Mohon tunggu...
Mustikha Larasati
Mustikha Larasati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam - Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Book Review: Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia

9 Maret 2023   14:30 Diperbarui: 23 Maret 2023   10:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: via TrustMedia Publishing

BOOK REVIEW

Judul              : Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia Analisis Legislasi Hukum  Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional

Penulis          : Dr. Fikri, S.Ag., M.HI

Penerbit        : TrustMedia Publishing

Terbit             : 2016

Cetakan I      : -

Buku tulisan Dr. Fikri, S.Ag., M.HI yang berjudul "Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia Analisis Legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional" menjelaskan mengenai dinamika dalam hukum perdata islam di Indonesia dengan menganalisis legislasi perkawinan islam dalam sistem hukum nasional. Pada dasarnya tujuan buku ini ditulis untuk menjadi referensi bacaan bagi mahasiswa ataupun dosen fakultas syariah serta mempertajam, meningkatkan kualitas keilmuan dalam ranah hukum perdata islam di Indonesia. Diawal bab kita akan bertemu dengan sejarah dan sumber pemberlakuan hukum islam. Adapun hukum islam yaitu hukum Tuhan bersifat kuat, sementara hukum Islam sebagai hukum yang diperuntukan bagi manusia bersifat fleksibel dan menerima segala tuntutan zaman. Dengan demikian hukum Islam tidak boleh kehilangan jati dirinya ketika mengikuti perubahan dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Karena hukum islam tersebut ialah hukum Tuhan maka selalu bersumber dari Tuhan. Hukum islam pun diharapkan dapat berguna sebagai jembatan antara wahyu dan realitas masyarakat agat tidak terjadi kekosongan hukum.

 Sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa hukum Islam terlihat sebagai hukum tidak tertulis dalam praktek ketatanegaraan, praktek sosial, praktek kultural, dan dalam peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, hukum Islam dalam konteks kekinian masih belum dinamis. Para pemikir hukum Islam memandang bahwa hukum Islam dalam konteks keindonesiaan masih terbatas pada salah satu fungsi hukum, yakni nahi mungkar dalam pengertian social control, belum memaksimalkan fungsi amar ma'ruf (social engeneering) yang menekankan anjuran kebaikan dalam arti luas dan praktis.

Kesejarahan zaman VOC pada tahun 1602-1880, hukum Islam terutama hukum perdata Islam (Civiele Wetten der Mohammeddaansche) telah mendapat legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie der Indische Regeering pada 25 Mei 1760. Saat itu kumpulan hukum Islam hanya berisi hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yang dikenal dengan Compendium Freijer. Sedangkan pada zaman kolonial Hindia Belanda, hukum Islam diberlakukan dengan dua teori yang bersifat antagonis, yaitu teori Receptio in Complexu den Theori Receptie. Selanjutnya, negara Republik Indonesia menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum eks Barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian sesudah Indonesia merdeka, ketiga sistem hukum tersebut, menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.

Politik Orde Baru terhadap hukum Islam secara praktis emperis tidak hanya mengukuhkan sejarah perkembangan hukum Islam sebagai hukum positif ke dalam model pelembagaan yuridis, tetapi Orde Baru telah menempatkan pada posisi yang layak. Hanya saja sekali lagi, masih dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kemungkinan legislasi dari politik hukum Orde Baru.

Teori hukum Islam yang berlaku di Indonesia termasuk aspek yang masih perlu mendapat perhatian. Masalah berlakunya hukum Islam merupakan objek studi yang selalu mengundang kontroversi. Hal ini terjadi, disebabkan karena perbedaan persepsi para peneliti tentang hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam yang memiliki sejarah panjang di negara Republik Indonesia, dalam perkembangan pengkajiannya oleh Juhaya S. Praja menyebutkan ada enam teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu; (1) Teori penaatan hukum Islam, (2) Teori penerimaan autoritas hukum, (3) Teori receptie in complexu, (4) Teori receptie, (5) Teori receptie exit dan (6) Teori receptie a contrario17. Selanjutnya, pada perkembangan pengkajian hukum Islam, maka ditemukan lagi dua teori, yaitu; (1) Teori eksistensi dan (2) Teori Implementasi.

Penuangan hukum ke dalam undang-undang tertulis, dalam pandangan hukum Islam sesungguhnya bukan merupakan suatu hal yang baru. Sebab, dalam al-Qur'an sendiri pada dasarnya sangat mendukung dan memperkarsai kehadiran kodifikasi hukum yang berkembang di zaman modern sekarang. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974. Dengan begitu, upaya untuk mendudukkan hukum Islam dan menempatkan pada tempat yang layak dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, baru berhasil pada tahun 1974 yang ditandai dengan berlakunya UU RI. No. 1 Tahun 1974 yang memposisikan hukum Islam yang sejak lama terkungkung oleh hukum adat dan melepaskan diri dari hukum kolonial.

Adapun penyebarluasan KHI dapat berguna untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang berlaku bagi warga masyarakat. Mengingat mayoritas penduduk beragama Islam, ketentuan-ketentuan hukum yang sudah dirumuskan dalam KHI ini akan diangkat sebagai bahan materi hukum nasional. Pemberlakuan KHI tidak terlepas guna memantapkan berlakunya hukum Islam sesuai dengan ciri khas dan kultur keindonesiaan.

Selanjutnya yaitu perkawinan dalam hukum islam ialah merupakan cara yang dipilih Allah swt. sebagai jalan agar manusia dapat berkembang biak dan melestarikan kehidupan setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Perkawinan dalam hukum Islam, bukan hanya untuk berkumpul menghalalkan pergaulan, hubungan kelamin dan bersetubuh semata, akan tetapi perkawinan adalah terwujudnya nilai luhur dan mulia dalam membentuk keluarga sakinah yang kekal dan bahagia yang terdiri dari bapak, ibu dan anak.

Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974, definisi perkawinan terdapat dalam Pasal 1 "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Sedangkan Definisi perkawinan dalam KHI Pasal 2 "Perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan golidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".

Setelah memahami pengertian perkawianan maka kita juga harus memahamu tujuan perkawinan yaitu untuk mentaati perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, membentuk keluarga dan meneruskan keturunan dalam menjalani hidup di dunia, mencegah perzinaan agar tercipta keharmonisan, ketenangan dan ketenteraman jiwa bagi yang menikah, keluarga dan masyarakat seluruhnya. Didalam UU RI No. 1 Tahun 1974 dan KHI Pasal 3 juga disebutkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KHI Pasal 3 yaitu "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah".

Mengenai prinsip serta asas perkawinan  menurut UU RI. No. 1 Tahun 1974 yaitu :

  • Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
  • Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Di samping itu, tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Undang-undang itu menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan
  • Calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat diwujudkan perkawinan secara baik tanpa berujung pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
  • Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang itu menganut prinsip untuk mempersukar perceraian
  • Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

Dalam perkawinan juga terdapat syarat serta rukunnya, rukun ialah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum, baik dari segi subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum ketika itu berlangsung. Jika salah satu unsur perbuatan hukum tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum tersebut tidak sah dan status hukumnya batal. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.

Rukun nikah dalam hukum Islam yang dapat dikemukakan adalah: (1) Calon mempelai laki-laki. (2) Calon mempelai perempuan (3) Wali nikah (4) Saksi nikah (5) Ijab dan kabul.

Syarat Calon mempelai laki-laki. 

  • Beragama Islam.
  • Laki-laki.
  • Baligh.
  • Berakal.
  • Jelas orangnya.
  • Dapat memberikan persetujuan.
  • Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti tidak dalam keadaan ihram dan umrah.

Syarat calon mempelai perempuan

  • Beragama Islam dan boleh meskipun Yahudi atau Nasrani (pendapat sebagian ulama).
  • Perempuan.
  • Jelas orangnya
  • Dapat dimintai persetujuannya.
  • Tidak terdapat halangan perkawinannya (wanita-wanita yang haram dinikahi). 3.

Syarat wali nikah 

  • Laki-laki
  • Dewasa
  • Mempunyai hak perwalian t
  • Tidak terdapat halangan perwaliannya.
  • Syarat saksi nikah
  • Minimal dua orang saksi laki-laki.
  • Hadir dalam ijab dan kabul.
  • Dapat memahami maksud akad.
  • Beragama Islam.
  • Dewasa.
  • Syarat ijab-kabul
  • Ada ijab (pernyataan) menikahkan dari pihak wali.
  • Ada kabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami.
  • Memakai kata-kata "nikah", "tazwij" atau terjemahannya seperti "kawin".
  • Antara ijab dan kabul bersambung, tidak boleh terputus.
  • Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.
  • Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umrah.
  • Majelis ijab dan kabul harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dan calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.

Demikian rukun dan syarat di kalangan para imam mazhab sangat bermacam-macam, namun keberlakuan rukun dan syarat dalam konteks umat Islam di Indonesia lebih mengarah dan cocok pada pendapat Imam Syafi'i. Hal demikian, didukung oleh beberapa perkara perkawinan yang bermasalah di Pengadilan Agama

Sementara dalam KHI Rukun dan syarat dapat dilihat pada Pasal 14 "Untuk melaksanakan perkawina Syarat calon suami dan calon istri tertuang dalam KHI Pasal 15 ayat 1 "Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU RI. No.1 Tahun 1974 harus ada: a.) Calon suami; b.) Calon istri; c.) Wali nikah; d.) Dua orang saksi dan e.) Ijab dan kabul..

UU RI. No. 1 Tahun 1974 pada bab II secara jelas tidak menyebutkan dalam satu pasal pun yang mengatur tentang rukun dalam perkawinan, melainkan penekanannya hanya pada syarat-syarat dalam perkawinan saja. Mestinya dalam konteks UU RI. No. 1 Tahun 1974 yang telah menjadi acuan pokok dalam perkawinan di Indonesia, sehingga syarat tidak merupakan sebagai hal yang berdiri sendiri sebuah perkawinan. Melainkan syarat dalam undang-undang melekat pada rukun.

Perdebatan masalah rukun dalam undang-undang tersebut menunjukkan titik terang ketika KHI Pasal 14 mengatur rukun perkawinan yang harus terpenuhi. KHI menjadi penegas dan melengkapi yang menjadi kekurangan atau kelemahan dalam UU RI No.1 Tahun 1974. Dengan begitu, UU RI. No.1 Tahun 1974 tidak menjadi kaku dalam pemberlakuannya kepada seluruh umat Islam di Indonesia.

Dalam buku ini juga terdapat bab mengenai larangan perkawinan Hukum Islam mengatur perempuan-perempuan yang dilarang dikawini berdasarkan dalam al-Qur'an surah al-Nisa/ 4: 22, 23 dan 24, sebagai berikut;

Perempuan yang haram dikawini untuk selamanya.

a. Haram dikawini sebab hubungan nasab, di antaranya; (1) Ibu, termasuk dalam pengertian ibu adalah nenek dan seterusnya ke atas baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu. (2) Anak perempuan, termasuk dalam pengertian anak perempuan adalah cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan terus ke bawah. (3) Saudara perempuan, baik sebapak dan seibu, maupun sebapak saja atau seibu saja. (4) Bibi, yaitu saudara perempuan bapak dan ibu, baik sekandung maupun sebapak dan seibu. (5) Kemanakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.

b. Haram dikawini sebab hubungan sesusuan. (1) Ibu susuan, yaitu seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak. Ibu tersebut dipandang sebagai ibu kandung, sehingga haram untuk dikawini. (2) Nenek sesusuan, yaitu ibu dari yang menyusui, atau ibu dari suami yang menyusui. (3) Bibi sesusuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau saudari perempuan dari suami ibu susuan. (4) Saudara perempuan, baik saudara sebapak kandung maupun seibu saja.

c. Haram dikawini sebab hubungan perkawinan. (1) Mertua perempuan dan nenek perempuan istri, baik dari pihak bapak maupun ibu. (2) Anak tiri, dengan ketentuan telah bercampur dengan anak tiri itu. (3) Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan terus ke bawah. (4) Ibu tiri, yaitu bekas istri bapak.

d. Haram dikawini sebab sudah dilian. Para ulama fikih berpendapat bahwa sumpah lian mengakibatkan suami istri harus berpisah (cerai) dan tidak boleh kawin lagi selamalamanya.

Perempuan yang haram dikawini untuk sementara

a. Memadu dua orang perempuan yang bersaudara atau dengan bibinya.

b. Perempuan yang masih istri orang lain atau bekas istri orang lain yang masih dalam masa iddah.

c. Perempuan-perempuan yang ditalak tiga kali.

d. Perempuan yang sedang melakukan ihram.

e. Perempuan musyrik.

f. Wanita kelima sesuadah beristri empat orang

UU RI. No.1 Tahun 1974 mengatur siapa saja yang dilarang untuk melaksanakan perkawinan yaitu dalam Pasal (8), (9), (10) sedangkan dalam KHI diatur dalam Pasal (39), (40), (41), (42), (43),erta (44).

Bab berikunya buku ini menjelaskan mengenai nasab anak yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 mengatur asal-usul anak dalam pasal (42), (43) dan (44). Tidak jauh berbeda dengan UU RI, KHI juga mengatur mengenai nasab anak yaitu terdapat dalam Pasal (99), (100) dan (101). Ditemukan perbedaan makna antara Pasal 43 ayat 1 UU RI. No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI. Pasal 43 ayat 1 UU RI. No. 1 Tahun 1974 menekankan anak luar nikah memiliki hubungan perdata adalah sangat berbeda dengan Pasal 100 KHI yang menekankan anak luar nikah memiliki hubungan nasab. Dengan begitu, ditemukan ada perbedaan interpretasi antara hubungan perdata yang ditetapkan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dengan hubungan nasab dalam KHI.

Pencatatan perkawinan juga ditulis dalam buku ini. Adapun pengertian pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian (misaqan galidan)  atau aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Dalam Al-Qur'an dan hadis pun tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Sebelum UU RI. No.1 Tahun 1974, sudah ada UU RI. No. 22 Tahun 1946 yang mengatur tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Semula undang-undang ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, tetapi dengan lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 yang disahkan tanggal 26 Oktober 1954, UU RI. No. 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Dengan kata lain, lahirnya UU RI. No. 32 Tahun 1954 berarti UU RI. No. 22 Tahun 1946 berlaku seluruh daerah di Indonesia. Pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dan KHI Pasal 5 ayat 1 mutlak ditegakkan dan tetap eksis di negara Indonesia. Setiap warga negara yang sadar hukum, maka semestinya perkawinan yang dilaksanakan harus dicatat agar terjamin dan memperoleh perlindungan yang adil dari negara. Perkawinan yang dicatat, pasti istri dan anak-anak dilahirkan mendapat jaminan dan perlindungan hukum atas segala hak-haknya.

Setelah membahas mengenai pencatatan perkawinan maka dilanjutkan dengan  membahas mengenai perkawinan wanita hamil luar nikah dengan memaksa laki-laki yang bukan menghamilinya. Dapatkah ditetapkan anak itu mempunyai bapak?. Status bapak dalam hal ini ia hanya merupakan simbol saja agar anak itu mempunyai bapak. Dalam hukum adat, kawin paksa dan kawin darurat adalah upaya-upaya preventif anak lahir tanpa bapak. Namun demikian, kawin paksa atau kawin darurat terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya yakni perkawinan itu putus atau dilanjutkan.

Apabila yang dilahirkan dalam pernikahan adalah anak perempuan maka kedudukan bapak tidak dapat menjadi wali dalam perkawinan tersebut. Karena anak dan bapak tersebut dianggap tidak mempunyai hubungan nasab. Oleh karena menurut hukum adat yang diresepsi oleh hukum Islam, bahwa yang boleh saling mewarisi harus ada hubungan nasab anatara orang tua serta anak, Serta yang boleh menjadi wali yaitu apabila mempunyai hubungan nasab. Landasan dalam UU RI. No. 1 Tahun 1974 tentang bolehnya wanita hamil luar nikah dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya terdapat dalam pasal 42. Sedangkan dalam KHI, perkawinan wanita hamil luar nikah tercantum dalam pasal 53 ayat 1, 2 dan 3. Namun dalam penerapannya pasal 53 KHI menunjukkan bahwa wanita hamil luar nikah hanya diperbolehkan   melaksanakan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya.

Anak zina yakni seorang anak dilahirkan secara tidak sah, maka anak tersebut dianggap sebagai anak luar nikah. Sebagai akibatnya, anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya, melainkan hanya kepada ibunya. Ditegaskan dalam hukum bahwa anak zina tidak berhak atas ayah biologisnya menjadi wali, tidak dapat saling mewarisi dan memberikan nafkah

 Mengenai anak dari perkawinan mut'ah yakni tidak mengenal hubungan waris antara suami istri, tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberi biaya hidup dan tempat tinggal kepada istri. Sekiranya dalam perjanjian mut'ah itu lahir seorang anak, maka anak itu dibawa bapaknya. karena tidak boleh saling mewarisi dan suami tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah. Selain itu, tentu menimbulkan akibat-akibat buruk masa depan anak yang lahir dalam nikah mut'ah. Kadang-kadang bapak melepaskan tanggung jawab dari anak dilahirkan dalam nikah mut'ah.

Kasus tersebut hampir sama dengan anak mula'anah, yaitu anak dilahirkan dari seorang wanita yang dili'an oleh suaminya. Kedudukan anak mula'anah hukumnya sama dengan anak zina, tidak mengikuti nasab suami ibunya yang meli'an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya, ketentuan tersebut berlaku juga terhadap kewarisan dan perkawinan.

 Bab berikutnya membahas putus perkawinan, apabila putusnya perkawinan dikarenakan oleh perceraian maka hal tersebut ialah hal yang paling dibenci oleh Allah. Adapaun pengertian putusnya perkawinan ialah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putusnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 dinyatakan dalam pasal 38 bahwa perkawinan dapat putus karena:

  • Kematian,
  • Perceraian dan
  • Atas keputusan Pengadilan.

KHI pasal 113 menentukan keadaan putus perkawinan karena

  • Kematian,
  • Perceraian, dan
  • Atas putusan Pengadilan.

Terdapat jenis-jenis putusnya perkawinan dalam KHI yakni talak raj'i, talak bain sughra, talak bain kubra, talak sunny, talak bid'i  serta lian.  Akibat putusnya perkawinan karena perceraian dapat ditemukan dalam UU RI. No.1 Tahun 1974 pasal 4, Sementara akibat hukum perceraian dapat ditemukan dalam KHI pasal 156.

Bab berikutnya membahas mengenai pernikahan poligami, dalam islam tidak melarang untuk melakukan perkawinan poligami kepada siapa, namun dalam kenyataannya perkawinan poligami di Indonesia ialah salah satu penyebab pemicu terjadinya perkawinan yang tidak dicatat, akibatnya hak-hak anak  yang tidak terlindungi dan terabaikan. Karena poligami juga banyak anak dalam perkawinan tidak mendapat perlindungan kasih sayang dan hak-haknya dari kedua orangtuanya, melainkan perkawinan poligami dilakukan untuk menghalalkan hawa nafsunya saja.

Oleh karena itu, perkawinan poligami boleh saja dilakukan asalkan dari perkawinan itu dapat dicatatkan kepada pejabat yang berwenang, berlaku adil kepada semua istri-istrinya dan melindungi hak-hak anak yang dilahirkan sebagaimana perkawinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Sementara itu, syarat kebolehan perkawinan poligami dalam KHI diatur dalam Pasal 55 ayat 2.

Mengenai hak-hak istri sebagai berikut;

  • Menjaga kesucian istri dan menggaulinya dengan cara makruf.
  • Seorang suami wajib menggauli istrinya dengan baik dan diwajibkan mengeluarkan yang menjadi hak istrinya yang harus dipenuhi tanpa penangguhan.
  • Keadilan dalam masalah nafkah.

Adapun hal-hal yang harus dilakukan suami, sebagai berikut;

  • Memberikan nasihat, menyuruh dan mengingatkan untuk berbuat baik serta menyenangkan hati istri.
  • Memberi nafkah istri sesuai dengan usaha kemapuan.
  • Selalu bersabar dan tidak mudah marah apabila istri berkata dan berbuat sesuatu yang menyakitkan.
  • Bersikap lemah lembut dan berbuat baik terhadap istri karena pada umumnya mereka kurang sempurna akal dan agamanya.
  • Menuntun istri dengan jalan kebaikan.
  • Mengajari dalam urusan agama seperti yang berkenaan dengan taharah.

Hak dan kewajiban suami istri yang diperjelas dalam UU RI. No.1 Tahun 1974, dapat dilihat dari beberapa pasal yang mengatur tentang itu, yaitu pasal 30 "Hak dan kewajiban suami istri dalam KHI, dapat dicermati mulai pasal 77 sampai pasal 84.

Setelah membaca serta memahami buku ini saya dapat menarik kesimpulan bahwa buku ini menjelaskan dari sejarah dan sumber pemberlakuan hukum islam hingga hak dan kewajiban suami istri. Dalam penyampaian materi pun cukup jelas dan detail. Sebagai pembaca saya juga merasa termotivasi untuk mempelajari hal hal yang berkaitan keilmuan hukum perdata islam di Indonesia.

Selain kelebihan buku ini yang detail, buku ini juga memiliki kekurangan yaitu bahasa yang digunakan terkadang sulit dipahami untuk seorang yang baru ingin belajar serta penggunaan kalimat yang terkadang membuat kita berfikir apa makna dari kalimat tersebut.

Adapun alasan saya memilih buku "Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia Analisis Legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional" karya Dr. Fikri, S.Ag., M.HI untuk direview karena buku ini menarik untuk saya baca serta saya pelajari untuk bekal sebagai mahasiswa agar menambah wawasan mengenai hukum perdata di Indonesia. (MUSTIKHA LARASATI- HUKUM KELUARGA ISLAM 4D-212121133)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun