Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: ruangmi.my.id | X/IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Romantika Festival Sastra Bengkulu yang Kini Layu

1 Oktober 2024   07:07 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:19 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah membuka FSB 2019. (Foto: Panitia FSB)

Tepat lima tahun lalu, September 2019, adalah kali terakhir Festival Sastra Bengkulu. Setelah itu, FSB layu. Pada 2020, kami tidak bisa mengadakan festival itu lagi karena dunia kena hantaman Pandemi Covid-19. Kebetulan pula, pada September ini, Willy Ana, salah satu inisiator FSB, menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Festival Sastra Gunung Bintan.

Rida K. Liamsi, inisiator Festival Sastra Internasional Gunung Bintan, memberi panggung istimewa untuk berbicara tentang pengalaman Willy Ana mengadakan Festival Sastra Bengkulu.  Namun, penjelasan Willy Ana di forum diskusi itu terkesan “menutupi” atau membuang peran inisiator lain. Seolah-olah FSB adalah karya utuh Willy Ana sendiri. 

Pertama, saya ingin mengklarifikasi ucapan Willy Ana di forum itu bahwa FSB terinspirasi pada Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB). Padahal Festival Sastra Bintan pertama kali diadakan pada 29 November-1 Desember 2018. Sementara Festival Sastra Bengkulu (FSB) berlangsung pada 13-15 Juli 2018. Artinya, FSB lebih dulu ada ketimbang FSIGB. Bagaimana mungkin FSB terinspirasi dari Festival Bintan dan Rida K. Liamsi?

Itu sungguh di luar nalar sehat saya dan mengada-ngada. Kalau sebaliknya mungkin saja: Festival Sastra Bintan terinspirasi dari Festival Sastra Bengkulu. Tapi saya tidak berani memastikan. Tidak mau ge-er, hehe. Yang pasti, FSB tidak mengcopy ide dari festival sastra mana pun. FSB berbeda dengan festival-festival lainnya. Pembuat konsep FSB adalah saya, baru kemudian kami diskusi dengan tim inti lainnya, Willy Ana dan Iwan Kurniawan.

Sejak awal saya sampaikan ke Willy Ana, FSB harus membuat sesuatu yang relatif berbeda dengan festival sastra yang ada. Salah satunya, saya tekankan agar seleksi karya dilakukan dengan baik, tidak mengejar jumlah (kuantitas) peserta, tapi kualitas. Saya menolak festival sastra yang sekedar jadi ajang selfie dan hore-hore. Maka saya katakan kepada Saudari Willy Ana, "Kita harus bikin festival sastra yang berbeda."

Awalnya adalah karena kami sering bertemu dalam acara sastra. Lalu kami mengurus penerbitan indie Imaji Indonesia. Suatu kali saya katakan, "Bengkulu perlu bikin festival sastra. Sebab, selama ini belum ada acara sastra besar di Bengkulu." Willy Ana waktu itu menyambut dengan bersemangat: "Memang bisa bang?" Saya yakin menjawab: "Pasti bisa."

Maka mulailah saya membuat konsep, lalu mendiskusikannya bersama Willy Ana. Kami sepakat memakai bendera Imaji Indonesia, lembaga yang saya dirikan. Setelah itu, saya memperkenalkan Willy Ana kepada Iwan Kurniawan, yang biasa kami sapa Iwank. Saya bilang ke Willy Ana: "Kita perlu mengajak orang Bengkulu lainnya, yakni Iwank." Kebetulan Iwank satu kantor dengan saya.

Maka jadilah kemudian kami bertemu Iwank. Dia pun bersemangat. Kebetulan Iwank pun penulis sastra, meskipun tidak produktif. Iwank lalu mengusulkan untuk mengajak sastrawan Hudan Hidayat. Namun belakangan karena Saudara Hudan sibuk dan sulit berbagi waktu, maka ia tidak lagi turut serta dalam tim ini.

Jadi tim inti itu akhirnya bertiga: Willy Ana, saya, dan Iwank. Iwank lebih berperan sebagai SC atau semacam tim kreatif. Sementara saya, selain sebagai tim kreatif, juga ikut menjadi "operator" bersama Willy Ana yang kami daulat sebagai ketua. Sebetulnya ketua itu hanya simbolik, karena semua kami kerjakan bersama-sama.

Bahkan porsi kerjaan saya paling banyak, mulai dari mabuk di depan laptop, mengarahkan “ketua” harus ngapain, sampai menjadi seperti “supir ojek online” ketika kami harus bertemu sejumlah orang dan lembaga demi memuluskan acara ini.

Kami memang bagi tugas. Willy Ana membuka jaringan ke Bengkulu, dan saya membuka jaringan di Jakarta, termasuk menjajaki kemungkinan kerjasama dengan sejumlah pihak, sponsor swasta dan lembaga pemerintah. Iwank ikut bergerak membuka jaringan yang dia punya.

Saya juga mengenalkan Willy kepada banyak orang, termasuk para sastrawan senior, demi membuka jaringan. Sebab, kami akan bekerjasama dan/atau mengundang mereka. Selanjutnya, kami mengajak penyair Pilo Poly untuk ikut membantu.

Jadi ada kalanya kami bertiga dengan Pilo Poly, misalnya untuk sosisalisasi pada sebuah acara warga Bengkulu di Jakarta yang dihadiri oleh Sekda Prov Bengkulu. Lain waktu, kami bertiga dengan Iwank. Sesekali kami berempat sekaligus.

Namun paling sering hanya saya dan Willy Ana yang duduk dari satu warung kopi ke warung kopi lain untuk bisa buka laptop demi menyiapkan kebutuhan acara. Mulai dari bikin surat, mendesain proposal yang menarik, bikin poster, materi publikasi, skenario acara, memilih tim kurator, hingga mendiskusikan pembentukan tim panitia lokal di Bengkulu.

Tim kurator FSB 2018 adalah Ahmadun Y Herfanda, Iwan Kurniawan, dan saya. Kala itu kami menerbitkan buku puisi “Jejak Cinta di Bumi Raflesia”. Buku itu berisi puisi penyair Indonesia dan negeri tetangga. Tema puisi tentang Fatmawati dan Sukarno. Semua kami siapkan dari Jakarta. Saya mengerjakan sendiri layout buku, mendesain sampul, dan membawanya ke percetakan di Mega Mall Ciputat.

Kami memang membentuk tim panitia lokal di Bengkulu, namun tak berjalan maksimal. Singkat cerita, setelah diwarnai berbagai ketegangan -- kadang perdebatan panas karena berbeda pendapat dan cara pandang -- FSB 2018 terselenggara pada 13-15 Juli 2018. Acara itu menghadirkan sejumlah nama penting, termasuk Sutardji Calzoum Bachri. Ada pula peserta dari Singapura, yakni Rohani Dien.

Acara berlangsung meriah. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjamu sastrawan dan membuka acara di Pendopo Gubernur. Gubernur memukul gong bersama Sutardji Calzoum Bachri, Willy Ana, dan tokoh Bengkulu lainnya. Willy Ana juga berpidato sebagai ketua panitia dengan memakai pakaian adat Bengkulu. Willy Ana jadi bintang dan sorot lampu kamera wartawan berbagai media malam itu.

Esoknya, acara dilanjutkan dengan seminar dan baca puisi. Lalu hari ketiga, acara ditutup di kebun teh Kepahiyang difasilitasi oleh Bupati Kepahiyang. Bupati --- yang merupakan teman ayah dari Iwan Kurniawan – juga menjamu para sastrawan makan siang seusai penutupan di tengah-tengah kebun teh di daerah sejuk itu.

Tapi tak ada yang tahu,  di sela-sela kemeriahan itu kami (saya, Willy Ana, dan Iwank) bisik-bisik bagaimana membayar honor pembicara. Sebab, ada di antara mereka harus pulang sore itu ke Jakarta. Akhirnya, kami sepakati patungan. Maka, honor dua pembicara itu baru kami bayarkan dalam perjalanan mengantar mereka ke bandara.

Kami tongpes alias kantong kempes blas setelah selesai acara itu. Bahkan, untuk tiket pesawat pulang dari Bengkulu ke Jakarta pun kami tidak punya uang. Kenapa begitu? Uang dari sponsor di Bengkulu tidak masuk ke kas kami. Tapi ditahan oleh oknum seniman yang menjadi panitia lokal. Kami hanya pegang sponsor Djarum Foundation. Adapun Pemprov Bengkulu banyak membantu dalam bentuk fasilitas.

Untung ada seorang teman penyair (Mezra E Pellondou) – peserta dari NTT - berbaik hati membantu. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas bantuan itu. Karena tidak cukup membeli tiket pesawat bertiga  (saya, Willy Ana, dan Pilo Poly), kami memutuskan naik bus dari Bengkulu ke Jakarta. Sementara Iwank masih tinggal di Bengkulu karena masa cutinya belum habis. Kami diantar Iwank ke sebuah pol bis di Bengkulu. Sungguh tak terbayangkan, pergi naik pesawat dan pulang naik bus. 

Namun dalam penjelasan Willy Ana di forum diskusi di Bintan, ia  tak menyebut secuil pun peran kami (Iwank, saya, dan Pilo) yang menjadi ujung tombak acara. Imaji Indonesia sebagai lembaga yang menyelenggarakan acara pun tak disinggung. Justru yang terus disebut-sebut berulang kali adalah nama lain "di luar pagar" yang sama sekali tidak ada hubungan dengan FSB. Sekali lagi, seolah-olah FSB full hasil karya Willy Ana sendiri.

Semoga Willy Ana bisa melanjutkan FSB yang telah layu ini. Tentu saja dengan tim yang lain nanti. Entah bersama penyair dari Bintan, Batam, entah bersama tim dari Solo, entahlah!  

*       *       *                                           

MESKI kami rugi total dalam penyelenggaran FSB 2018, tapi saya dan teman-teman tidak kapok membantu Willy Ana mewujudkan FSB 2019. Setelah jeda beberapa bulan, kami mulai bergerak lagi menyiapkan FSB 2019. Saya bilang ke Willy Ana, agar FSB 2019 berbeda dengan FSB 2018. Ia setuju. Beberapa hari kemudian kami diskusi dengan Iwank, ia pun oke.

Lalu kami membentuk tim kurasi. Saya mengusulkan Iwank Kurniawan, Kurnia Effendi, dan Iyut Fitra jadi kurator. Willy Ana sempat tanya ke saya, "Kenapa Bang Mus gak ikut jadi kurator?" Saya bilang, gantianlah. "Kita jangan meniru kepanitian acara lain, dia panitia, dia kurator, dia juri, semua dia."

Kali ini ruang festival kami perluas ke penulis, bukan lagi penyair saja. Maka namanya pun menjadi Festival Sastra Bengkulu (Bengkulu Writers Festival). Timnya masih sama. Ada Willy Ana, saya, dan Iwank. Pilo tidak bisa membantu banyak, karena kesibukan pekerjaannya. Ia hanya muncul sesekali dan ketika acara.  

Saya pun mengusulkan agar karya terbaik diberi penghargaan dan insentif. Fokusnya, sesuai tema, pada anak muda. Kami menyampaikan kepada kurator: seleksi ketat. Tidak perduli nama. Kalau karyanya tak layak, tidak masuk buku. "Jika dia senior dan tak lolos kurasi, nanti kita undang secara khusus."

Akhirnya memang beberapa nama senior tak lolos kurasi, tapi kami masukkan dalam undangan khusus. Puisinya masuk buku dalam kategori undangan khusus. Hal itu dijelaskan dengan gamblang dalam catatan kuratorial. Termasuk memberi tempat khusus kepada puluhan penulis muda Bengkulu.

Karya-karya itu kami terbitkan dalam buku berjudul "Perjumpaan". Usulan judul datang dari salah satu kurator yakni Kurnia Effendi. Itu diambil dari salah satu karya dalam buku itu. Judul itu pun mempunyai makna bahwa FSB mempertemukan para penulis. Semua hepi dengan hasilnya.

Pelaksanaan FSB kedua ini lebih lancar. Karena kami berhasil mendapat sokongan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), RRI (Pusat dan Bengkulu), Pemprov Bengkulu (Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah), Universitas Negeri Bengkulu, dan Djarum Fondation.

Tapi bukan berarti FSB 2019 tidak ada drama dan ketegangan. Kali ini ketegangan lebih banyak dari pihak eksternal. Beberapa hari menjelang hari H sebuah instansi vertikal tiba-tiba memutus kerjasama atas tekanan pihak tertentu di Bengkulu. Padahal setting acara sudah deal dengan instansi tersebut.

Bahkan, pihak tersebut pun mengancam akan membubarkan acara. Mereka mengumumkan hal itu secara terbuka di Facebook. Pihak tersebut juga mempengaruhi pihak Universitas Negeri Bengkulu, tapi tidak mempan.

Selain itu, sebelumnya, seorang pejabat penting di Bengkulu sudah menolak proposal FSB. Alasannya mereka banyak kegiatan. Namun berdasarkan informasi yang kami dapatkan pihak tertentu tersebut berusaha mempengaruhi pejabat Bengkulu itu.

Tapi kami tidak menyerah. Saya dan Willy Ana terbang ke Bengkulu khusus untuk memastikan dukungan Pemprov. Maka pagi-pagi buta, saya dan Willy Ana sudah tiba di rumah pribadi Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.

Yang mengejutkan, Gubernur sangat mengapresiasi kerja kami. Ia tidak tahu bahwa proposal kami ditolak oleh pejabatnya. Kami pun kembali menyerahkan proposal, sekaligus meminta kesediaan Gubernur untuk menjamu para sastrawan dan membuka acara-- sebagaimana FSB 2018. Gubernur menyambut baik.

Maka tiba waktunya pembukaan acara, gubernur pun menjamu sastrawan di pendopo dengan hidangan berlimpah. Gubernur tampak sumringah dan begitu senang dengan acara itu. Bahkan ketika berpidato, ia memuji Willy Ana yang telah berupaya menghidupkan sastra di Bengkulu dengan menghadirkan banyak sastrawan.

Tentu Gubernur tak tahu siapa orang-orang yang mandi keringat di balik suksesnya acara itu. Kami pun tak pernah mencari nama dari sana. Tidak juga bikin rilis dengan mencantumkan nama sendiri. Tidak seperti beberapa orang yang acara receh pun bikin rilis dan menulis namanya besar-besar karena memang ingin cari nama alias haus popularitas. 

Bahkan beberapa bulan kemudian, akibat kesuksesan acara itu, Willy Ana mendapat penghargaan sebagai Pemuda Inspirasi Bengkulu 2019.  Lagi-lagi Willy Ana mendapat berkah dari kerja keras kami. Namun baru saya tahu belakangan, di materi presentasi untuk acara tersebut, ia juga tak menyingung-nyinggung secuil pun peran kami.

Tapi hal itu saya diamkan saja. Mungkin dia lupa atau berusaha melupakan, entahlah. Maka ketika kedua kalinya (di forum Bintan) peran kami yang membuat dia besar tak dianggap, saya benar-benar kehilangan respek.  

*     *    *

Keterlibatan ikut menggagas dan menyiapkan festival sastra bengkulu menjadi pembelajaran penting dalam mengelola acara. Terutama soal bagaimana menghargai jerih payah orang. Saya sudah sering terlibat dalam acara besar, tapi semua saling menghargai dan mengapresiasi. Pada 2016, saya membantu penyelenggaran Hari Puisi Indonesia dengan menjadi Sekretaris Panitia. Ketua panitianya adalah Asrizal Nur.

Sebelumnya, pada 2009, saya dan panyair Fikar W Eda pernah pula membuat acara Aceh International Literary Fesrival (AILFes). Saya bersama Fikar W Eda dan Arie F. Batubara juga menjadi tim kreatif Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 2009. Tugas kami, membantu menyusun konsep acara festival budaya lima tahunan tersebut.

Saya juga salah satu inisiator sekaligus Sekretaris Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2015. Adapun ketuanya DR Ahmad Farhan Hamid, wakil ketua MPR RI priode 2009-2014. Kongres itu diadakan dalam beberapa rangkaian kegiatan, hampir setahun penuh, mulai dari Jakarta hingga di Banda Aceh.

Adapun acara utamanya di kampus Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada Desember 2015. Acara itu dibuka oleh Mendikbud kala itu, Anies Baswedan. Setelah itu diteruskan dengan sosialisasi hasilnya ke seluruh Aceh. Kami pun berkeliling Aceh pada awal 2016.

Belum lama ini, pada Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2024 di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh pada Mei lalu, saya masih mendapat kepercayaan sebagai salah satu panitia pengarah (SC) bersama DR Ahmad Farhan Hamid, Prof DR Wildan (Rektor ISBI), Prof DR Mohd Harun, Prof DR Kamal Bustamam Ahmad, sastrawan Fikar W. Eda, dan wartawan senior Yarmen Dinamika. Kami bertugas merancang konsep Konggres Peradaban Aceh 2024.

Tapi suasananya berbeda. Selain pada acara-acara tersebut semua saling menghargai, Bengkulu adalah kampung orang. Bukan Aceh,  kampung saya sendiri. Bahkan, ada seniman Bengkulu yang sampai menuding-nuding saya lewat orang lain: "Siapa sih Mustafa Ismail itu, berani-beraninya di kampung kita. Orang Aceh ngapain ngurus sastra Bengkulu." Itu terjadi ketika FSB 2018. Bahkan pada saat itu merasa terancam demi melancarkan FSB.

Masih banyak cerita lain. Saya kira semua harus dituliskan pada waktunya agar menjadi ruang renung dan pembelajaran bagi yang lain. Mudah-mudahan kapan-kapan sempat saya tuliskan lebih rinci. Itu tak lain sebagai catatan sekaligus ruang bercermin dan refleksi, terutama bagi saya sendiri. Syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain. Sejarah akan menjadi dongeng jika tidak dituliskan. Sebab, manusia mudah lupa bahkan melupakan.

Satu hal lain patut direnungkan dari kerja-kerja bersama ini: kita tidak mungkin melakukan sebuah kerja penting tanpa keterlibatan dan dukungan orang lain. Bahkan, musuh-musuh kita pun termasuk orang yang mendukung kita dengan cara lain. Adanya musuh bikin kita berjuang lebih keras untuk mengatasinya.

Maka hargailah jerih payah orang lain. Apresiasilah. Berterima-kasihlah kepada orang-orang yang telah mendukung kita, bahkan kepada musuh-musuh kita.

DEPOK, 27 September 2024

MUSTAFA ISMAIL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun