Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovel] #18 Aluy

2 April 2016   11:47 Diperbarui: 2 April 2016   16:22 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="DokPri: Kehangatan Adenium Pink."][/caption]Harapan Baiq, mungkin bersama adik tirinya Ranti, hubungan dingin antara ia dan ibunya melumer perlahan. Semoga tak lama.

(Epilog Aluy 17)

Hai, aku cuma ingin tanyakan ultahmu. Ultah kalian sekeluarga tepatnya. Ada sahabatku yang tanyakan dan aku merasa bodoh karena benar-benar tak tahu.

Ranti benar. Begitu banyak hal yang harusnya kami bicarakan berdua. Segera. Kalimat-kalimat chat masih saja terasa tak pernah lengkap. Menelponnya langsung? Aku khawatir mengganggu jam kerjanya atau saat-saat ia jenakkan kerja untuk bersama keluarganya. Dua pertemuan terakhir masih tak usir jauh satu batas. Rasa sungkan.

Hai kakak. Rabu lalu itu sebenarnya ulang tahunku. Tapi keluargaku memang tak biasa adakan pesta ultah khusus. Jadi, mumpung kakak tanyakan, terimakasih lagi ya sudah ramaikan ulang tahunku. Oia, hari itu aku genap 33. Eh, ganjil atau genap yak? Hahahaha..

Jeda sekian detik, tanpa berpikir lagi aku langsung hubungi Ranti.

“Astaga! Kenapa tak kasi tahu?! Aku dan anak-anak tentu bisa bawakan kue…”

Derai tawa Ranti menjadi balasan keluhku.

“Sudahlah kak. Tahun depan saja bawa kuenya. Kita ramai-ramai lagi kemanaaaa gitu.”

“Ya. Kalau pun aku lupa, awas saja kalau kamu tak ingatkan,” ancamku bersungguh-sungguh.

“Siap! Oia, siapa sahabat kak Putri yang tanyakan ultahku?”

“Oh, itu, namanya Aluy. Sahabatku sejak kuliah dulu. Setiap tahun dia juga mudik ke Mataram. Tahun depan pengen gabung ngopi bareng.”

“Wah, seru dong. Aku jadi bisa kepoin kak Putri ke dia.”

“Yeee, ngapain ngepoin aku lewat Aluy. Aku pasrah koq kamu interogasi tentang apa saja.”

“Yakin?”

“Iya lah. Memang mau ngepoin apaku Ran?”

“Mmmmhhh, yang pertama, mau ngepoin bapak almarhum. Ah, via telpon begini nggak puas. Kalau aku terbang ke Jogja buat ngopi bareng kak Putri, boleh?”

Tertegun sebentar, aku ingat ada yang harus segera kujawab.

“Heh, kalau sampai kamu ke Jogja, ngopi barengnya dirumahku lah! Kalau cuma racik kopi, koleksiku juga lengkap. Aku buatkan cappuccino paling cantik buat kamu.”

“Wah, boljug deh. Aku telpon segera jika aku diijinkan kak Arya. Wikenan dua malam di rumah kak Putri pasti juga disukai Gendis dan Gio. Thanks ya kak.”

“You’re most welcome dear. Ups, sorry, aku nelpon begini nggak ganggu jam kerjamu kan?”

“Ish, aku kan bosnya kak. Lagian aku hanya sendiri di ruang kerja. Kecuali aku ada meeting atau sidang, nomorku yang ini pasti akan kumatikan.”

“Ok deh. Kabari aku asap ya kalau jadi wikenan ke sini.”

“Siap.”

Percakapan telpon terpanjang pertamaku dengan Ranti. Akhirnya kami mulai saling berkunjung. Lombok dan Jogja hanya perlu sekali penerbangan. Tetiba aku teringat, berkenankah ibu ikut terbang bersama Ranti? Tapi, bagaimana caraku katakan pada ibu?

***

“Makan malam tadi kamu beberapa kali termenung. Ada apa? Ibu lagikah?”

Baru saja baringkan tubuh, celetukan mas Bagas memaksaku membuka lagi mataku yang kupaksa terpejam.

“REM itu terjadi sekitar sepuluh sampai lima belas menit setelah manusia tertidur. Bukan langsung di pejaman pertama seperti dua matamu sekarang…”

Mulutku mengerucut. Ya, kenapa tak ceritakan ke mas Bagas saja. Apa pun perkataan mas Bagas, tak pernah hadirkan penolakan ibu. Juga sebaliknya.

“Aku ceritakan Ranti pada Aluy. Trus, Aluy tanyakan ultahnya Ranti yang aku ternyata tak tahu. Nah, aku langsung telpon Ranti buat cari tahu. Kemudian…”

“Satu-satu. Satu-satu. Jangan merepet begitu…”

“Ish, memang begini kronologisnya. Pokoknya, endingnya itu Ranti dan dua anaknya mau bermalam ke sini. Mungkin wiken ini atau wiken depan. Masalahnya, aku ingin ibu juga ikut mereka. Tapi…”

“Nah kan. Kecurigaanku benar. Pasti tentang ibu.”

“Iya juga sih. Memang tentang ibu,” seringaiku lebar. Aku yang sudah bersila di samping mas Bagas kembali tercenung.

“Aku butuh bantuan mas Bagas. Terserah kalimatnya bagaimana, intinya, ibu ikut Ranti terbang ke sini dan bermalam bersama,” putusku tegas.

“Kamu siap dengan penolakan?” Silangkan dua tangannya meyangga kepala, mas Bagas menatapku lurus, tepat di dua manik mataku.

Bahuku luruh, “Bukannya aku memang terbiasa dengan penolakan ibu? Justru mas Bagas yang tak pernah tertolak.”

Derai tawa mas Bagas dan kerucut berulang mulutku menjadi penutup singkat. Persis di menit ke sepuluh, dua mataku bergerak tak beraturan, sampai pun tak sadari kecup hangat mas Bagas di keningku.

--Bersambung--

*Selong 2 April

Rangkaian cerita sebelumnya: ALUY - Kepergian.

#17

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun