Ibu Nastiti bergegas pergi. Entah merasa gerah dengan ucapan para tetangga atau menyiapkan apa yang diusulkan. Bagaimanapun cepatnya zaman melaju, mereka masih percaya bahwa melempar celana dalam perawan ke atap rumah saat hajatan bisa mencegah hujan.
Pagi itu, Mbah Wiroguno menancapkan sapu lidi di tengah-tengah halaman rumah Suci. Di antara lidi-lidi itu telah ditusukkan bawang merah, cabe merah, kunyit, jahe, dan dlingo bangle yang jumlahnya ganjil. Tiga dan lima.
Tidak hanya sapu lidi berbumbu dapur yang ditancapkan. Sesaji komplit juga telah tersedia di atas tampah bambu. Pisang setangkep, kopi kental, teh manis, gecok bakal, sodo lanang, jajan pasar, polo pendem, kembang tujuh rupa, dan tak ketinggalan kemenyan madu.
Suci menyaksikan sendiri bagaimana semua sesaji dan ritual tolak bala dilaksanakan. Gadis remaja itu turut larut dalam sukacita. Suci mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjadi pagar ayu dan pagar bagus. Tidak seperti Nastiti, ia punya banyak teman lelaki, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Bergaul akrab dan sering bepergian beramai-ramai.
"Sesaji lagi?"
"Iya," jawab Mbah Wiroguno dingin atas pertanyaan Suci.
Ia manggut-manggut seraya melihat laki-laki sepuh itu merangkai selembar daun pisang raja, suket grinting, kerikil, dan janur kuning jadi satu. Sesaji yang harus diletakkan di atap rumah---yang dipercaya---sebagai jembatan perantara alam kasatmata dengan alam kelanggengan.Â
Esok harinya, sepuluh tahun lalu, menjadi hari terakhir Suci menyukai hujan.
Semua berjalan sempurna, andaikan sekelompok mendung tebal hanya lewat. Tidak menumpahkan air tanpa basa-basi. Tidak membuat kocar kacir para tamu yang sedang menikmati hiburan organ tunggal di halaman samping rumah. Tidak membuat tenda hijau lumut hampir terbang disambar angin.
Hari pernikahan Nastiti menjadi hari terenggutnya keperawanan Suci. Semua tidak akan terjadi, andaikan Suci tidak masuk ke dapur, di mana ibu-ibu rewang masak masih berkumpul. Andaikan dari dapur, ia tidak lari ke kerumunan tamu yang semula asyik joget dangdut.
"Wah, ini pasti yang dilempar bukan celana dalemnya perawan. Hahahaha."