Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII), kemudian diproklamirkan oleh Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Daud Beurueh di Aceh, dan di beberapa daerah yang lain.
Pemerintah bertindak tegas dan berhasil menumpas DI/TII tahun 1963. Akan tetapi, menurut Eddie M. Nalapraya, ideologi yang mereka kembangkan tidak mudah hilang. Terbukti, ideologi semacam itu belum sepenuhnya hilang dengan fenomena terorisme.
Di era Orde Reformasi, dengan era kebebasan dan keterbukaan, tidak mustahil mereka masuk di mana-mana untuk mengembangkan ideologi.
Ahmad Syafi’i Mufid, Ketua Forum Kerukunan umat Beragama 9FKUB) DKI Jakarta, yang juga menjadi responden dalam penelitian ini berpendapat bahwa ideologi negara Islam yang dikembangkan di masa lalu, belum sepenuhnya hilang. Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi masyarakat DKI Jakarta, menurut dia tidak lagi sepenuhnya pada masalah ideologi, tetapi kehidupan ekonomi. Dia juga menyebut DKI Jakarta sebagai melting pot berkembangnya segala pemikiran dam gerakan keagamaan.
Ahmad Syafi’i Mufid bebih lanjut mengemukakan bahwa DKI Jakarta sangat beruntung karena punya basis masyarakat yang moderat, sehingga setiap faham yang datang ke DKI Jakarta selalu beradaptasi. Kehidupan Jakarta yang sangat kental dengan kultur keagamaan, mampu menaklukkan kultur yang keras. Kultur di Jakarta sangat lentur dengan unsur keagamaan. Oleh karena itu, tidak ada paham dan gerakan radikal yang mendapat basis dukungan yang besar di DKI Jakarta, jika tidak sesuai dengan kultur Betawi.
Jika ada gerakan yang masuk dan tidak sesuai dengan kultur Betawi, ditolak. FBR dan Forkabi sebagai contoh, walaupun terkesan radikal, tetapi organisasi kedaerahan itu lebih banyak bersinggungan pada masalah-masalah yang terkait kehidupan masyarakat Betawi di bidang kehidupan sehari-hari seperti ekonomi. Mereka membentuk organisasi kedaerahan sebagai bagian dari kesadaran kebetawian untuk memperkuat kebersamaan, karena dalam percaturan hidup di DKI Jakarta merasa tidak berdaya dan banyak terpinggirkan.
Agak berbeda dengan FPI yang didirikan dengan motif keagamaan. Doktrinnya moderat, tetapi kegiatannya terlihat ekstrem. FPI mendapat pengaruh dari pikiran radikal dari mereka yang tersingkir atau tersisih dari kehidupan ekonomi.
Akan tetapi, Qaimoeddien Tamsy (Qatamash), Ketua Majelis Ulama DKI Jakarta yang juga responden dalam penelitian ini, menegaskan bahwa masalah utama di DKI Jakarta pada mulanya adalah persoalan akidah (kepercayaan). Ada kaitan dengan sejarah masa lalu yaitu tentang Negara Islam dan Piagam Jakarta. Akan tetapi sekarang ini pengaruhnya sudah sangat berkurang. Masalah utama sekarang adalah masalah perut yaitu ekonomi.
Menurut dia, menonjolnya masalah ekonomi ketimbang ideology, disebabkan kemiskinan dan pendidikan masyarakat yang rendah.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Selamat Nurdin, yang juga Ketua Fraksi PKS di DPRD DKI Jakarta dan menjadi responden dalam penelitian ini. Menurut dia, Masalah di DKI Jakarta sebenarnya identik dengan masalah umat Islam karena mayoritas penduduk DKI Jakarta adalah Muslim. Masalah utama yang dihadapi masyarakat DKI Jakarta adalah pekerjaan, kemiskinan dan ketimpangan.
Ketua DPW PKS DKI Jakarta itu menjelaskan hasil survei yang dilakukan PKS tentang peta sosial keagamaan masyarakat DKI Jakarta yaitu sekitar:
- 75 % menjalankan ibadah puasa.
- 67 % melaksanakan salat lima waktu.````````````````````````````````````
- 24 % berafiliasi ke partai politik Islam.