Mohon tunggu...
Mustikha Larasati
Mustikha Larasati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam - Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Book Review: Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia

9 Maret 2023   14:30 Diperbarui: 23 Maret 2023   10:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

a. Memadu dua orang perempuan yang bersaudara atau dengan bibinya.

b. Perempuan yang masih istri orang lain atau bekas istri orang lain yang masih dalam masa iddah.

c. Perempuan-perempuan yang ditalak tiga kali.

d. Perempuan yang sedang melakukan ihram.

e. Perempuan musyrik.

f. Wanita kelima sesuadah beristri empat orang

UU RI. No.1 Tahun 1974 mengatur siapa saja yang dilarang untuk melaksanakan perkawinan yaitu dalam Pasal (8), (9), (10) sedangkan dalam KHI diatur dalam Pasal (39), (40), (41), (42), (43),erta (44).

Bab berikunya buku ini menjelaskan mengenai nasab anak yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 mengatur asal-usul anak dalam pasal (42), (43) dan (44). Tidak jauh berbeda dengan UU RI, KHI juga mengatur mengenai nasab anak yaitu terdapat dalam Pasal (99), (100) dan (101). Ditemukan perbedaan makna antara Pasal 43 ayat 1 UU RI. No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI. Pasal 43 ayat 1 UU RI. No. 1 Tahun 1974 menekankan anak luar nikah memiliki hubungan perdata adalah sangat berbeda dengan Pasal 100 KHI yang menekankan anak luar nikah memiliki hubungan nasab. Dengan begitu, ditemukan ada perbedaan interpretasi antara hubungan perdata yang ditetapkan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dengan hubungan nasab dalam KHI.

Pencatatan perkawinan juga ditulis dalam buku ini. Adapun pengertian pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (misaqan galidan)  atau aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Dalam Al-Qur'an dan hadis pun tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Sebelum UU RI. No.1 Tahun 1974, sudah ada UU RI. No. 22 Tahun 1946 yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Semula undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, UU RI. No. 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan kata lain, lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 berarti UU RI. No. 22 Tahun 1946 berlaku seluruh daerah di Indonesia. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dan KHI Pasal 5 ayat 1 mutlak ditegakkan dan tetap eksis di negara Indonesia. Setiap warga negara yang sadar hukum, maka semestinya perkawinan yang dilaksanakan harus dicatat agar terjamin dan memperoleh perlindungan yang adil dari negara. Perkawinan yang dicatat, pasti istri dan anak-anak dilahirkan mendapat jaminan dan perlindungan hukum atas segala hak-haknya.

Setelah membahas mengenai pencatatan perkawinan maka dilanjutkan dengan  membahas mengenai perkawinan wanita hamil luar nikah dengan memaksa laki-laki yang bukan menghamilinya. Dapatkah ditetapkan anak itu mempunyai bapak?. Status bapak dalam hal ini ia hanya merupakan simbol saja agar anak itu mempunyai bapak. Dalam hukum adat, kawin paksa dan kawin darurat adalah upaya-upaya preventif anak lahir tanpa bapak. Namun demikian, kawin paksa atau kawin darurat terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya yakni perkawinan itu putus atau dilanjutkan.

Apabila yang dilahirkan dalam pernikahan adalah anak perempuan maka kedudukan bapak tidak dapat menjadi wali dalam perkawinan tersebut. Karena anak dan bapak tersebut dianggap tidak mempunyai hubungan nasab. Oleh karena menurut hukum adat yang diresepsi oleh hukum Islam, bahwa yang boleh saling mewarisi harus ada hubungan nasab anatara orang tua serta anak, Serta yang boleh menjadi wali yaitu apabila mempunyai hubungan nasab. Landasan dalam UU RI. No. 1 Tahun 1974 tentang bolehnya wanita hamil luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya terdapat dalam pasal 42. Sedangkan dalam KHI, perkawinan wanita hamil luar nikah tercantum dalam pasal 53 ayat 1, 2 dan 3. Namun dalam penerapannya pasal 53 KHI menunjukkan bahwa wanita hamil luar nikah hanya diperbolehkan   melaksanakan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun