Mohon tunggu...
Murodi Shamad
Murodi Shamad Mohon Tunggu... -

Seorang lulusan SMK yang memiliki hobi menulis, membaca dan melamun serta kerap ditemukan tengah berbincang dengan tembok dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Petrichor dan Sebuah Cerita Tentang Ayah

17 Desember 2015   08:51 Diperbarui: 1 April 2017   08:51 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah 15 menit lewat dari jadwal ayah biasa pulang. Lelah berdiri aku putuskan untuk duduk dibangku yang biasa kupakai bercengkarama dengan ayah. Beberapa kali ku tanyai ibu dimana ayah. Ibu bilang mungkin ayah lembur. Aku tak lantas percaya karena ini hari Sabtu. Tidak mungkin ayah lembur. Bukankah ayah berjanji ayah menceritakan soal Syahidnya Imam Ali Bin Abi Thalib seperti janjinya tadi pagi.

Wajah cemas ibu tak dapat disembunyikan, meski masih kecil kala itu. Aku dapat membaca wajah khawatirnya. Ibu kini duduk bersamaku diberanda. Adikku tengah terlelap di kamarnya. Hujan masih belum jua menghentikan invasinya. Namun kini hanya bersisa rinai yang kecil dan damai.

10 menit sebelum Adzan Magrib berkumdang. Di ujung jalan terlihat seseorang berlari tergopoh-gopoh. Ia tampak kewalahan dengan dirinya sendiri. Kupikir itu ayah. Aku dan ibu berdiri siap menyambutnya. Namun kecewa yang malah kuterima.

Ia bukan ayah. Ia Wa Asan, Muadzin mushola yang berada tak jauh dari rumah. Wajahnya basah dengan baju yang kuyup. Sehari-hari ia tukang ojek di pangkalan di ujung jalan. Wajahnya tampak pucat. Ia megap-megap meraih udara. Kulihat wajah ibu panik. Aku memperhatikan Wa Asan. Dan Wa Asan pun memandangku iba.

“Sarman kecelakaan, ndah,” ucapnya terbata. “Tadi dia ketabrak mobil waktu nyerbrang jalan. Sekarang dia lagi dibawa ke Rumah Sakit Daerah, kondisinya kritis” lanjutnya.

Ibuku tampak histeris, ia berkali mengucap nama Tuhan. Lututnya mungkin lemas sebab ia terjatuh tepat disampingku. Ia memelukku. Aku tak tahu apa yang terjadi saat itu. Segala macam pikiran seketika muncul pada otakku yang masih berumur 7 tahun. Aku sungguh tak benar-benar paham apa yang tengah terjadi.

Tak berselang lama aku sudah sampai di Rumah Sakit. Dengan menumpang mobil pa RT. Aku, ibu, Wa Asan, dan Bi Esih adik ayahku datang ke rumah sakit. Adikku dititipkan di Rumah Wa Tarsam tentanggaku. Kami tergopoh-gopoh menuju UGD. Aku digandeng ibu berlari kecil kesebuah ruangan di ujung Rumah sakit. Wajah ibu sudah pucat dengan dengan air mata yang luluh di wajahnya.

Kami sudah sampai disebuah ruangan yang berada di ujung barat rumah sakit. Disana sudah kulihat beberapa teman ayah. Aku tahu karena beberapa dari mereka juga pernah ke rumah sewaktu ada syukuran khitanku beberapa bulan lalu. Mereka menunduk dalam. Salah satu dari mereka mendekati kami. Dan mengajak kami duduk di pojok ruangan dekat pintu.

Ia memperkenalkan diri sebagai Bapak Adnan, supervisor di bengkel tempat dimana ayahku berkerja. Orangnya tinggi, hitam namun wajahnya tampak ramah. Ia mejelaskan kronologi kecelakaan yang dialami ayahku.

Dia bilang ayahku kecelakaan tak jauh dari bengkel tempatnya berkerja. Ketika sedang menyebrang, hujan yang mengguyur membuat penglihatan terganggu. Ia tak tahu ketika ia tengah melintas tepat dari arah jalan sebuah mobil datang dan menghantam tubuhnya sampai terplanting beberapa menter ke trotoar. Darah mengucur bercampur dengan air hujan yang menggenang. Beberapa orang yang berada tak jauh dari sana lantas membawanya ke rumah sakit ini.

Tangan ibuku yang menggenggam tanganku tampak gemetaran. Diwajahnya terulukis kekalutan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Meski kami hidup amat sederhana. Tapi ibu selalu tampak cantik dan ceria. Baru kali ini kulihat wajah ibu menatap kosong. Bibirnya yang memutih dan matanya yang sembab karena terlalu banyak menangis sepanjang perjalanan kesini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun