Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[cerpen] Istrinya Suamiku? Oh, No!

18 Maret 2019   12:28 Diperbarui: 18 Maret 2019   12:34 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: beautynesia-dot-id

Perempuan beralis tebal yang dandanannya kurang sopan itu tiga kali ke rumah kami. Itu yang menjadi penanda awal nasib kelabu keluarga kami. 

Kejadian itu saat kira-kira 5 bulan usia pernikahan kami. Ba'da dzuhur seseorang memencet bel rumah. Aku keluar dengan mukena. Begitu aku nongol di pintu seorang perempuan langsung memelukku dan sambil menangis meraung-raung. Getarannya sangat meyakinkan dan aku tidak paham. Di rumah sepi. Mas Diddy suamiku sedang di kantor.

 "Cup...cup... ada apa Mbak? Silakan masuk dulu?" Kataku bermaksud baik. Aku membimbing tamuku si alis tebal ini ke ruang tamu dan duduk di sofa toska kami.

 "Silakan minum dulu, Mbak" kuulurkan air mineral botol kecil yang kuambil dari meja memang khusus tamu. Kuterka usia mbak ini sepantaran aku: 21 tahun.

 Perempuan di depanku sudah mulai tenang sekarang. Nampaknya ia akan mulai mengatakan sesuatu. Tapi selaku tuan rumah, aku yang lebih dulu membuka obrolan.

 "Mbak kenapa? Saya bisa bantu apa?" Ucapku ramah.

 "Aku istrinya suami sampean, Mbak!" Kata itu meluncur tidak izin dari mulut mungil Mbak alis tebal itu. "Sebelum sama sampean, Diddy menikahi aku, Mbak,"

 Dwaaaar!!

 Kusekap mulutku agar tak teriak atau mengumpat.

 Lebih baik kutitikan beberapa bulir airmataku. Kini suasanany makin tak keruan.

 "Ini fotocopy surat nikah kami, Mbak!"

 Deg!

 Kusumbat lagi mulutku lalu telinga dan aku menangis. 

 "Astaughfirulloh... astaghfirulloh... astaghfirulloh...." hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Tak kuasa mata melihat berkas di depan mata kepala yang terlegalisir pengadilan. "Nggak mungkin, Mbak." Kataku. Tumpahlah bendungan airmataku. Kini mengurat di pipiku. 

 "Hidup memang keras, Mbak," kata perempuan beralis tebal itu seolah dia bijak.

 "Mbak ini siapa?"

 "Aku istrinya suamimu, Mbak!"

 "Iya maksudnya kerja apa tinggal di mana?"

 "Aku pacarnya saat SMP, Mbak. Mohon bantu aku, Mbak. Aku mau ketemu Diddy."

 Aku menghela nafasku. Menyeka airmata dengan mukenaku. 

 Kutarik dan kuhembuskan nafas pelana-pelan. Aku berusaha tenang meski sedang seakan ada badai.

 "Baik, mbak. Sampean kembali lagi besok pagi ya. Ini jelas sudah urusannya sama Mas Diddy sendiri. Bukan dengan aku." Kataku lunak.

 "Kamu jangan lemah. Wanita harus kuat. Nanti kamu harus siap kalau harus angkat kaki dari rumah ini." Katanya sombong.

 Aku melempar senyum kecut ke wajahnya. Dia melihatnya mungkin senyumku masih manis.

 Dengan cara mengalah begini, mungkin dia akan merasa menang sementara dan akan segera pergi.

 Benar saja dia berpamitan.

 "Besok aku kembali. Ingat!" Ancamnya.

 Aku mengangguk.

 Si alis setebal garpu itu pun pergi. Aku langsung ke kamar mandi berwudu dan menegakkan shalatku. Entah shalat apa yang kukerjakan 2 rakaat itu. Pokoknya aku niatkan shalat pengusir sial sebanyak dua rakaat. Lalu aku bersimpuh pada Allah. "Yaa Allah... jauhkanlah aku dan suamiku Mas Diddy dari mala petaka ya Allah."

 Tapi memang aku agak ragu. Kukenang ucapan mas Diddy.

 "Kamu wajib percaya Mas ya, Sayang. Setelah kita halal ini mungkin fitnah akan bertebaran. Kamu harus percaya, harus yakin sama aku. Aku nggak pernah pacaran sebelumnya," kata indah itu yang jadi peganganku dalam menjalani hari-hari bahagia kami. Itu dikatakan Mas Diddyku yang ganteng saat kami selepas shalat rawatib ba'da isya' di malam pertama kami. Dan sesudah itu kami beribadah. 

 Lagi pula jujur saja, aku lebih cantik dari perempuan yang datang ke rumahku itu. Meskipun dia sedikit menggoda dengan hidung mancungnya, wajah oval, bibir mungil, bertahilalat di pelupuk matanya, rambutnya modis bergelombang buatan, dan tentu saja alisnya yang tebal.

 Kok muskil rasanya Mas Diddy menyukai wanita lain selain aku yang punya bodi melebihi dia yang pendek. Hehe... Sorry congkak dikit. 

 Tapi siapa tahu Mas Diddy tergelincir. Manusiawi bukan?

 Malamnya aku kabarkan kejadian siang tadi ke Mas Diddy. Dia malah mesem.

 Lalu memelukku dengan desiran aliran getaran dadanya yang dahsyat. Dengan erat.

 "Kalau kamu tidak merasa bahagia aku akan menembak kepalaku sendiri, Sayang." Katanya. "Hidupku hanya untuk bahagiamu, bidadariku! Mending kamu jaga diri, jaga janin yang Allah titipkan di rahimmu ini. Jauhi masalah sekecil apapun."

 Mas Diddy memelukku bagai membopong tubuh mungil anak Palestina yang tertembak di dengkulnya dan sekarat. Anak berlumur darah yang sudah di ujung ajal. Ia sangat menyayangiku. Sangat. Kutahu itu.

 Duh bahagianya hidup ini.

 "Besok dia (perempuan alis tebal) nggak mungkin datang," kata Mas Diddy. "Ini penipuan, Sayang. Yakinlah!"

 Aku mengangguk dan membenamkan wajahku lagi di dadanya.

 Benar. Esoknya nggak ada tamu lagi. Nggak ada perempuan bibir mungil itu. 

 Penipu. Entahlah!

 ***

 Ba'da dzuhur seminggu setelah kejadian lalu, tamu si alis tebal ke rumah kami lagi. Itu hari Selasa. Dia menekan bel dan mengintipnya dari balik kaca. Aku melihatnya di cctv HPku. Ia ada tamu. Tapi aku mendekat. Kini menyingkap kelambu. Benar perempuan mulut mungil bibir tebal. Bel lima kali dipencet aku tak peduli. 

 Meskipun di hati merasa ibah. Bagaimana kalau di posisinya adalah aku? Yang waktu itu tak datang pagi mungkin karena ada keperluan mendesak, dll. Pagi kan masih ada suamiku sebelum ke kantor. Biar jelas. Kasihan sebenarnya. Aku nggak bisa berat sebelah. Harus terang.

 Tamu beralis tebal akhirnya balik kanan lalu menghilang dari rumahku.

 ***

 Tiga hari kemudian. Jum'at pukul 09.30. Bel mendengking-dengking. Kuintip dari cctv di HPku si mbak alis tebal lagi. Aku menyumbat telingaku.

 Dan itu yang terakhir. Entah benar atau tidak dia simpanan suamiku. Entahlah! 

 Yang jelas sampai anakku Dira lahir kami aman tanpa teror lagi

 "Kalau Sayang lihat HPku lebih ngeri lagi." Ucap mas Diddy. Mungkin di sana banyak wanita menawarkan diri dengan foto bugilnya. Atau entah. Ngeri maksudnya gimana. Aku bukan tipe istri yang curigaan. Rasanya godaan keluarga macam-macam ya? "Makanya mending nggak usah ngintip-ngintip HPku." 

 Aku mengangguk. Mas Diddy mencium ujung bibirku.

 ***

 "Sudah hapeku, Mbak cantik?" mahasiswi cantik Rinduri membuyarkan lamunanku. Aku mengingat-ingat apa saja yang terjadi di keluarga tercintaku. Kali ini hanya itu. Semoga berkanan ya teman-teman. Doakan aku tetap sehat. Besok kutulis lagi di HPnya Mbak Rindu.

 "Sudah Sayang. Nih!" Aku mengulurkan HPnya.

 "Aku pamit dulu ya Mbak. Besok ketemu lagi ya. Mbak yang sehat yang semangat. Oke?" Katanya.

 "Oke Cantik," ucapku.

 Kami berpelukan. Aku mencium keningnya seolah dia Dira anakku.
 Oh... hidup ini memang memilukan.

 "Besok aku bawa peyek enak ya," janji Rindu.

 Aku mesem. Mengagguk. Mengacungkan jempol.

 Rindu melambaikan tangannya di pintu lalu lenyap.

 ________
 Semoga menghibur.
 Sorbhajha, 15/3/2019

 Catatan: foto hanya ilustrasi. Saya mengambil di internet. Pengarang adalah anaknya petani dari ujung timur pulau Madura: Sumenep. Sekarang bekerja swasta dan tinggal di Surabaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun