Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Blusukan, Turba dan Sidak

3 Juni 2014   20:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Besok harinya petani kemudian kaget ketika kepala Dinas mendatangi petani untuk menyelesaikan msalahnya.

Kita mengenal Mudrick (Ketua PPP Solo) pada masa awal-awal kejatuhan Soeharto yang setiap hari nongkrong di warung-warung. Dia mendengarkan ibu-ibu yang menangis karena biaya anak sekolah. Dia mendengarkan ibu-ibu yang menangis karena tidak ada biaya berobat. Dia panggil anggota DPRD Solo mendengarkan persoalan ibu-ibu tersebut. Anggota DPRD kemudian menghubungi Kepala Dinas Pendidikan. Lain hari kemudian anggota DPRD kemudian menghubungi Kepala Dinas Kesehatan.

Pada masa pemerintahan Bupati Sarko (kemudian menjadi Kabupaten Sarolangun dan Merangin), malam-malam menggunakan sepeda motor dan berjaket kulit mendatangi sebuah kantor pemerintahan. Dia santai mendengarkan cerita tentang kenaikan gaji yang tertunda, uang makan yang sering dipotong, persoalan fasilitas yang kurang.

Esoknya kemudian kepala dinas tersebut diberhentikan.

Begitu juga saya pernah mendengarkan cerita dari penyidik. Kedatangan Kapolres Jambi ke polsek-polsek. Dengan tekun dia mendengarkan apa persoalan terhadap anggota Polsek di saat piket malam. Dia kemudian mendapatkan jawaban. Keluhan penyidik terhadap persoalan makan malam.

Esok harinya, Kapolres menambah fasilitas untuk makan makan seperti menyediakan kompor di polsek dan menambah uang lauk pauk. Kebijakan yang tidak diteruskan Kapolres-kapolres selanjutnya.

Saya tidak pernah menyebutkan diri blusukan apabila setiap minggu pagi berbelanja di pasar tradisional Angso Duo di kota Jambi. Saya bisa saja meminta “supir” kantor untuk menemani berbelanja. Atau meminta putra tertua untuk mengendarai ke pasar.

Tapi ini persoalan “pilihan”. Selain memang tugas rutin sebagai suami, rutinitas sudah rutin dilakukan sejak kami memulai berumah tangga.

Saya tidak “berdebat” dengan istri saya. Yang rela masuk berbecek-becek ke pasar tradisional hanya untuk mengejar “selisih” belanjaan seribu rupiah. Saya tidak perlu berdiskusi, mengapa membeli sayur pada suatu tempat, membeli daging di tempat lain. Padahal keduanya bisa saja dibeli dengan tempat yang berdekatan. Saya tidak perlu “mempersoalkan” itu. Karena bagi istri saya, belanja di pasar tradisional mempunyai hubungan “batin” antara pembeli dan penjual. Hubungan yang telah mereka bina bertahun-tahun. Saya tidak masuk ke wilayah itu.

Di pasar tradisional, saya kemudian mengetahui “siapa” yang menguasai parkir. Siapa yang biasa “memungut” upeti untuk kebersihan, memungut upeti untuk “keamanan”. Uang keamanan “los”, uang keamanan “lapak”.

Di pasar itulah saya kemudian menemukan “siapa yang kepasar” pakai mobil dinas. Atau melihat istri pejabat yang “tetap” ke pasar tradisional dan tampil apa adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun