Mohon tunggu...
Mustikha Larasati
Mustikha Larasati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam - Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Book Review: Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia

9 Maret 2023   14:30 Diperbarui: 23 Maret 2023   10:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak zina yakni seorang anak dilahirkan secara tidak sah, maka anak tersebut dianggap sebagai anak luar nikah. Sebagai akibatnya, anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, melainkan hanya kepada ibunya. Ditegaskan dalam hukum bahwa anak zina tidak berhak atas ayah biologisnya menjadi wali, tidak dapat saling mewarisi dan memberikan nafkah

 Mengenai anak dari perkawinan mut'ah yakni tidak mengenal hubungan waris antara suami istri, tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberi biaya hidup dan tempat tinggal kepada istri. Sekiranya dalam perjanjian mut'ah itu lahir seorang anak, maka anak itu dibawa bapaknya. karena tidak boleh saling mewarisi dan suami tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah. Selain itu, tentu menimbulkan akibat-akibat buruk masa depan anak yang lahir dalam nikah mut'ah. Kadang-kadang bapak melepaskan tanggung jawab dari anak dilahirkan dalam nikah mut'ah.

Kasus tersebut hampir sama dengan anak mula'anah, yaitu anak dilahirkan dari seorang wanita yang dili'an oleh suaminya. Kedudukan anak mula'anah hukumnya sama dengan anak zina, tidak mengikuti nasab suami ibunya yang meli'an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya, ketentuan tersebut berlaku juga terhadap kewarisan dan perkawinan.

 Bab berikutnya membahas putus perkawinan, apabila putusnya perkawinan dikarenakan oleh perceraian maka hal tersebut ialah hal yang paling dibenci oleh Allah. Adapaun pengertian putusnya perkawinan ialah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putusnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dinyatakan dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena:

  • Kematian,
  • Perceraian dan
  • Atas keputusan Pengadilan.

KHI pasal 113 menentukan keadaan putus perkawinan karena

  • Kematian,
  • Perceraian, dan
  • Atas putusan Pengadilan.

Terdapat jenis-jenis putusnya perkawinan dalam KHI yakni talak raj'i, talak bain sughra, talak bain kubra, talak sunny, talak bid'i  serta lian.  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian dapat ditemukan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 pasal 4, Sementara akibat hukum perceraian dapat ditemukan dalam KHI pasal 156.

Bab berikutnya membahas mengenai pernikahan poligami, dalam islam tidak melarang untuk melakukan perkawinan poligami kepada siapa, namun dalam kenyataannya perkawinan poligami di Indonesia ialah salah satu penyebab pemicu terjadinya perkawinan yang tidak dicatat, akibatnya hak-hak anak  yang tidak terlindungi dan terabaikan. Karena poligami juga banyak anak dalam perkawinan tidak mendapat perlindungan kasih sayang dan hak-haknya dari kedua orangtuanya, melainkan perkawinan poligami dilakukan untuk menghalalkan hawa nafsunya saja.

Oleh karena itu, perkawinan poligami boleh saja dilakukan asalkan dari perkawinan itu dapat dicatatkan kepada pejabat yang berwenang, berlaku adil kepada semua istri-istrinya dan melindungi hak-hak anak yang dilahirkan sebagaimana perkawinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Sementara itu, syarat kebolehan perkawinan poligami dalam KHI diatur dalam Pasal 55 ayat 2.

Mengenai hak-hak istri sebagai berikut;

  • Menjaga kesucian istri dan menggaulinya dengan cara makruf.
  • Seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik dan diwajibkan mengeluarkan yang menjadi hak istrinya yang harus dipenuhi tanpa penangguhan.
  • Keadilan dalam masalah nafkah.

Adapun hal-hal yang harus dilakukan suami, sebagai berikut;

  • Memberikan nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik serta menyenangkan hati istri.
  • Memberi nafkah istri sesuai dengan usaha kemapuan.
  • Selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila istri berkata dan berbuat sesuatu yang menyakitkan.
  • Bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istri karena pada umumnya mereka kurang sempurna akal dan agamanya.
  • Menuntun istri dengan jalan kebaikan.
  • Mengajari dalam urusan agama seperti yang berkenaan dengan taharah.

Hak dan kewajiban suami istri yang diperjelas dalam UU RI. No.1 Tahun 1974, dapat dilihat dari beberapa pasal yang mengatur tentang itu, yaitu pasal 30 "Hak dan kewajiban suami istri dalam KHI, dapat dicermati mulai pasal 77 sampai pasal 84.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun