Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih untuk Rumah Nyaman- Mu (4)

20 Agustus 2022   22:13 Diperbarui: 20 Agustus 2022   22:23 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Titik peta berhenti tepat di depan sebuah rumah tunggal. Deru motor berhenti, suara tiwi tiba-tiba keluar memanggil pelan. 

"Heyy, bawa masuk motor kalian!" ."Iya". Kataku singkat. 

Seharian ini kita sudah hampir teler. Putar-putar kesana kemari mencari tempat tidur. Nasib baik ada teman-teman yang bersedia menampung kami. Seperti korban bencana saja. 

Kami disambut hangat seperti keluarga Tiwi sendiri. Tidak usah tanya kopinya jenis apa, tapi dipastikan sudah ada di meja kaca. Rasanya lega bisa duduk menghembuskan napas disini. Memikirkan pekerjaan keseharian justru buat pikiran malah jadi terbebani.

Interaksi malam ini topik pembahasannya seputaran aktivitas melakukan survey di kelurahan Pomaala. Rentetan pertanyaan berubah menjadi cerita hangat, termasuk mamanya tiwi yang begitu antusias dalam berbincang-bincang. 

Kakak himpunan ku di sela-sela jedanya, tak lupa mereview kembali data yang dihimpun seharian ini. Kecocokan KK dan inputnya bikin pelik, sudah cukup untuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Bang, itu kan ada 10 kuisioner, baru sebagian belum terisi, berarti kita ke sana lagi dong, besoknya." Tanyaku. 

"Kita ke tempat survei mu saja dulu besok di Watubangga." Ucap jimin dengan tatapan tetap ke berkas-berkasnya.

"Baiklah". Batinku setengah lega. 

Malam semakin larut. Seperti sebelumnya, setelah makan malam usai, Tiwi sebenarnya menyuruh kami untuk tidur segera, ia paham bahwa aktivitas kami tidaklah mudah dan pastinya lelah. Rasa kantuk ini semakin berat, terpaksa saya tidur duluan, sementara jimin masih saja berkutat dengan pekerjaannya. Ah, serumit ini kah?

Tidur adalah istirahat terbaik. Tetapi pikiran selalu berjalan mengisi tiap kenangan yang ada dalam kepala. Pengalaman, rasa suka sama seseorang, termasuk pikiran hanyut tertuju pada orang-orang yang menyambut kita dengan ramah. Sampai datanglah bunga tidur itu, usai dipetik dengan nikmat, dicicipi dengan sedap. 

Mimpi basah. Ah, sialan ! "Kenapa harus di rumah tiwi sih, mimpi beginian" sesalku menggerutu. 

Kalau sudah junub berarti harus mandi junub. Tapi masalahnya saya tidak bawa pakaian lagi, terpaksa harus rela najis seharian . Sedari awal perkiraan kami di kolaka ini cuman satu hari, akhirnya bawa pakean baju dan celana selembar saja, tapi ternyata sudah berhari-hari kami di Kolaka. 

Pagi yang sakral kali ini. Watubangga menjadi lokasi survei sebentar. Setelah mendapatkan beberapa wejangan dari ibunya Tiwi, kami seperti anak sendiri diberlakukannya. Sementara si Tiwi ini, masih tetap saja memperlihatkan ekspresi ramah. Tutur kata keturunan Bugis yang lembut. 

"Orang-orang seperti ini yang harus kita perhatikan di Kampus". Kata jimin saat lagi berdua di ruangan tamu. 

"Iya bang betul, kalau nda ada mereka, bisa kalang kabut kita disini".

Pada akhirnya kami harus pamit dan pergi. Tidak ada yang bisa kami berikan selain harapan dan do'a untuk keluarga ini agar sehat selalu dan diberikan kelapangan rizki. 

Pukul 09.00 kami berangkat menuju kecamatan yang cukup jauh. Ke Watubangga berjarak satu jam untuk tiba. Harap kali ini tidak akan lama jika bekerja dengan cepat. 

Daerah ini kampungnya Miftah, tapi ia lagi di Kendari. Seandainya ia ada disana pasti kami bisa singgah juga. Selain agenda kerja plus juga silaturahim. 

Saya hanya terima rekaman video halaman rumahnya dari Miftah, juga di suruh singgah. Tapi mana mungkin kami berani. 

Laju motor matic membawa kami ke Watubangga, berkendara dua orang saja melewati perkampungan, jalan berhutan sampai akhirnya tiba di wilayah pesisir, Kelurahan Watubangga. 

Siang terik matahari menyengat, udara khas pantai begitu terasa energinya. Tak banyak kendaraan lalu lalang di siang begini. Kemungkinan beristirahat atau sedang melaut, bukankah mata pencaharian masyarakat pesisir adalah sebagai nelayan ?

Berikutnya adalah legalitas memperoleh izin dari pihak kelurahan. Pak lurahnya lagi tidak masuk kantor karena masih sabtu, bukan jam kerja. Untungnya ada sekretaris lagi pantengin beberapa orang yang kerja gedung. 

Alhamdulillah tidak bertele-tele disini proses administrasinya. 

Kampung khas pesisir tetap terasa. Meski sepi, tetapi orang-orang yang kami jumpai sejauh ini masih ramah. Sungguh berat sebenarnya membangunkan orang yang lagi tidur, tetapi kami juga kejar deadline, mau tidak mau harus realistis. 

Pantai kembar. Menjadi alternatif pada siang ini untuk mengambil jeda. Laut lepas sejauh mata memandang. Angin melambai-lambai dengan sejuk. Menjelang sore gini tak ada satu pun orang yang datang di pantai. Sungguh tak ada satu pun orang lain. 

Setelah data terhimpun dan wawancara selesai, adapun penyempurnaan di lain waktu saja. Kami balik, tak lupa mengambil momen-momen penting minimal dua tiga jepretan. 

"Halo guys, kali ini kami lagi di kolaka, setelah seharian penuh akhirnya kami pulang,, pemandangan juga indah sekali,,,,

Hamparan sawah,,,,laut,,,,kelelawar sore,,,Haloo orang Kolaka,,,,

Entah maksud Vlog kami ini apa, tapi keseruannya ada. Teriak-teriak melawan laju angin, bicara pun ngelantur. Yang penting videonya rekamannya ada. Persetan kalau ada yang bilang pekerjaan kami ini mudah dan perjalanan yang singkat. 

Debu-debu berterbangan, wajah nampak kuning, mata memerah. Kami menyadari setelah tiba kembali di Rumah Tiwi. Sore perlahan menuruni petala langit, maksud hati tak lagi singgah, tetapi apa mau dikata, pada akhirnya transitlah jua . 

Sementara ada kabar dari jimin, kalau Fikar dan Bintang akan datang ke Kolaka juga membersamai, wah semakin seru nih, liburan kali ini. 

"Mereka sementara dalam perjalanan" katanya."Mereka mau singgah dulu di Mowewe ketemu kakeknya dan makan durian."

"Wah,, enak juga mereka ehh" kataku menyahut. 

Banyak hal tak mungkin dituliskan secara nyata, selain daya ingat, juga daya rasa yang tak punya kapasitas besar. Sungguh bangga bisa mendapatkan orang-orang yang menyambut kami dengan baik. 

Sebelumya di Kolaka, kami juga ketemu sama kak Rahma Wati, guru pengajar yang membantu proses kerja kami di Pomalaa. Darinya kami dipermudah, bincang-bincang dengannya juga seru. Menarik dan lucu. Untung sudah bagi kontak dan saling ngirim pesan via WhatsApp. 

Terimakasih untuk yang rela, untuk yang bersedia, untuk yang memberikan arah, semua tidak sia-sia, jika kami tak sanggup memberikan apa-apa selain kata terima kasih, maka Tuhan adalah pemberi segalanya. 

Kami putuskan untuk kembali ke rumah elis. Bersamaan dengan datangnya Fikar dan Rizki. Mereka dalam perjalanan setelah jumpa temu keluarga. 

Menjelang malam kami pergi, nyatanya kalimat pergi untuk kembali ada benarnya juga. Ia juga sempat bilang kalau mau pulang Kendari, bermalam ke rumahnya dulu. Alhamdulillah, tidak perlu neko-neko untuk mendeskripsikannya. 

Fikar, mahasiswa yang tegas, juga dapat tugas ngesurvei di bombana. Tak jelas sudah apa belum perkaranya. Sementara Rizki, mahasiswa bertubuh padat yang lagi kesepian. Datangnya ke kolaka dua orang itu adalah bahagia bagi kami. Karena sama-sama punya sisi humor. Haha..

Kami duluan tiba. Disusul mereka dua jam setelahnya. Jangan lupakan mata sarenggang merah merona melumuri mata. Bukan sepasang kekasih yang melawan, tapi sepasang mata yang kesakitan. 

"Elis, malam ini kita cerita jangan tatap-tatapan ya, matanya kami sakit merah, bisa kena transfer nih,"..

"Hahaha,,, kenapa bisa?" 

"Debu di perjalanan ehh, pokonya jangan tatap mata". Kataku. Entah percaya atau tidak, elis hanya senyum-senyum kikuk tapi nggak berani natapin. Tetap ada interaksi, tapi sakit mata ini betul-betul mengganggu. Satu pertanyaan besar kami, betulkah sakit mata merah ini menular lewat tatapan? 

Fikar dan Rizki tiba. Perjalanan mereka tidak mudah. Udah tiba, eh putar balik lagi, untung nda pulang lagi setelah saya susul ke bawah. Deru motor Fikar masih sangat saya hafal bunyinya. Makanya ketika sayup-sayup motor itu terdengar berhenti, saya tandai kamu kawan. 

Tiga jam habis untuk bercerita perihal perjalanan. Curahan hati menjadi unek-unek lepas. Dari Elis, Jimin, Fikar, Rizki, makan malam pun tersaji. Perihal kedekatan emosional itu urusan hati kita masing-masing,,..

Terimakasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun