Mohon tunggu...
Murodi Shamad
Murodi Shamad Mohon Tunggu... -

Seorang lulusan SMK yang memiliki hobi menulis, membaca dan melamun serta kerap ditemukan tengah berbincang dengan tembok dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Petrichor dan Sebuah Cerita Tentang Ayah

17 Desember 2015   08:51 Diperbarui: 1 April 2017   08:51 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setengah jam kemudian. Tepat beberapa menit selepas adzan Isya berkumandang. Kami diperbolehkan masuk. Hanya aku dan ibu di ruang ini. Tampak ayahku tergolek lemah dengan perban dikepala, tangan dan dadanya. Kakinya tampak disangga. Ayahku yang tampan dan selalu tersenyum meski tak jua menyembunyikan garis keras diwajahnya. Hasil dari tempaan beban hidupnya sedari muda. Kini ia terpejam dengan bantuan alat pernapasan yang menempel di mulut dan hidungnya.

Sepi, hanya bunyi alat yang entah namanya berdetak serupa jam dinding. Ibuku tetap bercucuran airmata sambil menggegam tangan suaminya. Berkali ia panggil nama laki-laki yang dicintainya sepenuh raga dan jiwanya. Kuraih tangan dingin ayahku. Mengepal dan mendekatkannya ke pipiku. Mencoba merasakan kembali hangat tangannya yang kerap membuatku rindu meski hanya ditinggal bekerja beberapa waktu.

Aku terus berdoa seperi yang diajarkan ayah sewaktu kami menjenguk Wa Asim tetangga kami yang sakit beberapa waktu lalu. Aku terus memanggilnya. Memastikan ia hanya terlelap tidur karena kecapaian setelah seharian bekerja.

Seperti menaiki sebuah roller cooster. Pada satu titik paling membahagiakan hidupku. Masa kanak-kanakku yang sempurna terhempas begitu saja menuju titik paling terjal dalam nafasku. Semua tak kuingat jelas. Tetiba sebuah mesin berbunyi nyaring dan ditingkahi raungan ibuku yang memanggil dokter. Seketika ruangan terasa penuh sesak. Seorang perempuan muda berbaju putih memelukku dan menarikku keluar ruangan. Aku mengejang. Aku berontak. Aku masih ingin bertemu ayahku, aku masih ingin menjaganya dalam tidur lelapnya. Aku mulai menangis, meski aku tidak tahu apa yang aku tangisi.

Perempuan itu menyerahkanku pada Bi Esih. Aku yang masih kalap dan berontak dibawa bi Esih ke Mushola yang berada tak jauh dari tempat ayah tertidur. Dari sini nampak kulihat beberapa orang berbaju putih masuk, tak berselang lama. Seseorang yang kupikir perwakilan dokter mengumumkan sesuatu. Air mukanya tampak lesu. Ia berbicara sebentar dengan Pa Adnan. Semua merunduk ketika mendengar penjelsan dokter berbaju putih. Suara tangisan terdengar pecah darisana. Aku memeluk Bi Esih erat. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi.

Ayah, ibu masih suka nangis diam-diam, tuh. Kalau shalat pasti ibu sesunggukan. Mungkin ibu ingat ayah. Seperti aku juga :(

Suara Yassin mengalun memenuhi ruang tamu. Ditengah sana. Tepat dibawah lampu tempat kami biasa menghabiskan waktu menonton tv, terbujur jenasah Ayahku. Dibawah selimut dan kain itu ayahku tertidur lelap. Matanya mengatup. Ia telah terbungkus kafan yang akan menamaninya sampai ke liang lahat.

Aku hanya anak kecil. Aku tahu tapi aku tak mau percaya bahwa ayahku sudah tidak ada. Aku masih percaya bahwa ayahku hanya tertidur karena kecapaian setelah berkerja. Sebentar lagi. Mungkin 1 atau 2 jam lagi ia akan bangun dan menggendongku. Membawaku ke beranda dan mulai menceritakan kepadaku kisah heroik Ali Bin Abi Thalib.

Ibuku tampak lemah disamping jenasah ayahku. Matanya sembab. Sudah tak ada air mata disana. Mungkin sudah dihabiskannya semalaman. Pagi ini, ayahku akan dikuburkan di TPU yang berada tak jauh dari tempat kami tinggal. Disamping Ayahnya ayahku atau makam kakekku,

Wa Asan menuntunku membaca surat Yassin. Katanya agar ayahku senang dan tidurnya nyaman. Seperti dongeng yang dibacakan ibuku sebelum aku terlelap dimalam hari. Wa Asan bilang kalau ayahku akan tidur lama sekali. Dan sedang bermain di Surga saat ini.

“Ayah, disana indah kan ? Ayah disana ga kehujanan kan ? Ayah, aku kangeen deh.
Ayah, disana ayah kerja ga ? Disana siapa yg pijitin ayah ? Ayah sehat kan disana ?
 Ayah, hujan turun semakin deras. Disana ayah ga kehujanan kan ?
 Ayah, aku kangeen sama ayah, eh udah 2 kali yah aku bilang ? Hehe,
ayah nanti-nanti aku cerita lagi deh. Ibu udah manggil tuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun