Cerpen Mustafa Ismail
Ibu tiba-tiba murung dan menjadi begitu pendiam. Itu mulai terjadi beberapa hari setelah memasuki Ramadhan. Wajahnya yang mengguratkan garis-garis ketuaan terlihat makin jelas. Ia tidak bersemangat melakukan apa pun. Makan pun tidak lagi begitu lahap. Terkadang, ia menyendiri di teras. Matanya menerawang.
Gelisah juga aku menyaksikan perubahan yang terjadi pada ibu. Aku menjadi serba salah. Adakah kata-kataku, atau mungkin tingkah lakuku, yang membuat ibu tersinggung. Rasanya tidak. Aku merasa tidak pernah membantah, apalagi berdebat dengan ibu. Aku tahu, ibu paling tidak suka didebat.
Dalam soal ini, ibu memang begitu kaku. Pendapatnya selalu harus dibenarkan oleh anak-anaknya. Padahal, tidak selalu apa yang dikatakan ibu sesuai dengan kenyataan sekarang. “Ibu selalu memakai ukuran-ukuran pada masanya, bukan ukuran sekarang,” kata abangku suatu kali.
Abang memang sering tidak sepaham dengan ibu. Ia orang yang sangat rasional dan selalu melihat persoalan dengan logika. Kalau tidak masuk akal, ia akan menolaknya. Misalnya, ibu kadang suka percaya pada orang pintar. Itu ditolak mentah-mentah oleh abang.
“Kalau sakit, kita harus ke dokter. Kalau haus minum. Kalau lapar ya makan. Bukan ke orang pintar. Orang pintar aja kalau haus minum dan lapar ia makan,” kata abang, saat ibu sering sakit. Ibu menduga ada yang mengerjainya ibu secara gaib.
Mendengar kata-kata abang, ibu marah besar. Ia menjadi suka menyendiri. Murung. Terkadang, ia menangis di kamar. Aku, sebagai anak perempuan satu-satunya dan tinggal bersama ibu, menjadi serba salah. “Di mata abangmu, semua yang ibu lakukan salah,” kata ibu.
Sebetulnya, aku ingin membenarkan kata-kata abang. Namun, jika itu kulakukan akan membuat ibu makin sedih. Paling-paling aku mengatakan, “Abang kan punya pikirannya sendiri. Pendapat orang kan tidak selalu sama.”
“Coba bayangkan, sudah berkali-kali ke puskesmas, sakit ibu tidak sembuh-sembuh. Dokternya sampai bingung,” tutur ibu lagi.
“Abang mau mengajak ibu ke dokter spesialis.”
“Ah, sama saja.”
Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa mendebat ibu. Itu adalah kata penegas sekaligus penutup agar orang yang berbicara dengannya diam. Aku sangat paham akan hal itu.
Biasanya, marah ibu pada abang paling lama dua hari. Setelah itu, sudah baikan. Seingatku, hanya sekali ibu marah pada abang sampai seminggu. Waktu itu ibu mengajak abang untuk berziarah ke makam ayah. Tapi abang tidak bisa, sedang ada pekerjaan. “Kapan kamu mau menengok orang tuamu. Kapan kamu berdoa untuk orang tuamu. Diajak tidak pernah bisa,” kata ibu lantang. Wajahnya memerah.
“Ibu, berdoa itu tidak harus di makam langsung. Tuhan tetap mendengarkan doa kita di mana pun kita berada. Ziarah memang perlu, tapi tidak harus tiap saat,” kata abang.
Aku dan ibu memang tiap pekan ke makam ayah, pada Jumat pagi. Kami berangkat sehabis shalat Subuh berjalan kaki. Makamnya memang tidak jauh, tidak sampai satu kilometer dari tempat tinggal kami.
Mendengar itu, suara ibu langsung serak. Matanya pelan-pelan basah. Ibu menangis. “Kamu memang sudah besar. Tidak sayang pada orang tuamu.”
Habis berkata begitu, ibu buru-buru masuk ke kamar. Tak lama, isaknya terdengar. Aku buru-buru masuk berusaha menenangkan ibu. Sementara abang terpaku di ruang tamu, tak tahu harus berbuat apa. Seperti ada penyesalan di wajahnya.
“Dulu, abangmu yang mengajak ibu tinggal di kota ini. Kalau tidak, kita tidak bakal tinggal di sini. Sampai ayahmu juga meninggal dan dikubur di sini. Tapi, setelah di sini, abangmu jarang mempedulikan kita.” Suara ibu diiringi air mata. “Apa salahnya sesekali memenuhi ajakan kita.”
“Kalau ada waktu, pasti abang mau berziarah.”
“Kapan? Sangat jarang ia mau.”
“Abang kan memang sibuk.”
“Sesibuk apa pun jangan sampai melupakan orang tua.”
Ibu tersedu-sedu. Aku menjadi serba salah. “Kalau begini, lebih baik kita pulang ke kampung saja.”
“Di kampung kita justru berdua saja. Rumah kita pasti sudah rusak, karena lama tidak ditinggali.”
Ibu tidak menjawab. Tangisnya pelan-pelan reda. Tampaknya ibu membenarkan kata-kataku. Rumah kami memang sudah delapan tahun telantar. Itu bermula ketika ibu dan aku jalan-jalan menjenguk keluarga abang. Lalu, abang mengusulkan supaya kami tinggal bersamanya. Ibu setuju, karena ia ingin menemani isteri abang yang baru melahirkan anak pertama.
“Tapi bagaimana dengan ayahmu?” tanya ibu.
“Ayah kan baru pensiun. Kita tinggal telepon agar ayah segera menyusul kemari,” kata abang.
“Iya, itu urusanmu menyakinkan ayahmu.”
Ibu tampak senang sekali bisa dekat dengan cucunya. Apalagi, ini cucu pertama. Ayah pun begitu. Seminggu setelah ditelepon abang, ayah sudah tiba di Jakarta. Kami semua tinggal bersama di rumah abang. Rumahnya besar. Kamarnya saja lima.
Tapi, lama-lama ayah menjadi tidak betah di rumah abang. “Terlalu jauh dengan angkutan umum,” kata ayah.
Ibu pun berkata serupa. Rumah abang memang berada di kompleks yang berjarak sekitar dua kilometer dari jalan raya. Ayah meminta abang mencari rumah kontrak yang dekat dengan jalan. Sejak itulah kami tinggal terpisah dengan abang. Namun, hampir tiap hari kami ke rumah abang. Begitu pula sebaliknya.
Belakangan, kuketahui sebetulnya yang membuat ayah dan ibu mengontrak rumah bukan karena jauh dari jalan semata. Ternyata, ibu kerap berselisih paham dengan isteri abang. Berselisih paham biasa saja sebetulnya, tapi ayah dan ibu merasa tidak enak.
“Takutnya lama-lama bisa menjadi masalah,” kata ibu satu kali sambil mewanti-wanti hal itu jangan sampai diketahui oleh abang.
Hingga hari ini, abang memang tidak tahu penyebab sebenarnya ayah dan ibu mengontrak rumah. Bahkan, sampai ayah meninggal dua tahun lalu. Ayah dan ibu sangat rapat menyembunyikan hal itu.
Tapi, mengapa kini ibu murung? Hal itu menjadi tanda tanya besar. Aku berusaha mengorek, tapi ibu tidak mau cerita. Yang pasti, ibu tidak pula marah sama abang. Ketika abang datang kemarin sore, sepulang kerja, sikap ibu biasa-biasa saja pada abang. Meski begitu, wajah murungnya tidak bisa disembunyikan.
“Ibu lagi sakit?” tanya abang.
“Nggak,” sahut ibu.
“Mengapa ibu tampak lemas sekali.”
“Ya lemaslah, kan puasa.”
“Tapi ini lemasnya lain. Wajah ibu juga agak pucat.”
“Itu mungkin karena kurang tidur.”
“Sebaiknya kita ke dokter.”
“Nggak usah. Ibu tidak apa-apa.”
Abang tidak bisa memaksa. Sebelum pulang, abang sempat menitip pesan padaku, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibu.
“Aku sudah berusaha mengorek, tapi ibu tidak mau bicara,” kataku.
“Pasti ada sesuatu yang merisaukan ibu,” kata abang.
“Mungkin.”
“Atau ibu kangen kampung?”
“Ah, nggak mungkin. Ibu tidak pernah bercerita soal kampung atau keinginannya untuk pulang.”
“Tapi, bisa saja kan. Coba kamu pancing, bilangin kita mau berlebaran di kampung.”
Aku mengangguk. Siapa tahu memang itu yang diharapkan ibu. Sebab, sudah delapan Lebaran kami tidak pulang. Selama ini, kami biasanya berlebaran di kota ini. Sesekali, kami ikut serta dengan keluarga abang ke kampung istrinya. Selama itu, tidak pernah sekali pun ibu mengungkapkan keinginannya untuk berlebaran di kampung.
Ketika pesan abang kusampaikan kepada ibu, wajah ibu mendadak cerah. “Abangmu bilang begitu? Apakah abangmu punya uang untuk pulang? Abangmu kan banyak kebutuhan. Dua bulan lalu, ia baru membayar biaya masuk SD anaknya. Itu kan besar sekali. Ingat, untuk tiket saja bisa habis lebih Rp 10 juta pulang pergi.”
“Kalau abang mengajak, berarti abang punya uang. Lagian, kita tidak harus naik pesawat. Naik mobil abang aja ramai-ramai juga enak.”
“Ya terserah abangmu saja.”
“Jadi ibu setuju?”
“Ya pasti setuju. Nanti, begitu tiba di kampung, yang pertama ibu lakukan adalah berziarah ke makam nenek dan kakekmu. Sudah delapan Lebaran kita tidak berziarah ke sana,” katanya dengan senyum mengembang.
Namun, tiba-tiba suara ibu menjadi serak. Wajahnya berubah murung. “Jika kita berlebaran di kampung, berarti ayahmu nanti sendiri di sini, tidak ada yang datang untuk berziarah,” katanya seperti berbisik. Mata ibu lalu basah. ***
CATATAN:
Cerpen ini pernah dimuat di Republika, 28 September 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H