendiri untuk menjadi pramugari. Ucapan Saryo itu ngawur. Entah mendapat kabar hoax dari mana dia. Mbak Siti di sana bukan jadi pembantu.