Usai acara di East West Center, Hawaii, kami bertolak ke New York pada 7 September 2002. Agenda pertama kami di sana adalah menjelajahi lokasi ledakan bom di WTC. Saat kami berkunjung, puing-puing masih bertebaran. Karena peristiwa bom WTC itu baru setahun berlalu, maka suasana di TKP (tempat kejadian perkara) masih terasa "baru". Bukan saja bagi kami, tapi juga bagi kebanyakan warga AS sendiri yang sepertinya belum percaya tentang apa yang menimpa negeri mereka setahun yang lalu. Siapa pun yang menyaksikan puing-puing itu, niscaya akan tersentuh rasa kemanusiaannya.
Saya pun mulai merasakan apa arti "misi perdamaian" yang menjadi tema kunjungan kami ke AS. Pada 11 September 2002, saat masih pagi, tepat satu tahun tragedi WTC, digelar acara doa bersama perwakilan umat beragama dari seluruh dunia di St. Bartholomew's Church, sebuah gereja tua yang penuh wibawa dekat lokasi WTC.Â
Kalau tidak salah ada sekitar 95 doa dari berbagai agama dipanjatkan. Acara itu diberi nama: Celebrating of Remembrance and Hope Dedicated to the Victims of Violance Everywhere, sebuah peringatan dan renungan untuk mengenang korban kekerasan di seluruh dunia. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 200 orang bersama tokoh pemuka agama sedunia di Gereja Bartolomeus usai mendoakan korban ledakan di World Trade Centre.
Organisasi keagamaan dan lintas agama di Amerika dan seluruh dunia ini benar-benar mempersatukan umat manusia tanpa memandang perbedaan ras, bahasa, warna kulit, dan agama. Mereka memanjatkan doa dengan bahasa yang berbeda namun dengan tujuan dan makna yang sama yaitu perdamaian. Suasana pagi itu benar-benar mengharu biru dan melumat-lumat perasaan. Saya pun tak kuasa menahan airmata, terlebih saat berkumandang ayat-ayat suci al-Quran yang dibacakan dengan nada merdu dan menyayat oleh seorang Imam Muslim di Amerika.
 Untuk pertama kalinya saya bisa menangis di sebuah gereja. Saya sendiri tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi. Mungkin karena keharuan yang menyatu dari ribuan manusia mengingat tragedi berdarah satu tahun lalu itu. Suasana yang tercipta ketika itu seakan-akan semua orang merasa memiliki dan menjadi bagian dari puing-puing WTC. Tidak heran jika mereka tampak sangat emosional.
Pertanyaan yang mereka ajukan: mau diapakan WTC setelah diledakkan itu? Semua orang bebas bicara dan mengajukan usul. Itu suatu tradisi demokrasi yang luar biasa yang melibatkan bukan saja partisipasi publik tapi juga emosi mereka. Sehingga semua orang secara naluriah ikut memikul tanggung jawab atas apa yang terjadi.Â
Hari berikutnya kami berkunjung ke markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, dilanjutkan ke kantor pusat the Ford Foundation, sebuah yayasan donor yang sudah sangat terkenal dan memiliki kantor di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Kunjungan ke kantor International Monetary Fund (IMF) menambah pengetahuan kami mengenai peran dukungan finansial terhadap negara-negara berkembang. Para petugas di sana menerangkan dengan meyakinkan keberhasilan mereka menggerakkan pembangunan di seluruh dunia. Saya hanya tersenyum saja meski dalam hati mengatakan bahwa tidak semua yang mereka klaim itu benar. Jatuhnya rezim Orde Baru di Indonesia mungkin ada andil dari IMF, namun dampak ikutan yang ditimbulkannya berupa krisis berkepanjangan justru membuat citra IMF terpuruk di negara kita.
Terlepas dari itu, saya menyaksikan kedigdayaan negara adikuasa Amerika dalam mengendalikan dunia dari kota yang bernama New York itu. Saat berada di Washington DC, kami bertemu Dubes Indonesia untuk AS, Soemadi Brotodiningrat. Â
Melalui Pak Dubes kami mendapatkan kuliah khusus di Washington DC tentang konsep baru diplomasi. Intinya, setelah tragedi WTC, pola diplomasi setiap negara berubah total menjadi multy track diplomacy, yaitu diplomasi dari berbagai sisi; ekonomi, sosial, budaya, hubungan people to people, dan lain-lain.Â