Salah satu wujudnya saya temukan beberapa hari lalu ketika berada di Hawaii. Di situ ada sebuah lembaga namanya The Center of Excellence in Disaster Management and Humanitarian, lembaga penanggulangan bencana alam yang menjamin keamanan di Hawaii. Lembaga sepenting ini dikelola dengan gaya NGO.
Di situ ada jenderal, pejabat pemerintah, polisi, ahli sosial, tokoh agama, dan lain-lain, yang memimpin secara bergantian. Salah satu agenda kunjungan kami yang terpenting adalah berdialog dengan media massa. Di mana-mana, media massa memegang peranan yang sangat penting bukan saja dalam menyampaikan peristiwa namun juga membangun opini dan mempengaruhi publik.Â
Begitu juga media massa di AS. Saya beruntung karena bisa langsung bertemu dengan para petinggi di kantor Washingthon Pos, di Washingtn DC. Kantor surat kabar yang paling berpengaruh di AS ini tampak sangat tua. Namun justru dengan begitu kelihatan sangat berwibawa. Tidak ada yang menyangkal peranan Washington Post dalam mengawal demokrasi AS.
Dalam dialog yang berlangsung cukup rileks itu kami mendengarkan kebijakan-kebijakan yang ditempuh Washington Post dalam pemberitaannya mengenai negara lain. Intinya, mereka ingin ikut mendorong proses keterbukaan dan demokrasi terutama di negaranegara berkembang. Pada sesi diskusi saya mencoba menyampaikan masukan dan kritik, terutama kebijakan pemberitaan mengenai Islam di Indonesia, dan lebih khusus lagi soal terorisme.
Saya memberi perspektif mengenai mainstream Islam moderat yang sering luput dari pemberitaan yang cenderung mengejar sensasi dari berita-berita buruk. Paradigma "bad news is good news", saya bilang, tidak tepat untuk kasus menyangkut agama. Terlebih lagi jika ingin membangun kerjasama perdamaian, maka paradigma semacam itu harus ditinggalkan.Â
Di hari berikutnya kami bertemu dengan Prof William Liddle di sebuah tempat bermana Starbuck Coffe---saat itu saya yakin belum ada satupun gerainya ada di Indonesia-- tempat yang saat ini mulai menjamur di Indonesia.Â
Liddle adalah pengajar di Ohio State University, yang namanya sudah lama berkibar sebagai pengamat senior tentang Indonesia, bahkan pernah lama melakukan penelitian dan menulis sejumlah buku tentang politik Indonesia. Liddle bahkan pernah tinggal dan mengajar di Universitas Syah Kuala, di Aceh. Saya tanya apa yang kini dipikirkan oleh Liddle---sebagai seorang Indonesianis--- tentang Indonesia?
Dia bilang bahwa sekarang sedang mencari orang-orang yang memiliki kapasitas dan dapat diandalkan untuk kepentingan kerjasama Indonesia-Amerika. Saya katakan kepada Liddle bahwa strategi semacam itu kurang efektif. Sebagai akademisi, Liddle memang bisa terobsesi melihat hubungan Indonesia dan Amerika semata-mata dari sudut pandang hubungan akademik. Namun, saya bilang, jauh lebih penting adalah hubungan komunikasi langsung dengan para pemuka Indonesia yang berkompeten di bidangnya masing-masing.
Apa yang terjadi dengan NU dan Muhammadiyah, tidak bisa dilihat dari jauh. Anda harus bertemu dengan para ulama dan kiai. Begitu juga demgan konflik-konflik di Aceh, Ambon, Poso. Para intelektual kampus tidak bisa memberi penjelasan yang memadai mengenai itu. Dan kalau Anda melihat dari jauh, ujar saya, Anda akan kehilangan konteks. Harus menjalin komunikasi dengan para pemimpin lokal yang memiliki basis. Liddle ternyata setuju dengan pandangan saya. Kesempatan yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya adalah ketika ada sesi wawancara media.
Saya mewakili seluruh peserta dalam suatu dialog secara live interactive melalui televisi nasional Amerika yang ditayangkan secara langsung di kantor Voice of America (VOA). Ini suatu kehormatan karena saya bisa diwawancarai oleh jaringan televisi terkemuka yang disiarkan langsung dan diterjemahkan ke dalam 60 bahasa secara otomatis ke berbagai negara melalui televisi nasional di negara masing-masing.Â
Di Indonesia, siaran wawancara VOA dengan saya ditayangkan langsung melalui jaringan televisi nasional INDOSIAR. Kontan saja, beberapa keluarga dan sahabat pun sempat menyaksikan tayangan langsung wawancara saya dari studio VOA di Washington DC.