“Ok deh. Kabari aku asap ya kalau jadi wikenan ke sini.”
“Siap.”
Percakapan telpon terpanjang pertamaku dengan Ranti. Akhirnya kami mulai saling berkunjung. Lombok dan Jogja hanya perlu sekali penerbangan. Tetiba aku teringat, berkenankah ibu ikut terbang bersama Ranti? Tapi, bagaimana caraku katakan pada ibu?
***
“Makan malam tadi kamu beberapa kali termenung. Ada apa? Ibu lagikah?”
Baru saja baringkan tubuh, celetukan mas Bagas memaksaku membuka lagi mataku yang kupaksa terpejam.
“REM itu terjadi sekitar sepuluh sampai lima belas menit setelah manusia tertidur. Bukan langsung di pejaman pertama seperti dua matamu sekarang…”
Mulutku mengerucut. Ya, kenapa tak ceritakan ke mas Bagas saja. Apa pun perkataan mas Bagas, tak pernah hadirkan penolakan ibu. Juga sebaliknya.
“Aku ceritakan Ranti pada Aluy. Trus, Aluy tanyakan ultahnya Ranti yang aku ternyata tak tahu. Nah, aku langsung telpon Ranti buat cari tahu. Kemudian…”
“Satu-satu. Satu-satu. Jangan merepet begitu…”
“Ish, memang begini kronologisnya. Pokoknya, endingnya itu Ranti dan dua anaknya mau bermalam ke sini. Mungkin wiken ini atau wiken depan. Masalahnya, aku ingin ibu juga ikut mereka. Tapi…”