Aku tidak menyahut mengiyakan kata-katanya. Hati dan pikiranku plong mendengar suaranya yang semakin segar. Terbayang kembali rencanaku ingin berlibur sendirian. Aku ingin berwisata  menyusuri beberapa kota di Jawa Timur dan berakhir di Bromo, sebelum balik lagi ke Kalimantan dan menjalani rutinitas seperti biasanya.
"Mengapa kamu orang nggak jadi pulang?" pesan whatsapp dari kakak perempuanku mengganggu pikiranku.
"Kamu akan menyesal seumur hidup, apabila tidak pulang melihat ibu. Mumpung kamu libur, pulang dan temani ibu untuk beberapa waktu," lanjut kakakku yang meruntuhkan  hatiku yang sudah berniat tidak pulang.
Pagi beranjak turun, dan matahari begitu gairah menyinari hari ini. Seakan mengejek  langkahku yang lesu menuju terminal. Dengan ogah-ogahan aku menuju loket, kemudian akhirnya aku membeli tiket bus pertama menuju kampung. Dan sekarang aku sedang menikmati perjalanan yang terasa panjang dan lama serta menjenuhkan.
Di sebelahku duduk seorang wanita paruh baya. Pandangannya selalu tertuju keluar, melewati hamparan sawah yang menghijau dan sesekali melewati pantai. Terkadang terdengar lembut helaan nafasnya menyentuh jendela bus dan meninggalkan embun di sana.
Merasa ada yang memerhatikannya, wanita itu memalingkan wajahnya menatapku sekilas kemudian meluruskan pandangannya menyusuri jalanan di depan yang sunyi.
"Jangan pernah menyurutkan niatmu untuk pulang, Ketika ibumu meminta," lanjutnya kemudian. Ternyata wanita itu menyimak pembicaraanku dengan ibu dan kakakku tadi.
Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Kuembuskan pelan napas dan mengosongkan rongga dadaku dari  emosi yang negatif. Wajahku Kembali segar dan berbinar kala kutatap Kembali wajah wanita di sampingku. Tatapannya sendu dan hampa. Tidak ada gairah sama sekali di mata dan wajahnya yang masih kelihatan cantik.
"Aku baru pulang mengunjungi anakku yang bekerja di kota. Karena kesibukannya  di kantor dan  masih banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, dia meminta ibu datang."
Tanpa kuminta dan bertanya , wanita itu menceritakan sebab adanya dalam bus ini dan duduk bersebelahan denganku. Dia harus hidup sendirian di desa, karena kedua anaknya merantau. Dia tidak mau tinggal bersama kedua anaknya, walau mereka meminta dan memohon. "Tanah kelahiranku adalah tanah kematianku juga," desisnya pilu
Aku tercenung mendengarkan ceritanya. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk sampai di kampung, menumpahkan semua rindu dan sesalku pada bapak dan ibu.  Pikiranku terbang  melayang ke  masa-masa yang telah lewat. Saat ibu dan bapak masih kuat dan mereka rutin mengunjungi kami di kota.