Tiba-tiba istilah “blusukan” menjadi istilah kosakata yang paling sering dibicarakan Pilpres. Istilah yang digunakan media ketika melihat kegiatan Jokowi yang sering turun ke lapangan. Jokowi turun ke gorong-gorong, duduk di warung, mendatangi puskesmas, kantor camat, kantor lurah. Jokowi nyelonong ke rumah-rumah penduduk. Jokowi mampir ke kantor LSM (YLBHI, SPI, AMAN, WALHI). Media kemudian meliputnya setiap hari dan perjalanan Jokowi menjadi headline di berbagai media.
Tiba-tiba “blusukan” kemudian disandingkan dengna pencitraan. Blusukan disandingkan “kepopuleran”. Blusukan dianggap sebagai cara menarik simpati rakyat.
Tapi apakah memang benar ?
Blusukan mengingatkan penulis dengan istilah yang sama seperti Turba (turun ke daerah) atau sidak (inspeksi mendadak). Istilah yang sering digunakan pada masa Soeharto. Dengan turba, pejabat ingin mendapatkan informasi langsung dari masyarakat mengenai persoalan yang sering dihadapi. Dengan turba, pejabat mengetahui cara-cara mengambil keputusan secara cepat.
Begitu juga sidak, kegiatan ini tidak begitu jauh berbeda makna artinya. Dengan sidak, pejabat mengetahui “kelemahan” pejabat dari laporannya. Dengan sidak, pejabat mengetahui apakah laporan yang masuk merupakan “ABS” (Asal bapak senang) atau tidak.
Dengan sidak, mekanisme pemerintahan akan bisa diketahui apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak.
Dengan menggunakan terminologi sederhana, secara essensi memang ada perbedaan mendasar antara blusukan, turba dan sidak. Turba dan sidak lebih menitikberatkan “perbaikan” tatakelola pemerintahan dan mengukur laporan dari pejabat untuk memperbaiki mekanisme pemerintahana.
Sedangkan “blusukan” lebih menitikberatkan “menyelesaikan” persoalan di tengah masyarakat, mendengarkan aspirasi, mendengarkan berbagai model penyelesaikan yang ditawarkan oleh masyarakat, memperbaiki komunikasi, menyampaikan tawaran yang hendak dilakukan pemerintah dan meminta masyarakat untuk bersama-sama menyelesaikan persoalannya.
Tapi pada essensinya, turba, sidak atau blusukan bertujuan mengukur efektif atau tidaknya program pemerintahan, mencari berbagai model penyelesaian persoalan dan mengajak masyarakat bersama-sama menyelesaikan persoalan.
Berbagai cerita sidak sering penulis dengar.
Masih ingat cerita Sultan Hamengkubowono IX yang nongkrong di warung mendengarkan keluhan warga masyarakat petani terhadap persoalan sehari-hari. Petani tidak mengenal “Ngarso dalem”. Mereka bercerita panjang lebar.
Besok harinya petani kemudian kaget ketika kepala Dinas mendatangi petani untuk menyelesaikan msalahnya.
Kita mengenal Mudrick (Ketua PPP Solo) pada masa awal-awal kejatuhan Soeharto yang setiap hari nongkrong di warung-warung. Dia mendengarkan ibu-ibu yang menangis karena biaya anak sekolah. Dia mendengarkan ibu-ibu yang menangis karena tidak ada biaya berobat. Dia panggil anggota DPRD Solo mendengarkan persoalan ibu-ibu tersebut. Anggota DPRD kemudian menghubungi Kepala Dinas Pendidikan. Lain hari kemudian anggota DPRD kemudian menghubungi Kepala Dinas Kesehatan.
Pada masa pemerintahan Bupati Sarko (kemudian menjadi Kabupaten Sarolangun dan Merangin), malam-malam menggunakan sepeda motor dan berjaket kulit mendatangi sebuah kantor pemerintahan. Dia santai mendengarkan cerita tentang kenaikan gaji yang tertunda, uang makan yang sering dipotong, persoalan fasilitas yang kurang.
Esoknya kemudian kepala dinas tersebut diberhentikan.
Begitu juga saya pernah mendengarkan cerita dari penyidik. Kedatangan Kapolres Jambi ke polsek-polsek. Dengan tekun dia mendengarkan apa persoalan terhadap anggota Polsek di saat piket malam. Dia kemudian mendapatkan jawaban. Keluhan penyidik terhadap persoalan makan malam.
Esok harinya, Kapolres menambah fasilitas untuk makan makan seperti menyediakan kompor di polsek dan menambah uang lauk pauk. Kebijakan yang tidak diteruskan Kapolres-kapolres selanjutnya.
Saya tidak pernah menyebutkan diri blusukan apabila setiap minggu pagi berbelanja di pasar tradisional Angso Duo di kota Jambi. Saya bisa saja meminta “supir” kantor untuk menemani berbelanja. Atau meminta putra tertua untuk mengendarai ke pasar.
Tapi ini persoalan “pilihan”. Selain memang tugas rutin sebagai suami, rutinitas sudah rutin dilakukan sejak kami memulai berumah tangga.
Saya tidak “berdebat” dengan istri saya. Yang rela masuk berbecek-becek ke pasar tradisional hanya untuk mengejar “selisih” belanjaan seribu rupiah. Saya tidak perlu berdiskusi, mengapa membeli sayur pada suatu tempat, membeli daging di tempat lain. Padahal keduanya bisa saja dibeli dengan tempat yang berdekatan. Saya tidak perlu “mempersoalkan” itu. Karena bagi istri saya, belanja di pasar tradisional mempunyai hubungan “batin” antara pembeli dan penjual. Hubungan yang telah mereka bina bertahun-tahun. Saya tidak masuk ke wilayah itu.
Di pasar tradisional, saya kemudian mengetahui “siapa” yang menguasai parkir. Siapa yang biasa “memungut” upeti untuk kebersihan, memungut upeti untuk “keamanan”. Uang keamanan “los”, uang keamanan “lapak”.
Di pasar itulah saya kemudian menemukan “siapa yang kepasar” pakai mobil dinas. Atau melihat istri pejabat yang “tetap” ke pasar tradisional dan tampil apa adanya.
Bertahun-tahun saya melihat. Bertahun-tahun pula saya mengetahui persoalan “pasar tradisional”.
Begitu juga saya masih menikmati perjalanan ke berbagai daerah terpencil di Jambi. Saya mengikuti dinamika Pemilu atau dinamika Pilkada.
Saya melihat bagaimana “pembagian poster”. Pembagian sembako di tengah masyarakat.
Saya juga melihat “kapan jalan diperbaiki. Namun belum satu tahun kemudian hancur lagi”.
Saya melihat bagaimana janji Kepala Daerah yang “melarang” jalan raya dilalui mobil bermuatan batubara. Dan bagaimana pula ternyata janji itu sama sekali tidak bisa memaksa mobil yang terus melewati jalan raya.
Saya kemudian bisa melihat bagaimana program pemerintah atau kepala daerah yang berapi-api menjelaskannya. Namun setelah menjabat, sama sekali tidak terbukti
Begitu juga yang saya rasakan ke Jakarta. Saya bisa merasakan bagaimana “pelayanan busway” yang relatif ada “sedikit kemajuan”. Ongkos kereta api Jakarta – Bogor yang jauh lebih murah. Pelayanan DAMRI yang semakin “keren”.
Saya menggunakan ojek karena lebih murah dan relatif lebih cepat. Memasuki gang-gang sempit. Kampung-kampung yang sudah dibersihkan. Got-got yang tidak tergenang air lagi.
Saya tetap melihat semua persoalan itu di jalanan.
Semua cerita saya bisa saja saya baca di berbagai media massa. Namun saya tidak merasakan apa sesungguhnya terjadi.
Tentu saja banyak cerita yang mengalir di tengah masyarakat.
Saya kemudian banyak mendapatkan “pelajaran langsung” dari masyarakat.
Turba, sidak atau blusukan bukan berarti tidak percaya dengan laporan dari staff. Bukan tidak percaya dengan hasil dokumen yang telah disampaikan.
Turba, sidak atau blusukan merupakan kegiatan yang biasa-biasa saja. Tidak merupakan kegiatan seremoni yang membawa pasukan “punggawa lengkap. Di tambah dengan pasukan yang berseragama lengkap, memakai HT, membawa pasukan menggunakan berbagai kamera.
Turba, sidak atau blusukan merupakan kegiatan yang memang seharusnya dilakukan oleh pemimpin. Mendengarkan langsung “suara jujur” masyarakat.
Turba, sidak atau blusukan tidak perlu “didesain” untuk membangun citra pemimpin yang “Seolah-olah merakyat'. Mengatur siapa yang menjadi juru bicara. Bagaimana jawaban pemimpin.
Turba, sidak atau blusukan bukanlah pencitraan. Bukan kegiatan pura-pura. Bukan kegiatan sandiwara. Bukan kegiatan serimonial sang pemimpin. Turba, sidak atau blusukan kegiatan untuk memperbaiki kinerja pemimpin, mendapatkan input secara langsung dan mengagendakan kebutuhan masyarakat.
Dengan Turba, sidak atau blusukan pemimpin mengetahui “keputusan yang hendak diambil”, mengambil keputusan yang tidak keliru. Mengambil keputusan yang paling “dirasakan” oleh rakyat.
Mengambil putusan bukan di ruang ber-AC, berduduk kursi yang empuk, berada di ruangan yang mewah. Keputusan diambil dari lorong-lorong rumah penduduk, di tengah masyarakat, di pasar tradisional, di ruang-ruang pelayanan publik, di jalan raya atau di tempat persoalan itu terjadi.
Mengambil keputusan diambil dari suara masyarakat.
Saya percaya kepada pemimpin yang “sering turun ke lapangan”. Saya percaya pemimpin yang mau mendengarkan persoalan masyarakat. Saya percaya kepada pemimpin yang rela berjalan kaki ke sana kemari mendengarkan aspirasi secara langsung.
Diluar dari tujuan Turba, sidak atau blusukan maka itulah yang disebutkan dengna pencitraan, “pemimpin yang “seolah-olah “merakyat”. Rakyat pasti mengetahuinya. Karena rakyat menangkap dengan “hati”. Menangkap dengan “rasa”.
Sebuah asa yang tidak mungkin diketahui oleh mereka yang memantau kegiatan Jokowi dari balik layar televisi. Dari rumah yang megah. Dari mereka yang selalu menggunakan kendaraan pribadi melintasi jakarta. Dari mereka yang tidak pernah ke pasar tradisional. Dari mereka yang tidak pernah “merasakan” sumpeknya jalur kereta api Jakarta Bogor. Mereka yang tidak pernah pakai ojek atau kendaraan umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H