Mohon tunggu...
Muslih
Muslih Mohon Tunggu... Guru - Guru pada MTs Negeri Lamandau Kalimantan Tengah

Guru yang masih belajar memperbaiki diri dan musafir yang sedang mengumpulkan bekal untuk perjalanan panjang ini sangat suka olahraga Volly dan badminton (sebagai penonton), juga sangat suka konten tentang pendidikan, pengembangan diri dan karakter serta hiburan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyusuri Rasa Rindu

20 Juni 2023   10:55 Diperbarui: 20 Juni 2023   11:01 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dengan kereta  malam kupulang sendiri

mengikuti rasa rindu

pada kampung halamanku

pada ayah yang menunggu

pada ibu yang mengasihiku

Lirih suara merdu Patty dengan nada yang menyentuh hati, mengiringi perjalanan pulangku. Kali ini aku sendirian karena memenuhi permintaan ibu yang sering sakit-sakitan. Sebenarnya enggan untuk pulang karena baru tahun kemarin pulang.

"Pulang dulu nak, ibu sering sakit. Mungkin ini kesempatanmu melihat ibu yang terakhir," lemah suaranya ketika kuangkat teleponnya beberapa hari yang lalu.

Aku terpekur mempertimbangkan permintaan ibu. diusianya yang 82 tahun,  ibu  semakin lemah dan renta. Keluhan tentang matanya yang sudah semakin kabur, kakinya yang sering kram dan tidak bisa berjalan jauh, membuat dadaku sesak dan sering menitikkan air mata kala sendiri.

Dua hari kemudian kutelepon kembali ibu.  Suaranya cerah dan gembira di ujung sana. Doanya selalu terselip untuk kebahagiaan dan kesehatanku serta menantunya. Aku menghela napas lega, niatku untuk  tidak pulang terwujud.

"Kalau belum bisa pulang gak apa-apa, ibu udah baikan." Lanjutnya  seperti bisa membaca pikiranku yang terdiam lama.

Aku tidak menyahut mengiyakan kata-katanya. Hati dan pikiranku plong mendengar suaranya yang semakin segar. Terbayang kembali rencanaku ingin berlibur sendirian. Aku ingin berwisata  menyusuri beberapa kota di Jawa Timur dan berakhir di Bromo, sebelum balik lagi ke Kalimantan dan menjalani rutinitas seperti biasanya.

"Mengapa kamu orang nggak jadi pulang?" pesan whatsapp dari kakak perempuanku mengganggu pikiranku.

"Kamu akan menyesal seumur hidup, apabila tidak pulang melihat ibu. Mumpung kamu libur, pulang dan temani ibu untuk beberapa waktu," lanjut kakakku yang meruntuhkan  hatiku yang sudah berniat tidak pulang.

Pagi beranjak turun, dan matahari begitu gairah menyinari hari ini. Seakan mengejek  langkahku yang lesu menuju terminal. Dengan ogah-ogahan aku menuju loket, kemudian akhirnya aku membeli tiket bus pertama menuju kampung. Dan sekarang aku sedang menikmati perjalanan yang terasa panjang dan lama serta menjenuhkan.

Di sebelahku duduk seorang wanita paruh baya. Pandangannya selalu tertuju keluar, melewati hamparan sawah yang menghijau dan sesekali melewati pantai. Terkadang terdengar lembut helaan nafasnya menyentuh jendela bus dan meninggalkan embun di sana.

Merasa ada yang memerhatikannya, wanita itu memalingkan wajahnya menatapku sekilas kemudian meluruskan pandangannya menyusuri jalanan di depan yang sunyi.

"Jangan pernah menyurutkan niatmu untuk pulang, Ketika ibumu meminta," lanjutnya kemudian. Ternyata wanita itu menyimak pembicaraanku dengan ibu dan kakakku tadi.

Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Kuembuskan pelan napas dan mengosongkan rongga dadaku dari  emosi yang negatif. Wajahku Kembali segar dan berbinar kala kutatap Kembali wajah wanita di sampingku. Tatapannya sendu dan hampa. Tidak ada gairah sama sekali di mata dan wajahnya yang masih kelihatan cantik.

"Aku baru pulang mengunjungi anakku yang bekerja di kota. Karena kesibukannya  di kantor dan  masih banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, dia meminta ibu datang."

Tanpa kuminta dan bertanya , wanita itu menceritakan sebab adanya dalam bus ini dan duduk bersebelahan denganku. Dia harus hidup sendirian di desa, karena kedua anaknya merantau. Dia tidak mau tinggal bersama kedua anaknya, walau mereka meminta dan memohon. "Tanah kelahiranku adalah tanah kematianku juga," desisnya pilu

Aku tercenung mendengarkan ceritanya. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk sampai di kampung, menumpahkan semua rindu dan sesalku pada bapak dan ibu.  Pikiranku terbang  melayang ke  masa-masa yang telah lewat. Saat ibu dan bapak masih kuat dan mereka rutin mengunjungi kami di kota.

Saat pikiranku makin liar dan mengembara, suara kondektur membangunkan kesadaranku untuk turun. Terminal tujuanku ada di depan mata.  Aku menggamit tas dan menuju pangkalan ojek, karena  perjalanan selanjutnya menggunakan sepeda motor menuju desa.

Aku berpamitan pada ibu di sebelahku. Kulihat senyumnya manis mengiringi langkah sigapku yang melompat dari Bus sebelum melanjutkan perjalanannhya ke terminal terakhir. Aku menundukkan kepala dan melambaikan tangan pada wanita yang masih melihat dan memperhatikanku lewat kaca jendela bus.

Lamandau, 20062023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun