“Ibu, berdoa itu tidak harus di makam langsung. Tuhan tetap mendengarkan doa kita di mana pun kita berada. Ziarah memang perlu, tapi tidak harus tiap saat,” kata abang.
Aku dan ibu memang tiap pekan ke makam ayah, pada Jumat pagi. Kami berangkat sehabis shalat Subuh berjalan kaki. Makamnya memang tidak jauh, tidak sampai satu kilometer dari tempat tinggal kami.
Mendengar itu, suara ibu langsung serak. Matanya pelan-pelan basah. Ibu menangis. “Kamu memang sudah besar. Tidak sayang pada orang tuamu.”
Habis berkata begitu, ibu buru-buru masuk ke kamar. Tak lama, isaknya terdengar. Aku buru-buru masuk berusaha menenangkan ibu. Sementara abang terpaku di ruang tamu, tak tahu harus berbuat apa. Seperti ada penyesalan di wajahnya.
“Dulu, abangmu yang mengajak ibu tinggal di kota ini. Kalau tidak, kita tidak bakal tinggal di sini. Sampai ayahmu juga meninggal dan dikubur di sini. Tapi, setelah di sini, abangmu jarang mempedulikan kita.” Suara ibu diiringi air mata. “Apa salahnya sesekali memenuhi ajakan kita.”
“Kalau ada waktu, pasti abang mau berziarah.”
“Kapan? Sangat jarang ia mau.”
“Abang kan memang sibuk.”
“Sesibuk apa pun jangan sampai melupakan orang tua.”
Ibu tersedu-sedu. Aku menjadi serba salah. “Kalau begini, lebih baik kita pulang ke kampung saja.”
“Di kampung kita justru berdua saja. Rumah kita pasti sudah rusak, karena lama tidak ditinggali.”
Ibu tidak menjawab. Tangisnya pelan-pelan reda. Tampaknya ibu membenarkan kata-kataku. Rumah kami memang sudah delapan tahun telantar. Itu bermula ketika ibu dan aku jalan-jalan menjenguk keluarga abang. Lalu, abang mengusulkan supaya kami tinggal bersamanya. Ibu setuju, karena ia ingin menemani isteri abang yang baru melahirkan anak pertama.
“Tapi bagaimana dengan ayahmu?” tanya ibu.
“Ayah kan baru pensiun. Kita tinggal telepon agar ayah segera menyusul kemari,” kata abang.
“Iya, itu urusanmu menyakinkan ayahmu.”
Ibu tampak senang sekali bisa dekat dengan cucunya. Apalagi, ini cucu pertama. Ayah pun begitu. Seminggu setelah ditelepon abang, ayah sudah tiba di Jakarta. Kami semua tinggal bersama di rumah abang. Rumahnya besar. Kamarnya saja lima.
Tapi, lama-lama ayah menjadi tidak betah di rumah abang. “Terlalu jauh dengan angkutan umum,” kata ayah.
Ibu pun berkata serupa. Rumah abang memang berada di kompleks yang berjarak sekitar dua kilometer dari jalan raya. Ayah meminta abang mencari rumah kontrak yang dekat dengan jalan. Sejak itulah kami tinggal terpisah dengan abang. Namun, hampir tiap hari kami ke rumah abang. Begitu pula sebaliknya.
Belakangan, kuketahui sebetulnya yang membuat ayah dan ibu mengontrak rumah bukan karena jauh dari jalan semata. Ternyata, ibu kerap berselisih paham dengan isteri abang. Berselisih paham biasa saja sebetulnya, tapi ayah dan ibu merasa tidak enak.
“Takutnya lama-lama bisa menjadi masalah,” kata ibu satu kali sambil mewanti-wanti hal itu jangan sampai diketahui oleh abang.
Hingga hari ini, abang memang tidak tahu penyebab sebenarnya ayah dan ibu mengontrak rumah. Bahkan, sampai ayah meninggal dua tahun lalu. Ayah dan ibu sangat rapat menyembunyikan hal itu.
Tapi, mengapa kini ibu murung? Hal itu menjadi tanda tanya besar. Aku berusaha mengorek, tapi ibu tidak mau cerita. Yang pasti, ibu tidak pula marah sama abang. Ketika abang datang kemarin sore, sepulang kerja, sikap ibu biasa-biasa saja pada abang. Meski begitu, wajah murungnya tidak bisa disembunyikan.
“Ibu lagi sakit?” tanya abang.
“Nggak,” sahut ibu.
“Mengapa ibu tampak lemas sekali.”
“Ya lemaslah, kan puasa.”
“Tapi ini lemasnya lain. Wajah ibu juga agak pucat.”
“Itu mungkin karena kurang tidur.”
“Sebaiknya kita ke dokter.”
“Nggak usah. Ibu tidak apa-apa.”
Abang tidak bisa memaksa. Sebelum pulang, abang sempat menitip pesan padaku, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibu.
“Aku sudah berusaha mengorek, tapi ibu tidak mau bicara,” kataku.
“Pasti ada sesuatu yang merisaukan ibu,” kata abang.
“Mungkin.”
“Atau ibu kangen kampung?”
“Ah, nggak mungkin. Ibu tidak pernah bercerita soal kampung atau keinginannya untuk pulang.”
“Tapi, bisa saja kan. Coba kamu pancing, bilangin kita mau berlebaran di kampung.”