Aku mengangguk. Siapa tahu memang itu yang diharapkan ibu. Sebab, sudah delapan Lebaran kami tidak pulang. Selama ini, kami biasanya berlebaran di kota ini. Sesekali, kami ikut serta dengan keluarga abang ke kampung istrinya. Selama itu, tidak pernah sekali pun ibu mengungkapkan keinginannya untuk berlebaran di kampung.
Ketika pesan abang kusampaikan kepada ibu, wajah ibu mendadak cerah. “Abangmu bilang begitu? Apakah abangmu punya uang untuk pulang? Abangmu kan banyak kebutuhan. Dua bulan lalu, ia baru membayar biaya masuk SD anaknya. Itu kan besar sekali. Ingat, untuk tiket saja bisa habis lebih Rp 10 juta pulang pergi.”
“Kalau abang mengajak, berarti abang punya uang. Lagian, kita tidak harus naik pesawat. Naik mobil abang aja ramai-ramai juga enak.”
“Ya terserah abangmu saja.”
“Jadi ibu setuju?”
“Ya pasti setuju. Nanti, begitu tiba di kampung, yang pertama ibu lakukan adalah berziarah ke makam nenek dan kakekmu. Sudah delapan Lebaran kita tidak berziarah ke sana,” katanya dengan senyum mengembang.
Namun, tiba-tiba suara ibu menjadi serak. Wajahnya berubah murung. “Jika kita berlebaran di kampung, berarti ayahmu nanti sendiri di sini, tidak ada yang datang untuk berziarah,” katanya seperti berbisik. Mata ibu lalu basah. ***
CATATAN:
Cerpen ini pernah dimuat di Republika, 28 September 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H