Mohon tunggu...
MUNAWAR FUAD NOEH
MUNAWAR FUAD NOEH Mohon Tunggu... Dosen - Profesional, Social Entreprenuer

Bocah asli Putera daerah Pasundan Jawa Barat, terlahir asal Cibarusah Bekasi, pegiat perubahan, seorang social entrepreneur leader dengan visi besar, misi mulia dan cita luhur utk pemuliaan antar sesama, Pendiri/Pembina GSA Foundation, Pimpinan Yayasan Pesantren Ashshulaha Cibarusah, penulis buku "Indonesia: Awakening The Giant", "Kyai di Republik Maling", serta 27 buku terpublikasi lainnya, DOSEN di President University, Konsultan Corporate Social Responsibility & Good Corporate Governance, Direktur Program Dewan Masjid Indonesia Pusat, pernah bertugas diplomasi publik di mancanegara, pernah menjadi Tim Ahli Menteri Pertambangan dan Energi, Staf Khusus Menteri Kominfo RI, Asisten Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Sekretaris PP DMI Pusat, Pengurus PB Nahdlatul Ulama, MUI Pusat, ICMI Pusat, terpilih sebagai Sekretaris Jenderal DPP KNPI, Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Vice President Pemuda se Asia, Koord. Persaudaraan Anak Bangsa (Pimpinan Pemuda Lintas Agama0, Ketua Umum Senat Mahasiswa FS IAIN Jakarta, Ketua Presidium Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jkt, buku terbarunya "Kyai di Panggung Pemilu : Dari Kyai Khos sampai Kyai High Cost", DR. Munawar Fuad Noeh, MA, lengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

911 Tragedy, Unforgettable

11 September 2020   15:28 Diperbarui: 12 Mei 2022   12:26 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembilan belas tahun sudah peristiwa itu terjadi. Media menyebut dengan Tragedi 911. Tanggal 11 bulan 9 Tahun 2001. Saat itu saya berusia 31 tahun. Sangat mengerikan. 

Tragedi menggemparkan di Gedung Menara kembar Word Trade Centre di pusat kota New York Amerika Serikat benar-benar nyata meskipun lewat layer kaca. Saat itu semua berita televisi dan media massa, karena belum ada media sosial atau youtube, gencar tak henti-hentinya mewartakan kisah tersebut. 

Peristiwa memilukan, mengenaskan, sedih dan bersimbah duka, membayangkan korban berjatuhan di dalam dan sekitarnya. Dari lubuk hati yang paling dalam terpanjatkan doa, doa-doa tulus bagi para korban, keluarga yang ditinggalkan, baik yang  teridentifikasi maupun yang hancur jasadnya, terpotong-potong bagian tubuhnya, juga yang tak ditemukan sama sekali.

Pandangan dan empati dunia terfokus ke satu titik dan peristiwa itu. Seiring dengan itu beredar  dengan cepat, pernyataan para pejabat penting dan pengamat, mengungkap tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas tragedi global tersebut. Bergulir banyak informasi dan spekulasi. Apapun, peristiwa tersebut menjadi tragedi kelam dalam sejarah manusia dan kemanusiaan yang tak termaafkan atas nama tata nilai dan kepentingan apapun. Kelak misteri dan rahasia akan segera terungkap, cepat atau lambat.

Dokpri
Dokpri
Peristiwa itulah yang juga bak angin kencang yang membawa saya untuk pertama kali mendapat kesempatan menjalani misi diplomasi publik sekaligus menyaksikan suasana kebatinan warga Amerika, bertemu dengan beberapa keluarga korban, dan mencoba menggali fakta, data dan kebenaran di balik peristiwa itu. 

Tepat 11 September 2020, genap satu tahun usai peristiwa tersebut, saya berada di dekat lokasi, berdiri di titik kordinat dan masih menyaksikan garis pembatas sekitar puing dan reruntuhan di area gedung menara kembar WTC, New York, Amerika Serikat. Rasanya seperti mimpi.

Jauh sebelum berkesempatan melancong ke Amerika Serikat (AS), saya telah "menciptakan" bangunan Gedung Putih dalam pikiran saya, sehingga ia menjadi semacam obsesi. Saya teringat sebuah adagium: Setiap peristiwa pada awalnya dicipta dalam pikiran (The first creation is in our mind). 

Bagi saya, AS adalah negara besar yang harus saya kunjungi, entah kapan dan dengan cara bagaimana, saya belum tahu. Yang pasti saya selalu berikhtiar mencari jalan agar obsesi saya itu terwujud. Dan tentu saja saya juga tidak lupa berdoa.

Ternyata, di suatu masa, Tuhan mendengar doa saya. Pada bulan September 2002 kaki saya benar-benar dibimbing-Nya untuk mengunjungi negeri Paman Sam itu. Jalan menuju ke sana pada mulanya tidak mudah, karena saya harus mengikuti seleksi yang sangat ketat untuk bersaing dengan para kandidat dari kawasan Asia Pasifik. 

Ada 14 jatah kursi yang diperebutkan oleh para pemuda dari seluruh kawasan tersebut. Dan saya, bersama 2 orang peserta lainnya dari Indonesia, terpilih untuk mengikuti misi perdamaian, atau lebih jauh, misi pertukaran intelek - Membela Negeri di Sarang Adikuasa Amerika Serikat. Sebuah misi diplomasi publik, dimana peran warga menjadi bagian dari multitrack diplomacy, selain pemerintah,  

Sebelumnya pun, hingga sekarang, sejak terjadi Tragedi WTC sampai adanya invasi tentara Amerika ke Irak dan adanya sejumlah isu perlakuan Amerika terhadap negara-negara Timur Tengah maupun negara berkembang, saya tetap kritis menyikapi berbagai langkah Amerika. Setelah terjadinya ledakan WTC dan mulai berlangsung invasi Amerika ke Irak, saya tak berhenti mengkritik atas kebijakan Presiden Bush terhadap negaranegara Islam dan upaya pemberantasan terorisme yang membabibuta dengan tuduhan tanpa dasar. Pernyataan saya yang paling keras dimuat di berbagai media dalam dan luar negeri.

Sebagai warga bangsa, kader muda Nahdlatul Ulama, saya serukan aksi gerakan nasional untuk memboikot seluruh produk dan jaringan bisnis Amerika, menutup perwakilan dan kedutaan, dan menurunkan bendera Amerika di manapun berada. Ternyata sikap kritis dan keras saya terhadap Amerika tak membuat mereka alergi dan sinis yang menjadikan ganjalan saya untuk hadir di negerinya sendiri.

Dalam hati saya berbisik: 'jangan-jangan, kesempatan tersebut untuk menjinakkan kritisisme saya terhadap Amerika'. Ah, saya tak begitu peduli, karena saya fikir, akan lebih obyektif saya berhadapan langsung dengan para pihak di Amerika yang itu jauh lebih bermanfaat agar terjadi saling pengertian dan saling pemahaman dari kedua belah pihak. Dalam misi yang berlangsung atas undangan East West Center, saya mewakili pemimpin muda muslim Indonesia.

Kebetulan saat itu saya diundang dalam kapasitas saya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Anshor, bidang hubungan luar negeri. Dua teman saya yang lainnya adalah Jamaluddin Faisal Hasyim dan seorang teman dari Aceh, Muslahuddin Daud. 

Dalam beberapa kali wawancara tertulis maupun lisan di Kedutaan Besar AS di Jakarta, kami dekat dengan Morris yang sekaligus menjadi pembimbing yang telaten dalam memberi petunjuk dan arahan mengenai apa yang harus kami persiapkan. Ketika kami bertiga terpilih untuk berangkat, kami diminta untuk menyiapkan masing-masing satu makalah untuk dipresentasikan dalam sebuah seminar Internasional di Amerika Serikat.

Dokpri
Dokpri
Saya sendiri menyiapkan makalah seputar bagaimana mengembangkan tradisi Islam moderat di Indonesia. Saya pikir inilah tema yang paling cocok karena dunia saat itu, dan terutama AS sendiri, tengah berhadapan dengan isu-isu terorisme pasca peristiwa 11 September 2001, dimana sekelompok teroris menyerang gedung Word Trade Centre di New York, AS, yang memakan korban ribuan nyawa melayang.

Sejak peristiwa itu AS mengajak negeri-negeri Muslim moderat untuk Bersama-sama melawan terorisme global. Tanggal 1 September 2002 kami tiba di Honolulu, Hawaii. Kami pun langsung menuju penginapan yang telah disiapkan di Doubletree Alana Waikiki Hotel, berlokasi di 1956 Ala Manoa Blvd. Di hari pertama itu saya langsung bisa merasakan suasana sejuk kawasan Hawaii yang penuh pesona.

Sebagaimana sering kita saksikan dalam film-film, Hawaii memang merupakan kawasan yang sangat indah. Para turis mancanegara menganggapnya sebagai surga tempat mereka bersenang-senang. Tidak heran jika Hawaii menjadi sentra industri pariwisata andalan AS. Pertama kali menginjakkan kaki di sana semua sudut seperti pesta yang ditaburi gemerlap cahaya, musik, dan tarian. 

Pada hari kedua, acara dimulai dengan perkenalan seputar East West Center/EWC (lembaga yang menjadi host kunjungan kami) dan misi yang tengah kam jalani. Kami mendengarkan sambutan dari Dr. Charles Morrison, Direktur East West Center, seorang yang amat simpatik, berpenampilan kalem dan menyenangkan.

Di pusat studi bergengsi tersebut, kami juga diberikan berbagai materi terkait dengan pengelolaan situs sejarah, budaya dan lingkungan Hawaii itu sendiri. Pemrasarannya adalah Dr. Michele Parke, seorang peneliti di EWC. 

Selain itu juga tampil para pembicara lain yang membahas masalahmasalah seputar isu kesehatan dan populasi regional Asia Pasifik, isu lingkungan hidup, isu energi, dan isu keamanan regional dan global. Secara geopolitik, Hawaii sangat strategis bagi AS karena letaknya di kawasan Asia Pasifik yang menjadi pintu gerbang bagi negara adikuasa itu untuk melakukan kontak dengan negara-negara lain di luar benua Amerika.

Isu-isu dunia yang menjadi perhatian AS juga dikaji dan ingin dicarikan solusinya di East West Center ini. Tidak heran jika di lembaga ini juga berkumpul para peneliti, pakar studi kawasan, dan profesor-profesor universitas terkemuka. Yang menarik bahwa mereka membawa kami ke sini karena ingin mendengar langsung dari sumber-sumber yang diperkirakan memiliki pemikiran objektif dan terbuka dalam berbicara bagaimana mengatasi terorisme.

Dokpri
Dokpri
Pada 4 September 2002, kami mengunjungi USCINCPAC (United States Indo-Pacific Command), Markas Pertahanan AS di Hawaii. Untuk sampai ke sana kami harus melewati penyeberangan singkat melalui Pearl Harbour, pelabuhan yang pernah digempur tentara Jepang pada saat Perang Dunia II, yang kemudian menyeret AS ke kancah perang tersebut. Kami tiba di sana bersama Letnan Jenderal Thomas Case, USAF, Deputi Commander in Chief/Chief of Staff, Pasific Command.

Sebelum memasuki markas itu kami harus melewati pemeriksaan yang ekstra ketat yang bagi saya sendiri sebenarnya agak mengherankan mengingat kami adalah tamu yang mereka undang. Begitu ketatnya pemeriksaan itu, sampai-sampai semua baju harus dibuka, kecuali celana dalam. "Ini gila", gerutu saya. Tapi kami kemudian diterima dengan baik. Kami mendiskusikan banyak hal menyangkut isu mutakhir dan masalah keamanan di Asia Pasifik saat itu.

Yang membuat saya terperangah adalah ketika Thomas Case menguraikan peristiwa WTC dan mengatakan bahwa akar persoalan terorisme itu ada di Indonesia. Ia menyebut Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Thalib sebagai organisasi yang mereka curigai sebagai teroris. 

Mendengar itu saya langsung berdiri dan mengatakan dengan kerja keras mengungkapkan dalam Bahasa Inggris yang pas-pasan. Dalam versi Indonesia, intinya saya menyampaikan : "Pendapat Anda salah. Anda harus mengkaji ulang penelitian Anda. Jika Anda berpegang pada pandangan itu, Anda akan berhadapan dengan umat Islam di dunia, karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia".

Forum hening. Mungkin tidak mengira saya akan bicara seperti itu. Lalu saya lanjutkan dengan penjelasan bahwa Laskar Jihad itu hanya suatu unit yang dibentuk untuk kepentingan situasi lokal di Indonesia saat itu seperti menghadapi Sidang Istimewa MPR, kepentingan persaingan politik internal, kemudian ada kepentingan lain untuk mengatasi konflik di Ambon.

Kami sangat paham tentang kekuatan dan keterbatasan mereka, karena kami tahu siapa mereka dan yang terkait dengan mereka. Mengakhiri penjelasan, saya tantang mereka. "Saya berani mempertanggung-jawabkan bahwa pendapat yang Anda katakan itu salah. Menurut saya, pemberantasan terorisme harus menjadi tanggung jawab bersama, Anda harus hapuskan pandangan seperti itu dan kita mulai dari awal untuk melakukan suatu identifikasi secara objektif."

 Saya kira Letnan Jenderal Thomas Case dan yang hadir di sana cukup bisa menerima pandangan saya. Buktinya, mereka kemudian mulai beralih ke isu Jamaah Islamiyah yang mereka sebut sebagai jaringan terorisme di Asia Tenggara. Terus terang saja, di antara 14 negara yang hadir saat itu, kita dari Indonesia yang paling mendapat sorotan, karena soal isu terorisme tadi.

Dokpri
Dokpri
Pada 6 September kami kembali berada di forum "12th New Generation Seminar" di EWC. Saya memimpin presentasi delegasi pemuda Indonesia. Saya mempresentasikan makalah saya yang berjudul: Mengembangkan Tradisi Islam Moderat di Indonesia dalam versi bahasa inggris. 

Teman saya Jamaludin Faisal Hasyim berbicara tentang pendidikan anti-kekerasan, dan seorang teman dari Aceh, Muslahuddin Daud, berbicara tentang pengalaman Aceh dalam menyelesaikan konflik vertikal. Uniknya Muslahuddin ini adalah pemuda Aceh yang sangat pro GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

 Momen penting dalam 12th New Generation Seminar Participants  tersebut diikuti delegasi dari India, Filipina, Jepang, Singapoe, Malaysia, Thailand dan dari Amerika Serikat. Indahnya pertemuan berbeda bangsa, beragam agama dan kepercayaan, yang saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bersama sebagai warga global. 

Saya yang terlahir dari sebuah kampung pasundan di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat tak pernah membayangkan sebelum, akan bisa Bersama mereka. Rasa syukur ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa, atas kesempatan bisa belajar, saling mendengar, dan bertukar pengalaman tentang bangsa dan negara masing-masing.

Usai acara di East West Center, Hawaii, kami bertolak ke New York pada 7 September 2002. Agenda pertama kami di sana adalah menjelajahi lokasi ledakan bom di WTC. Saat kami berkunjung, puing-puing masih bertebaran. Karena peristiwa bom WTC itu baru setahun berlalu, maka suasana di TKP (tempat kejadian perkara) masih terasa "baru". Bukan saja bagi kami, tapi juga bagi kebanyakan warga AS sendiri yang sepertinya belum percaya tentang apa yang menimpa negeri mereka setahun yang lalu. Siapa pun yang menyaksikan puing-puing itu, niscaya akan tersentuh rasa kemanusiaannya.

Saya pun mulai merasakan apa arti "misi perdamaian" yang menjadi tema kunjungan kami ke AS. Pada 11 September 2002, saat masih pagi, tepat satu tahun tragedi WTC, digelar acara doa bersama perwakilan umat beragama dari seluruh dunia di St. Bartholomew's Church, sebuah gereja tua yang penuh wibawa dekat lokasi WTC. 

Kalau tidak salah ada sekitar 95 doa dari berbagai agama dipanjatkan. Acara itu diberi nama: Celebrating of Remembrance and Hope Dedicated to the Victims of Violance Everywhere, sebuah peringatan dan renungan untuk mengenang korban kekerasan di seluruh dunia. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 200 orang bersama tokoh pemuka agama sedunia di Gereja Bartolomeus usai mendoakan korban ledakan di World Trade Centre.

Organisasi keagamaan dan lintas agama di Amerika dan seluruh dunia ini benar-benar mempersatukan umat manusia tanpa memandang perbedaan ras, bahasa, warna kulit, dan agama. Mereka memanjatkan doa dengan bahasa yang berbeda namun dengan tujuan dan makna yang sama yaitu perdamaian. Suasana pagi itu benar-benar mengharu biru dan melumat-lumat perasaan. Saya pun tak kuasa menahan airmata, terlebih saat berkumandang ayat-ayat suci al-Quran yang dibacakan dengan nada merdu dan menyayat oleh seorang Imam Muslim di Amerika.

 Untuk pertama kalinya saya bisa menangis di sebuah gereja. Saya sendiri tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Mungkin karena keharuan yang menyatu dari ribuan manusia mengingat tragedi berdarah satu tahun lalu itu. Suasana yang tercipta ketika itu seakan-akan semua orang merasa memiliki dan menjadi bagian dari puing-puing WTC. Tidak heran jika mereka tampak sangat emosional.

Dokpri
Dokpri
Pemerintah AS rupanya menyerahkan bencana WTC kepada dunia. Konon ketika usai evakuasi besar-besaran para korban, mereka membuka panggung dunia di atas reruntuhan WTC itu. 

Pertanyaan yang mereka ajukan: mau diapakan WTC setelah diledakkan itu? Semua orang bebas bicara dan mengajukan usul. Itu suatu tradisi demokrasi yang luar biasa yang melibatkan bukan saja partisipasi publik tapi juga emosi mereka. Sehingga semua orang secara naluriah ikut memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi. 

Hari berikutnya kami berkunjung ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, dilanjutkan ke kantor pusat the Ford Foundation, sebuah yayasan donor yang sudah sangat terkenal dan memiliki kantor di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Kunjungan ke kantor International Monetary Fund (IMF) menambah pengetahuan kami mengenai peran dukungan finansial terhadap negara-negara berkembang. Para petugas di sana menerangkan dengan meyakinkan keberhasilan mereka menggerakkan pembangunan di seluruh dunia. Saya hanya tersenyum saja meski dalam hati mengatakan bahwa tidak semua yang mereka klaim itu benar. Jatuhnya rezim Orde Baru di Indonesia mungkin ada andil dari IMF, namun dampak ikutan yang ditimbulkannya berupa krisis berkepanjangan justru membuat citra IMF terpuruk di negara kita.

Terlepas dari itu, saya menyaksikan kedigdayaan negara adikuasa Amerika dalam mengendalikan dunia dari kota yang bernama New York itu. Saat berada di Washington DC, kami bertemu Dubes Indonesia untuk AS, Soemadi Brotodiningrat.  

Melalui Pak Dubes kami mendapatkan kuliah khusus di Washington DC tentang konsep baru diplomasi. Intinya, setelah tragedi WTC, pola diplomasi setiap negara berubah total menjadi multy track diplomacy, yaitu diplomasi dari berbagai sisi; ekonomi, sosial, budaya, hubungan people to people, dan lain-lain. 

Salah satu wujudnya saya temukan beberapa hari lalu ketika berada di Hawaii. Di situ ada sebuah lembaga namanya The Center of Excellence in Disaster Management and Humanitarian, lembaga penanggulangan bencana alam yang menjamin keamanan di Hawaii. Lembaga sepenting ini dikelola dengan gaya NGO.

Di situ ada jenderal, pejabat pemerintah, polisi, ahli sosial, tokoh agama, dan lain-lain, yang memimpin secara bergantian. Salah satu agenda kunjungan kami yang terpenting adalah berdialog dengan media massa. Di mana-mana, media massa memegang peranan yang sangat penting bukan saja dalam menyampaikan peristiwa namun juga membangun opini dan mempengaruhi publik. 

Begitu juga media massa di AS. Saya beruntung karena bisa langsung bertemu dengan para petinggi di kantor Washingthon Pos, di Washingtn DC. Kantor surat kabar yang paling berpengaruh di AS ini tampak sangat tua. Namun justru dengan begitu kelihatan sangat berwibawa. Tidak ada yang menyangkal peranan Washington Post dalam mengawal demokrasi AS.

Dalam dialog yang berlangsung cukup rileks itu kami mendengarkan kebijakan-kebijakan yang ditempuh Washington Post dalam pemberitaannya mengenai negara lain. Intinya, mereka ingin ikut mendorong proses keterbukaan dan demokrasi terutama di negaranegara berkembang. Pada sesi diskusi saya mencoba menyampaikan masukan dan kritik, terutama kebijakan pemberitaan mengenai Islam di Indonesia, dan lebih khusus lagi soal terorisme.

Saya memberi perspektif mengenai mainstream Islam moderat yang sering luput dari pemberitaan yang cenderung mengejar sensasi dari berita-berita buruk. Paradigma "bad news is good news", saya bilang, tidak tepat untuk kasus menyangkut agama. Terlebih lagi jika ingin membangun kerjasama perdamaian, maka paradigma semacam itu harus ditinggalkan. 

Di hari berikutnya kami bertemu dengan Prof William Liddle di sebuah tempat bermana Starbuck Coffe---saat itu saya yakin belum ada satupun gerainya ada di Indonesia-- tempat yang saat ini mulai menjamur di Indonesia. 

Liddle adalah pengajar di Ohio State University, yang namanya sudah lama berkibar sebagai pengamat senior tentang Indonesia, bahkan pernah lama melakukan penelitian dan menulis sejumlah buku tentang politik Indonesia. Liddle bahkan pernah tinggal dan mengajar di Universitas Syah Kuala, di Aceh. Saya tanya apa yang kini dipikirkan oleh Liddle---sebagai seorang Indonesianis--- tentang Indonesia?

Dia bilang bahwa sekarang sedang mencari orang-orang yang memiliki kapasitas dan dapat diandalkan untuk kepentingan kerjasama Indonesia-Amerika. Saya katakan kepada Liddle bahwa strategi semacam itu kurang efektif. Sebagai akademisi, Liddle memang bisa terobsesi melihat hubungan Indonesia dan Amerika semata-mata dari sudut pandang hubungan akademik. Namun, saya bilang, jauh lebih penting adalah hubungan komunikasi langsung dengan para pemuka Indonesia yang berkompeten di bidangnya masing-masing.

Apa yang terjadi dengan NU dan Muhammadiyah, tidak bisa dilihat dari jauh. Anda harus bertemu dengan para ulama dan kiai. Begitu juga demgan konflik-konflik di Aceh, Ambon, Poso. Para intelektual kampus tidak bisa memberi penjelasan yang memadai mengenai itu. Dan kalau Anda melihat dari jauh, ujar saya, Anda akan kehilangan konteks. Harus menjalin komunikasi dengan para pemimpin lokal yang memiliki basis. Liddle ternyata setuju dengan pandangan saya. Kesempatan yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya adalah ketika ada sesi wawancara media.

Saya mewakili seluruh peserta dalam suatu dialog secara live interactive melalui televisi nasional Amerika yang ditayangkan secara langsung di kantor Voice of America (VOA). Ini suatu kehormatan karena saya bisa diwawancarai oleh jaringan televisi terkemuka yang disiarkan langsung dan diterjemahkan ke dalam 60 bahasa secara otomatis ke berbagai negara melalui televisi nasional di negara masing-masing. 

Di Indonesia, siaran wawancara VOA dengan saya ditayangkan langsung melalui jaringan televisi nasional INDOSIAR. Kontan saja, beberapa keluarga dan sahabat pun sempat menyaksikan tayangan langsung wawancara saya dari studio VOA di Washington DC.

Dokpri
Dokpri
Saya dapat berinteraksi langsung, ada tanya jawab dengan sesama warga bangsa, melalui tanya-jawab interaktif dengan pemirsa dari Indonesia. Dengan tegas dan penuh semangat nasionalisme saya berbicara tentang kehebatan Indonesia menjadi negara dengan tradisi keagamaannya yang amat moderat, toleran dan damai, sehingga agama menjadi spirit perubahan penting di negeri kita. Untuk berdiskusi tentang Islam, kami dibawa ke George Town University, yang memiliki Department of Islamic Studies.

Departemen ini diasuh oleh Prof. Osman Bakar, yang berasal dari Malaysia. Kelas Islamic Studies ini mengkaji berbagai latar belakang agama. Osman Bakar memperlihatkan beberapa buku ke saya, salah satunya buku "Islam and Confusianism". Ini mungkin buku pertama di dunia yang mendialogkan peradaban Islam dan Konfusianisme. Ia ingin saya menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia--- suatu amanah yang hingga sekarang belum bisa terwujud. 

Tapi saya berharap buku ini sudah ada yang menterjemahkan. Prof. Osman mengajar tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam. Menurutnya, al-Qur'an sebagai sumber sains harus terus digali isinya. Katanya lagi, banyak penemuan terbaru teknologi Amerika, termasuk penggalian situs-situs, bahkan juga produksi film-film, dilakukan oleh orang-orang yang menggali alQur'an.

Department Dalam Negeri AS juga rupanya punya Islamic Section atau Departemen Keislaman yang menangani urusan dengan dunia Islam. Hanya saja, berbeda dengan yang ada di universitas, Islamic Section ini lebih bersifat peran negara dan pemerintah dalam memantau, mengkaji dan menjalin kemitraan atau sebaliknya, bagaimana Amerika memposisikan diri dan berperan terhadap negara-negara Islam.  Saya memahami dari penjelasan beberapa pejabat yang kami  berbincang. Sebagian ada kaitan dengan bagaimana dominasi dan kepentingan AS atas negara tertentu.

Dalam beberapa kesempatan, saya menerangkan, perlunya pemahaman yang tepat mana Islam dalam konteks moral dan formal. Apakah Anda semua dapat membedakan antara beberapa narasi tentang Islam dan masyarakat Islam, dunia Islam, apakah Islam identic dengan Arab? Manakah yang disebut dengan negara Islam atau Islamic State, atau bangsa Islam, Islamic Nation, atau bahkan apa yang dimaksud dengan peradaban dan budaya Islam. Mengapa bermunculan istilah Islam fundamentalis, Islam radikal, Islam kanan-Islam kiri, atau Islam teroris? Seperti itulah kami berbincang sambil berdialog akrab Bersama para pemimpin muda dari Kawasan yang berbeda negara, bangsa dan agama serta keyakinan tersebut.

Dokpri
Dokpri
Tak mungkin saya emosional, meskipu saya kerap menahan dan mengendalikan emosi saya. Terutama saat kesalahpahaman mereka terlontar begitu saja. Itulah yang bikin saya gerah, gak nyaman, bukan emosional. Saya merespon, bahwa bacaan dan pandangan AS terhadap Islam tidak memiliki persepsi yang utuh dan tidak obyektif. Terlalu berat sebelah dan mengutamakan kepentingan sendiri. 

Akibatnya, meskipun yang dilakukan dengan menawarkan dialog, AS kerap menempatkan diri dan posisi yang tak sejajar dan berimbang dengan teman dialognya. Pilihan AS sebaiknya bersikap respek dan rendah hati, terbuka dan mau mendengar, serta membuka Kerjasama dengan semua pihak dengan tujuan dan hasil yang win win solution.

Saat itu, saya menyampaikan pandangan kritis, terbuka, tetap menjaga kesantuan khas Indonesia, karena sejak awal dari misi dan kujungan kami bersifat diplomasi publik dan perdamaian, bahkan mengedapankan dialog dan intelektual.Bersyukur, tradisi intelektual dan keterbukaan memang benar-benar dihargai, gak ada yang marah atau emosi dalam kami berinteraksi. Alhamdulillah, misi diplomasi publik yang mengesankan pun berhasil kami jalani dengan segala tantangan dan suasana yang tak mudah saya lewati, untuk beradaptasi cepat dalam segala situasi dan suasana.

Masih banyak jejak kenangan dan catatan yang tak terungkap dalam artikel ini. Juga tak sedikit tanda tanya tentang banyak hal sepanjangan berada di Amerika Serikat. Banyak Kerjasama dan kemitraan yang bisa dijalin dengan baik untuk manfaat dan kebaikan Bersama.Terutama, bagaimana segala yang baik menjadi model dan teladan, dan hal yang tak sesuai dan bertentangan, memang ada perbedaan dan keragaman. 

Semua dapat kita petik pelajaran dan hikmah terbaik. Ada rasa persahabatan dan persaudaraan yang kerap terjalin dengan para delegasi lintas negara untuk  kelak menyambung hubungan baik dan kerjasama saling bermanfaat antar warga, antar negara dan bangsa yang saling manfaat dan menguatkan. Moga tragedi terorisme brutal itu tak kan pernah terjadi lagi, sehingga tatanan dunia baru lebih terisi dengan suasana bahagia, damai dan harmoni, adil dan berkemakmuran.

September, 11.09.2020

Kang Fuad_Munawar Fuad Noeh

Dosen Presiden University

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun