Pendahuluan
Penelitian Narasi dan Politik Identitas Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalime dan Terorisme, setidaknya mengandung dua kata kunci yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini yaitu radikalisme dan terorisme.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) bahwa “radikalisme” bisa bermakna tiga hal. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.
Adapun kata terorisme, Wittaker (2003) mengutip pengertian yang dikemukakan Walter Reisch bahwa terorisme adalah “strategy of violence designed to promote desired outcomes by instilling fear in the public at large” (suatu staregi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan mmasyarakat umum). Sedag Brian Jenkins (1974, 1999, 2006) memberi pengertian terorisme ialah ...... “the use or threaten use of force designed to bring about political change (penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan, yang bertujuan untuk mencapai terjadinya perubahan politik).
Sedang pengertian teror menurut Hendropriyono (2009: 25) adalah mengandung arti penggunaan kekerasan untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas, daripada hanya pada jatuhnya korban kekerasan.
Tindakan terorisme dalam kenyataan acapkali dilakukan oleh suatu kelompok, organisasi, partai politik, lembaga, negara dan atau individu yang bertujuan untuk membangkitkan perasaan takut masyarakat. Sedangkan pengertian teroris adalah pelaku teror yang melakukan tindakan terorisme untuk menakut-nakuti masyarakat.
Pengertian teror yang baku dan definitif dari apa yang disebut terorisme, sampai saat ini belum ada keseragaman. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membentuk Ad Hoc Committee onTerrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.
Permasalahan di DKI Jakarta
DKI Jakarta yang dijadikan sebagai salah satu obyek penelitian dalam penelitian Narasi dan Politik Identitas Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalime dan Terorisme, memiliki banyak permasalahan. Mayjen TNI Purn. H. Eddie M. Nalapraya sebagai salah satu responden mengemukakan bahwa permasalahan masyarakat DKI Jakarta sangat kompleks. Semua persoalan memberi andil terwujudnya radikalisme dan bahkan terorisme. Persoalan ideologi termasuk di dalamnya. Oleh karena, masalah ideologi tidak mudah hilang.
Dia mengemukakan bahwa baru beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, karena persoalan keamanan, ibukota Negara Republika Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tahun 1948, Muso memproklamirkan berdirinya Negara Komunis Indonesia yang dikenal dengan sebutan Madiun Affairs. Pemerintah kemudian menumpas gerakan tersebut. Namun, tahun 1965, PKI kembali melancarkan kudeta yang mengakibatkan 7 (tujuh) Jenderal TNI dibunuh dan dimasukkan ke dalam Lubang Buaya. Setelah Orde Reformasi, peristiwa G 30 S seolah mau diputar-balikkan, dianggap bukan pemberontakan PKI.
Tahun 7 Agustus 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di suatu desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakannya dinamakan Darul Islam (DI), sedang tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan ini menurut Eddie Nalapraya, dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta.
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII), kemudian diproklamirkan oleh Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daud Beurueh di Aceh, dan di beberapa daerah yang lain.
Pemerintah bertindak tegas dan berhasil menumpas DI/TII tahun 1963. Akan tetapi, menurut Eddie M. Nalapraya, ideologi yang mereka kembangkan tidak mudah hilang. Terbukti, ideologi semacam itu belum sepenuhnya hilang dengan fenomena terorisme.
Di era Orde Reformasi, dengan era kebebasan dan keterbukaan, tidak mustahil mereka masuk di mana-mana untuk mengembangkan ideologi.
Ahmad Syafi’i Mufid, Ketua Forum Kerukunan umat Beragama 9FKUB) DKI Jakarta, yang juga menjadi responden dalam penelitian ini berpendapat bahwa ideologi negara Islam yang dikembangkan di masa lalu, belum sepenuhnya hilang. Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi masyarakat DKI Jakarta, menurut dia tidak lagi sepenuhnya pada masalah ideologi, tetapi kehidupan ekonomi. Dia juga menyebut DKI Jakarta sebagai melting pot berkembangnya segala pemikiran dam gerakan keagamaan.
Ahmad Syafi’i Mufid bebih lanjut mengemukakan bahwa DKI Jakarta sangat beruntung karena punya basis masyarakat yang moderat, sehingga setiap faham yang datang ke DKI Jakarta selalu beradaptasi. Kehidupan Jakarta yang sangat kental dengan kultur keagamaan, mampu menaklukkan kultur yang keras. Kultur di Jakarta sangat lentur dengan unsur keagamaan. Oleh karena itu, tidak ada paham dan gerakan radikal yang mendapat basis dukungan yang besar di DKI Jakarta, jika tidak sesuai dengan kultur Betawi.
Jika ada gerakan yang masuk dan tidak sesuai dengan kultur Betawi, ditolak. FBR dan Forkabi sebagai contoh, walaupun terkesan radikal, tetapi organisasi kedaerahan itu lebih banyak bersinggungan pada masalah-masalah yang terkait kehidupan masyarakat Betawi di bidang kehidupan sehari-hari seperti ekonomi. Mereka membentuk organisasi kedaerahan sebagai bagian dari kesadaran kebetawian untuk memperkuat kebersamaan, karena dalam percaturan hidup di DKI Jakarta merasa tidak berdaya dan banyak terpinggirkan.
Agak berbeda dengan FPI yang didirikan dengan motif keagamaan. Doktrinnya moderat, tetapi kegiatannya terlihat ekstrem. FPI mendapat pengaruh dari pikiran radikal dari mereka yang tersingkir atau tersisih dari kehidupan ekonomi.
Akan tetapi, Qaimoeddien Tamsy (Qatamash), Ketua Majelis Ulama DKI Jakarta yang juga responden dalam penelitian ini, menegaskan bahwa masalah utama di DKI Jakarta pada mulanya adalah persoalan akidah (kepercayaan). Ada kaitan dengan sejarah masa lalu yaitu tentang Negara Islam dan Piagam Jakarta. Akan tetapi sekarang ini pengaruhnya sudah sangat berkurang. Masalah utama sekarang adalah masalah perut yaitu ekonomi.
Menurut dia, menonjolnya masalah ekonomi ketimbang ideology, disebabkan kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang rendah.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Selamat Nurdin, yang juga Ketua Fraksi PKS di DPRD DKI Jakarta dan menjadi responden dalam penelitian ini. Menurut dia, Masalah di DKI Jakarta sebenarnya identik dengan masalah umat Islam karena mayoritas penduduk DKI Jakarta adalah Muslim. Masalah utama yang dihadapi masyarakat DKI Jakarta adalah pekerjaan, kemiskinan dan ketimpangan.
Ketua DPW PKS DKI Jakarta itu menjelaskan hasil survei yang dilakukan PKS tentang peta sosial keagamaan masyarakat DKI Jakarta yaitu sekitar:
- 75 % menjalankan ibadah puasa.
- 67 % melaksanakan salat lima waktu.````````````````````````````````````
- 24 % berafiliasi ke partai politik Islam.
Jika merujuk hasil penelitian tersebut, maka masyarakat DKI Jakarta lebih bersifat ritual dan akhlak, tidak ideologis. Kalau tidak ideologis, berarti masyarakat DKI Jakarta toleran, tidak ekstrem, tidak radikal dan tidak pula punya potensi untuk melakukan tindak terorisme.
Hubungan Islam, Negara dan Politik
Menurut Qaimoeddien Tamsy bahwa hubungan Islam, negara dan politik, sudah tidak ada masalah. Pandangan serupa dikemukakan oleh Selamat Nurdin, bahwa konsekuensi logis dari kondisi keberagamaan masyarakat DKI Jakarta yang tidak bersifat ideologis, maka mereka tidak mempersoalkan hubungan Islam dengan negara dan politik termasuk demokrasi, masyarakat DKI Jakarta menerima dengan baik.
Kalau PKS menjadikan Islam sebagai asas partai, lebih bersifat internal sebagai sumber inspirasi dan dorongan untuk mengukuhkan soliditas dan kekuatan dalam membangun bangsa secara bersama-sama. Kalau sudah masuk ke tataran kekuasaan, maka landasan berpijak adalah Pancasila. Pendapat serupa dikemukakan Hasbiallah Ilyas, Anggota DPRD DK Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang juga menjadi responden dalam penelitian ini. Menurut dia, pemisahan agama dan negara mutlak dilakukan, agar masing-masing berjalan sesuai fungsi masing masing. Ulama jangan berpolitik, harus lebih banyak turun ke umat untuk memandu dan mengayomi.
Akan tetapi, menurut Ahmad Syafi’i Mufid bahwa hubungan Islam, negara dan politik masih belum selesai sepenuhnya. Akibat di masa Orde Baru, aspirasi Islam tidak diakomodir. Di masa Orde Reformasi, Pemerintah seharusnya menegakkan hukum, tetapi dalam realitas, hukum masih memble. Oleh karena itu, sebagian berpendapat bahwa jalan satu-satunya adalah penerapan syariat Islam, yang diwujudkan dalam Negara Republik Indonesia.
Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menang pemilu parlemen di DKI Jakarta , tetapi menurut Ahmad Syafi’i Mufid ada instruksi politik. Sejak itu banyak terjadi peristiwa politik termasuk peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok tahun 1984. Berbagai peristiwa yang terjadi setelah pemilu 1978, termasuk peristiwa kerusuhan Tanjung Priok, menyebabkan umat Islam merasa dimarjinalkan.
Menurut Ahmad Syafi’i Mufid, setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden RI 21 Mei 1998, BJ Habibie tampil memimpin Indonesia, umat Islam yang merasa termarjinalisasi di masa Orde Baru mendapatkan momentum untuk bangkit memformalkan Piagam Jakarta. Tetapi melalui jalan demokrasi, tidak berhasil karena hasil pemilu 1999, partai-partai Islam tidak mendapat dukungan suara yang signifikan.
Pandangan yang kurang lebih sama yaitu dari Mayjen TNI Purn. Eddie M. Nalapraya bahwa hubungan Islam, negara dan politik masih ada masalah. Dia mengemukakan bahwa Umat Islam sudah terlalu banyak mengalah. Mereka mengalah tetapi tidak banyak mendapat manfaat dalam pembangunan. Itu sebabnya banyak yang marah dan menjadi ekstrem dan radikal.
Penyebab Radikalisme dan Terorisme
Habib Salim Umar al Attas, Ketua Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta, yang juga menjadi responden dalam penelitian ini menolak kategorisasi yang menyebut umat Islam termasuk FPI disebut ekstrem, radikal apalagi teroris.
Para responden yang diwawancara, terbagi empat pandangan dalam melihat penyebab radikalisme dan terorisme.
Pertama, radikalime dan terorisme bersumber dari pandangan ideologis.
Kedua, masalah radikalime dan terorisme disebabkan ketidakadilan dalam segala bidang terutama ekonomi.
Ketiga, radikalisme dan terorisme merupakan gabungan dari persoalan ideologi, ekonomi, sosial, politik dan pemberitaan media.
Ahmad Syafi’i Mufid, mengharapkan tokoh-tokoh umat (Islam) harus satu visi,
1. jangan saling menyalahkan.
2. Para pemimpin tidak zalim dan rakus.
3. Ada gangguan dari pihak lain.
4. Ada perbedaan paham (Suni dan Syiah).
5. Media tidak netral.
Terorisme, merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut dapat dilihat dari sulitnya para ahli untuk mencapai kata sepakat terhadap definisi daripada terorisme, identifikasi tindakan, karakteristik maupun akar permasalahan terorisme.
Sampai saat ini tidak ada satu definisi tunggal yang dapat mewakili fenomena terorisme diseluruh dunia. Kompleksitas juga muncul karena faktanya, label ‘terorisme’ digunakan untuk mengidentifikasi berbagai macam fenomena dengan lingkup yang luas.
Di beberapa negara, terorisme identik dengan aktivitas kelompok revolusioner ekstrim kiri seperti Brigadir Merah di Italia, ataupun kelompok ekstrim kanan seperti Neo-Nazi dan Skinheads di Eropa.
Di Timur Tengah dan Afrika, muncul kelompok seperti Al Qaeda, yang diinspirasi dengan gerakan pembebasan di negeri-negeri Muslim yang secara ekonomi dijajah oleh Amerika Serikat.
Di Libanon, muncul Hizbullah, kelompok perlawanan terhadap Israil yang dalam pandangan mereka selalu mendapat perlindungan dan dukungan dari Amerika Serikat dan Barat.
Di Palestina, muncul kelompok perlawanan yang tidak mau kooperatif dengan Amerika Serikat dan Israil, yaitu Hamas yang kemudian dikategorikan sebagai teroris.
Di Afganistan, Taliban yang pernah memimpin Negara itu, kemudian digulingkan dan melakukan perlawanan, disebut sebagai teroris, yang sampai sekarang terus berperang melawan invasi Amerika Serikat dan sekutunya.
Di Mesir, para tokoh Ikhwanul Muslimin yang juga tokoh Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) yang didirikan untuk mengikuti pemilu 2012, telah memenangkan pemilihan umum demokratis di Mesir, yang untuk pertama kali dilaksanakan di negeri pyramid itu pasca revolusi tahun 2011. Akan tetapi, hasil pemilu itu dikudeta oleh Militer Mesir. Para pentolan Ikhwanul Muslimin dan Partai Kebebasan dan Keadilan seperti Presiden Mursi, pemimpin Ikhwanul Muslimin Muhammad Badie dan lain-lain, dipenjarakan dan dituduh sebagai teroris.
Di Indonesia, setelah terjadi penyerangan World Trade Center (WTC) yang dikenal dengan peristiwa 11 September 2001, terjadi Bom Bali 2002, yang menewaskan 202 jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan warga asing terutama warga Australia.
Kemudian pemboman di DKI Jakarta 2003 dengan sasaran JW Marriot, menewaskan 12 orang dan sekitar 150 orang mengalami cedera. Tahun 2009, JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta, kembali menjadi sasaran bom.
Kegiatan terorisme di DKI Jakarta yang paling mutakhir ialah pemboman Vihara Ekayana, Duri Kepa, Kebon Jeruk Jakarta Barat (4/8/2013).
Penyerangan, pembunuhan dan penangkapan terhadap mereka yang diduga menjadi teroris di seluruh Indonesia, sampai sekarang terus berlanjut yang dilakukan Densus 88 POLRI.
Allahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H