Pak Ulu - Ulu - sebutan pamong desa pengatur pengairan - membawa keponakannya yang berprofesi sebagai juru gambar menghadap Kyai Qreda.
Selepas Azar mereka menyusuri jalan setapak pinggir kali Pusur. Pondok kayu sang Kyai bertengger diatas tebing sungai. Beralas batu pipih besar melebar, pondok kayu sang Kyai tegak bertumpu. Beranda belakang manglung tinggi dibibir kali yang mengalir deras. Dinaungi pohon Asem raksasa, diterpa cahaya mentari senja pondok itu nampak sebagai siluet reyot dan ringkih ditengah bebatuan dan pepohonan perkasa.
Pak Ulu - Ulu mengantar keponakannya untuk berkonsultasi kepada Kyai Qreda yang terkenal nyleneh namun cerdas itu.
Sang Kyai tertawa keras menyambut tamunya. Nada tawa yang susah diartikan maknanya. Tawa gembira, atau ekspresi sebel ada orang tak diundang bertamu menjelang Mahrib.
Di beranda belakang para tamu duduk santun di dingklik kayu kusam memanjang. Tuan rumah duduk jegang seenaknya diatas batu hitam, menumpukan kaki bersilang. Diantara tuan rumah dan tamunya teronggok meja dari bonggol pokok pohon. Meja pengkuh lawas, antik alami tak berpelitur.
Nyi Qreda telah menyajikan sepoci teh nasgitel dan gelas tanah merah bakar diatas meja bonggol.
Kyai Q mencecap nikmat teh kecoklatan dari cangkir tanah merah terakota. Tamunya tak dipersilahkan mencicipi. Kyai Q menikmati diri sendiri, seolah tak peduli tamunya mau minum atau tidak minum itu bukan urusannya.
Ulu - Ulu menggamit keponakannya. Memberi kode agar langsung bicara mengemukakan maksudnya.
Candik ayu, bianglala jingga merona melayang di langit kali Pusur. Pasti pemandangan seperti inilah model panorama impian para juru gambar pemandangan alam. Penampakan kali Pusur senja itu memang terasa magis dan wingit, namun begitu mempesona.
Juru gambar muda itu menggeser pantatnya. Terbata - bata langsung mengemukakan persoalan yang membebaninya. Terlupa kata pembuka atau basa basi pada umumnya kala orang mertamu.