Dulu, waktu kuliah sarjana, teman saya ramai-ramai membeli tas bermerek dengan harga setengah juta rupiah. Bagi mahasiswa biasa yang mengandalkan beasiswa dari perusahaan swasta seperti saya, harga tas tersebut terbilang cukup mahal.
Saya sudah punya tas murah meski ritsleting depan agak macet tapi secara keseluruhan tas tersebut masih layak saya pakai. Karena tergoda dengan bisikan teman, saya membeli tas bermerek itu.
Setelah membeli, saya cukup menyesal. Namanya juga penyesalan, selalu datang di waktu-waktu terakhir, kalau datang di waktu awal namanya pendaftaran.
Di tengah pandemi seperti saat ini, ada baiknya kita menurunkan kadar gengsi kita. Sekali-kali kita mendekatkan diri pada alam di mana sebenarnya Tuhan sudah memberikan nikmat yang melimpah ruah pada penghuninya, hanya saja para manusia malah serakah dan gengsi kalau tidak memakai baju yang sama dengan temannya.
Kedua, kalau barang diskon gak penting, kenapa dianggap genting?
Di tengah bencana pandemi seperti sekarang ini, kita memang lebih sering membutuhkan marketplace. Marketplace menjadi pilihan tepat karena kita tidak perlu berkontak langsung dengan penjual sehingga memungkinkan kita untuk menurunkan angka penyebaran virus.
Menjamurnya marketplace di Indonesia membuat godaan untuk berbelanja semakin menggurita saja. Apalagi nih, di waktu-waktu tertentu ada banyak diskon yang menggiurkan. Diskon yang ditawarkan tidak main-main, ada yang sampai 50 persen sampai 99 persen dari harga normal.
Tapi masalahnya adalah banyak barang yang tidak begitu kita butuhkan.
Loh kan diskon 99 persen, lumayan meski tidak terpakai siapa tahu suatu saat kita bisa memakainya! Begitu kira-kira sangkaan sebagian besar dari kita.
Akibatnya, barang unfaedah bertumpuk di lemari kita. Entah kapan kita bisa menggunakannya.