Menulis segala sesuatu dari berbagai sudut. Memotret dari segala sisi. Entah bunga mawar yang berbeda dilihat dari berbagai penulis (mawar bagi sastrawan, mawar bagi ahli biologi, mawar dari sang penakluk cinta). Atau bulan (dari sudut orang jatuh cinta, dari pengamatan ahli astronomi ataupun dari hati sang pujangga).
Buatlah website (kalau malas mengeluarkan uang, bikinlah blog gratis yang berserakan di dunia interneter). Kalau bisa diusahakan setiap hari. Atau Usahakan setiap minggu satu tulisan. Nanti kalau hati gundah, bukalah blog. Ataupun kalau lagi gembira (mendapatkan rejeki nomplok), tuliskanlah hingga kita bisa membaca perjalanan waktu kehidupan.
Saya bertemu dengan orang yang menulis sangat dalam, hebat dan membumi. Daya getarnya menggigit relung kehidupan. Namun ternyata, sang penulis sangat tidak disiplin. Entah kesibukan atau mungkin hendak menulis dengna serius, maka tulisan yang baik kemudian tidak banyak saya temukan lagi.
Asalah terus menerus. Ingat. Menulis bukanlah “sekedar pengetahuan’. Menulis adalah keterampilan. Karena itu, asalah setiap hari. Dimulai satu kalimat setiap hari. Kemudian disiplin mengisi satu tulisan setiap minggu.
Tidak perlu bermimpi menjadi penulis yang hebat ataupun terkenal. Menulis adalah “keresahan” ataupun kegembiran kita.
Kesebelas. Menulis adalah peradaban. Seluruh manusia memerlukan menulis. Entah buat status FB/twitter, menulis gagasan, membuat proposal, membuat karya ilmiah, membuat buku, membuat laporan, membikin perjalanan (touring) ataupun sekedar mengundang acara “yasinan” di kampung.
Saya pernah bertemu dengan seseorang yang berbicara berapi-api, menggelegar, gagasannya keren, penggunaan katanya “ok”, solusinya kongkrit. Pokoknya keren banget.
Namun ketika diminta menuliskan gagasannya. mulai keluar keringat dingin bahkan untuk menyelesaikan satu halamanpun tidak pernah selesai.
Ataupun seseorang yang suka berdebat di millist. Menggunakan literature barat, menggunakan istilah yang “bikin puyeng’. Namun menyelesaikan “paper brief” cuma satu setengah halaman aja tidak pernah kelar.
Sementara disisi lain, ketika berbicara pelan, santun dan cenderung tidak mau frontal. Namun ketika menulis, entah “energi” apa yang digunakan sehingga bisa membawa ke berbagai tempat cakrawala yang luput dari pembicaraan. Kekagetan yang dituliskannya kemudian memberikan apresiasi saya kepadanya daripada sang pembicara yang berapi-api sebelumnya.
Meminjam istilah Pramoedya Ananta Noer “Orang boleh pandai setinggi langit. Selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat. Dan dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian.