Masih ingatkah dengan serbuan emak-emak ke pusat perbelanjaan menjelang hari raya? Padahal PSBB belum ada aba-aba untuk dilonggarkan pada waktu itu karena memang faktanya angka korban Covid-19 masih terbilang cukup tinggi.
Tapi bukan itu pokok permasalahannya, melainkan kenapa pusat perbelanjaan ramai sementara keuangan sedang kritis melambai-lambai. Yang mereka beli pun bukan kebutuhan pokok melainkan kebutuhan tambahan seperti baju baru untuk dipakai di hari lebaran.
Bukankah hari lebaran kita tidak kemana-mana? Kenapa harus memakai baju baru segala? Buat pamer pada rumput tetangga yang bergoyang-goyang?
Itulah yang dilakukan oleh salah satu tetangga saya di mana mereka ramai-ramai ke pusat perbelanjaan dengan menggunakan uang BLT dari pemerintah.
Iya, uang yang seharusnya digunakan secara bijak dalam menghadapi bencana global bernama Covid-19, malah dihabiskan dalam tempo satu hari saja padahal bencana pandemi ini belum ada sinyal untuk pergi dari bumi pertiwi. Semoga emak-emak yang viral tidak seperti tetangga saya.
Artinya kita harus lebih pintar lagi mengelola stabilitas keuangan kita sebelum kanker (kantong kering) menjangkit keuangan keluarga kita (lagi). Bukankah stabilitas sistem keuangan negara juga berkaitan erat dengan stabilitas keuangan rumah tangga kita? Tidak mungkin juga pemerintah memberikan BLT setiap bulannya hanya untuk memuaskan nafsu belanja yang tak perlu diburu.
Saya kembali berpikir, kalau pola pikir masyarakat kita masih berjangka pendek, bagaimana kondisi perekonomian kita dapat gagah ke depannya?
Seharusnya uang BLT dari pemerintah bagi warga terdampak Covid-19 ini digunakan untuk berbisnis seperti membuat kue manis lalu dijual online supaya laris manis, ditabung untuk biaya kebutuhan sekolah si anak di tahun ajaran baru, atau dibelikan bahan pangan untuk stok beberapa hari ke depan (tapi bukan untuk menimbun).
Lebih herannya, mereka masih memiliki banyak utang yang belum terbayarkan. Kredit sana lalu kredit sini, hanya untuk menumpukkan bon di kantong ringkih sementara uang BLT dihabiskan untuk menimbun kredit baru lagi. Duh masalah lagi!
Cerita ini mirip ketika saya KKN (Kuliah Kerja Ngajar) dulu. Hampir setiap rumah di dalam desa memiliki perabotan rumah tangga yang terbilang cukup mahal mulai dari kulkas, TV, penanak nasi, sampai blender. Padahal si kepala rumah tangga hanya bekerja sebagai buruh serabutan harian.
Apa daya nasi sudah menjadi bubur, mereka katanya terlanjur tergiur dengan kredit yang ditawarkan mbak-mbak cakep melalui sebuah brosur. Mereka merasa malu jika di rumah tidak bisa menonton sinetron bersama keluarga, mereka juga merasa minder kalau tidak bisa membuat minuman dingin di tengah cuaca panas, dan rasa-rasa malu atau gengsi lainnya yang bersemai dalam otaknya.
Melihat kondisi semacam ini, saya jadi ingat pesan menohok dari Mark Manson melalui buku satir hebatnya akan gaya hidup masyarakat zaman now.
Buku yang meraih beberapa penghargaan internasional yang saya maksud berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, terjemahan dari "The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life."
Buku yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia ini kurang lebih menceritakan tentang cara bersikap bijak tanpa mempedulikan omongan tetangga dan cukup menjadi diri kita apa adanya tanpa perlu mengikuti gaya orang sebelah. Tujuannya sederhana yakni supaya hari-hari kita lebih cerah berbahagia.
Sikap bodo amat ala Mark Manson ini masih erat kaitannya dengan kondisi dan situasi tak menentu seperti sekarang ini atau malah justru sangat dibutuhkan di saat bencana pandemi belum pergi. Sikap bodo amat di sini bukan berarti kita cuek terhadap permasalahan yang terjadi di sekeliling kita sehingga kita melupakan jeritan kesusahan tetangga.
Sikap bodo amat Mark Manson ini pun bukan berarti mengajarkan kita untuk bersikap egois memikirkan diri sendiri, tapi justru sebaliknya, kita malah diajarkan untuk selalu berderma secara tidak langsung.
Untuk bisa lebih memahami cara berpikir bodo amat ala Mark Manson di tengah bencana pandemi ini, saya akan membuatnya menjadi tiga pertanyaan menohok dalam tiga bagian singkat.
Pertama, kalau gengsi kenapa malah dituruti?
Buntut sikap gengsi ini semakin melambung tinggi di tengah arus modernisasi teknologi informasi. Media sosial yang gunanya untuk menghubungkan tali silaturahmi berubah menjadi ajang pamer diri dan aktualisasi diri.
Akibatnya, bagi sebagian orang akan merasa risih jika tidak menuruti nafsu diri. Kita pun membeli apa yang orang lain beli, katanya lagi trendi. Padahal kita tidak begitu mampu untuk membelinya. Karena dipaksa lingkaran pergaulan, kita malah menimbun utang (lagi).
Tapi namanya rasa gengsi, itu manusiawi. Manusia memang memiliki sifat dasar ingin memiliki lebih. Saya sendiri kadang merasa khilaf akan hal ini.
Dulu, waktu kuliah sarjana, teman saya ramai-ramai membeli tas bermerek dengan harga setengah juta rupiah. Bagi mahasiswa biasa yang mengandalkan beasiswa dari perusahaan swasta seperti saya, harga tas tersebut terbilang cukup mahal.
Saya sudah punya tas murah meski ritsleting depan agak macet tapi secara keseluruhan tas tersebut masih layak saya pakai. Karena tergoda dengan bisikan teman, saya membeli tas bermerek itu.
Setelah membeli, saya cukup menyesal. Namanya juga penyesalan, selalu datang di waktu-waktu terakhir, kalau datang di waktu awal namanya pendaftaran.
Di tengah pandemi seperti saat ini, ada baiknya kita menurunkan kadar gengsi kita. Sekali-kali kita mendekatkan diri pada alam di mana sebenarnya Tuhan sudah memberikan nikmat yang melimpah ruah pada penghuninya, hanya saja para manusia malah serakah dan gengsi kalau tidak memakai baju yang sama dengan temannya.
Kedua, kalau barang diskon gak penting, kenapa dianggap genting?
Di tengah bencana pandemi seperti sekarang ini, kita memang lebih sering membutuhkan marketplace. Marketplace menjadi pilihan tepat karena kita tidak perlu berkontak langsung dengan penjual sehingga memungkinkan kita untuk menurunkan angka penyebaran virus.
Menjamurnya marketplace di Indonesia membuat godaan untuk berbelanja semakin menggurita saja. Apalagi nih, di waktu-waktu tertentu ada banyak diskon yang menggiurkan. Diskon yang ditawarkan tidak main-main, ada yang sampai 50 persen sampai 99 persen dari harga normal.
Tapi masalahnya adalah banyak barang yang tidak begitu kita butuhkan.
Loh kan diskon 99 persen, lumayan meski tidak terpakai siapa tahu suatu saat kita bisa memakainya! Begitu kira-kira sangkaan sebagian besar dari kita.
Akibatnya, barang unfaedah bertumpuk di lemari kita. Entah kapan kita bisa menggunakannya.
Saya jadi ingat ketika membeli jaket baru karena tergiur diskon padahal empat jaket saya yang lainnya juga jarang saya pakai (efek banyak ikut organisasi jadi selalu membeli jaket berlogo organisasi). Ya iyalah, Jakarta panas jadi buat apa memiliki jaket lebih?
Pasti sebagian dari kita pernah mengalami hal serupa. Saya jadi ingat pesan dari salah satu dosen yang luar biasa hebatnya. Beliau selalu mengatakan pada mahasiswanya untuk selalu mendahulukan kebutuhan.
"Jika membeli sesuatu maka belilah yang dibutuhkan bukan yang diinginkan karena keinginan manusia itu tidak ada batasnya sementara kebutuhan pasti ada batasnya," begitu kata-kata dosen saya padahal beliau ini kaya, iya kaya hatinya.
Ketiga, kalau semua manusia akhirnya akan mati, kenapa kita hanya memikirkan diri sendiri?
Dari sekian banyak motivasi dan analogi kerennya, Mark Manson mengakhiri bab dalam bukunya itu dengan kata ....and then You die.
Kalimat yang singkat tapi sangat menyentuh sampai relung hati. Kita seringkali melupakan kematian yang merupakan sebuah keniscayaan bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Hanya saja kita tidak akan pernah tahu kapan dan di mana persisnya .
Karena keterbatasan ketidaktahuan itulah, kita harus menabung amal kebaikan sebanyak mungkin untuk bekal persiapan kematian kelak. Apakah kita akan dikenang sebagai manusia biasa saja atau akan dikenal sebagai manusia yang bermanfaat bagi sesama?
Jika gajah meninggalkan gading, maka apakah kita hanya akan meninggalkan ukiran nama di batu nisan saja? Kalau kita tidak bisa meninggalkan harta yang banyak, setidaknya kita meninggalkan jejak yang baik bagi sekitar lingkungan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H