Tulisan yang baik haruslah disiplin didalam “logis, sistematis, struktur”. Tidak ada satupun tulisan yang baik yang tidak disiplin dengan teknik seperti itu.
Selain itu, setiap paragraph hanya memuat satu ide. Ide disusun bisa saja menggunakan berbagai konsep. Untuk memudahkan, maka konsep maka diusahakan satu paragraf. Apabila ide kita banyak, maka bagilah beberapa paragraph.
Didalam satu paragraf, maka ada kalimat utama dan kalimat penjelas. Bisa kita memulai dengan kalimat utama. Ataupun bisa saja kita memberikan kalimat penjelas barulah diakhiri kalimat utama. Kesemuanya “memerlukan” keterampilan yang harus diasah terus menerus.
Penulis yang baik tidak pernah puas terhadap tulisan terakhirnya. Penulis harus gelisah dan terus memperbaiki tulisannya dan terus memotret persoalan disekitarnya.
Ketujuh. Buatlah kerangka karangan (outline). Penulis yang baik selalu membuat kerangka karangan. Baik dituliskan sebelum membuat tulisan, membuat catatan kecil hingga coretan di buku (bahkan fasilitas handphone telah menyediakan “note).
Dengan membuat “outline’, maka pikiran kita kemudian “dituntut” agar tertib, disiplin didalam menjaga alur, tidak melompat dan berputar-putar ataupun tulisan yang saling bertabrakan.
Kedelapan. Menulis adalah kompas perjalanan waktu, sebagai “obor’ terhadap tema tertentu sekaligus “mengukur” kemampuan berfikir pada waktu tertentu.
Saya pernah mengalami diskusi yang panjang dengan berbagai komunitas. Namun setiap pendapat saya, saya selalu “melampirkan” tulisan yang pernah saya tuliskan. Dengan melampirkan tulisan, saya kemudian memberikan pesan, tema ataupun pandangan saya terhadap peristiwa tertentu, telah saya uraikan panjang lebar sehingga saya berharap, diskusi menjadi produktif.
Dengan membaca tulisan lama, maka kita bisa memahami sebuah peristiwa (dari sudut pandang suasana psikologis ketika tulisan dibuat). Suasana ini memberikan kenangan dan pandangan lebih lengkap dari sebuah peristiwa yang lampau.
Baik karena suasana kegembiran ataupun suasana “gundah” ketika tulisan dibuat. Rasa dan kenangan terhadap tulisan yang telah lama kita buat, membuat kita merasa “melayang-layang” jauh dan membangkitkan semangat baru.
Kesembilan. Disiplin menulis. Tidak satupun penulis yang berhasil tanpa ketekunan. Dengan ketekunan, maka kemampuan semakin terasah. Ibarat pisau, otak setiap hari harus diasah agar tetap tajam, insting terasah dan disiplin untuk terus menulis.