Bertahun-tahun saya melihat. Bertahun-tahun pula saya mengetahui persoalan “pasar tradisional”.
Begitu juga saya masih menikmati perjalanan ke berbagai daerah terpencil di Jambi. Saya mengikuti dinamika Pemilu atau dinamika Pilkada.
Saya melihat bagaimana “pembagian poster”. Pembagian sembako di tengah masyarakat.
Saya juga melihat “kapan jalan diperbaiki. Namun belum satu tahun kemudian hancur lagi”.
Saya melihat bagaimana janji Kepala Daerah yang “melarang” jalan raya dilalui mobil bermuatan batubara. Dan bagaimana pula ternyata janji itu sama sekali tidak bisa memaksa mobil yang terus melewati jalan raya.
Saya kemudian bisa melihat bagaimana program pemerintah atau kepala daerah yang berapi-api menjelaskannya. Namun setelah menjabat, sama sekali tidak terbukti
Begitu juga yang saya rasakan ke Jakarta. Saya bisa merasakan bagaimana “pelayanan busway” yang relatif ada “sedikit kemajuan”. Ongkos kereta api Jakarta – Bogor yang jauh lebih murah. Pelayanan DAMRI yang semakin “keren”.
Saya menggunakan ojek karena lebih murah dan relatif lebih cepat. Memasuki gang-gang sempit. Kampung-kampung yang sudah dibersihkan. Got-got yang tidak tergenang air lagi.
Saya tetap melihat semua persoalan itu di jalanan.
Semua cerita saya bisa saja saya baca di berbagai media massa. Namun saya tidak merasakan apa sesungguhnya terjadi.
Tentu saja banyak cerita yang mengalir di tengah masyarakat.