Deg!
 Kusumbat lagi mulutku lalu telinga dan aku menangis.Â
 "Astaughfirulloh... astaghfirulloh... astaghfirulloh...." hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Tak kuasa mata melihat berkas di depan mata kepala yang terlegalisir pengadilan. "Nggak mungkin, Mbak." Kataku. Tumpahlah bendungan airmataku. Kini mengurat di pipiku.Â
 "Hidup memang keras, Mbak," kata perempuan beralis tebal itu seolah dia bijak.
 "Mbak ini siapa?"
 "Aku istrinya suamimu, Mbak!"
 "Iya maksudnya kerja apa tinggal di mana?"
 "Aku pacarnya saat SMP, Mbak. Mohon bantu aku, Mbak. Aku mau ketemu Diddy."
 Aku menghela nafasku. Menyeka airmata dengan mukenaku.Â
 Kutarik dan kuhembuskan nafas pelana-pelan. Aku berusaha tenang meski sedang seakan ada badai.
 "Baik, mbak. Sampean kembali lagi besok pagi ya. Ini jelas sudah urusannya sama Mas Diddy sendiri. Bukan dengan aku." Kataku lunak.