Mohon tunggu...
Mulyono Atmosiswartoputra
Mulyono Atmosiswartoputra Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan PNS

Belajar merangkai kata agar pelajaran tak hilang sia-sia.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Parikan, Pantun dalam Sastra Jawa

11 Juli 2022   21:54 Diperbarui: 11 Juli 2022   22:07 2023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini, sekitar pukul 18.50, saya mendapat kiriman buku berjudul Semplah Jejeg Nguleg Bawana, Antalogi Parikan dari Bapak Anjrah Lelono Broto, seorang sastrawan Jawa terkenal. Beliaulah yang memiliki ide untuk menulis bersama dalam bentuk parikan dan sekaligus mengoordinirnya. 

Melalui media sosial, beliau mengajak kepada siapa saja yang berkenan untuk menulis parikan dengan tema bebas. Bagi yang berkenan menulis bersama, karyanya dapat dikirimkan melalui e-mail Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) atau melalui WhatsApp beliau. 

Setelah diseleksi, ada 29 penulis yang karyanya terpilih untuk dibukukan. Alhamdulillah, tulisan saya termasuk yang terpilih untuk dibukukan, walaupun saya merasa kaku ketika merangkai kata, karena hampir 20 tahun saya tak pernah menulis dalam bahasa Jawa lagi.

Di sini saya tidak akan meresensi buku tersebut, tapi ingin membahas tentang parikan dari sudut yang lain. Kebetulan, dulu saya pernah menulis artikel berjudul "Icip-Icip Kasusastran Jawa" yang salah satu babnya membahas tentang parikan. 

Artikel yang terdiri atas 30 bab tersebut dimuat secara bersambung per dua minggu sekali sebanyak 58 seri di majalah Panjebar Semangat (baca: Panyebar Semangat), sebuah majalah mingguan berbahasa Jawa, mulai 23 Desember 2000 sampai 7 Juni 2003.

Jika pembaca tahu apa itu pantun, maka seperti itulah parikan. Parikan adalah pantun dalam sastra Jawa. Parikan merupakan kumpulan kata-kata yang berirama (bahasa Jawa: purwakanthi guru swara) yang terdiri atas sampiran (bahasa Jawa: pambuka) dan isi (bahasa Jawa: wos atau isi).

Tentang istilah "pantun" dalam sastra Indonesia yang kemudian menjadi "parikan" dalam sastra Jawa, terkadang saya berpikir demikian. Dalam bahasa Jawa, kata "pari" dan "pantun" memiliki arti yang sama, yakni 'padi'. Bedanya, "pari" adalah bahasa Jawa ngoko, sedang "pantun" adalah bahasa Jawa krama. 

Bahasa Jawa ngoko biasa digunakan oleh teman yang sepantaran umurnya atau teman akrab, sedang bahasa Jawa krama biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua usianya, atau dari yang rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti rakyat biasa kepada lurah, camat, atau bupati. 

Apakah karena hal tersebut, sehingga istilah "pantun" dalam sastra Indonesia kemudian menjadi "parikan" dalam sastra Jawa? Prosesnya "pantun" = "pari". Kata "pari" ini kemudian berubah menjadi "parikan". Ups! Maaf, ini hanya pikiran nakal saya saja, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian.

Dalam sastra Jawa, parikan ada yang disusun menjadi dua baris, ada juga yang disusun menjadi empat baris.

Untuk parikan yang disusun menjadi dua baris, baris pertama merupakan SAMPIRAN, sedang baris kedua merupakan ISI. Baik SAMPIRAN maupun ISI, pada akhir baris harus memiliki irama yang sama. Sebagai misal:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun