Yang diajak bicara menghela napas panjang. Kemudian ia berkata, "Cukup sekali ini saja, kita jadi bahan omongan jelek orang-orang sekampung. Jangan sampai terjadi lagi. Aku malu, Bu."
Tanggal akad dan resepsi pernikahan sudah ditentukan. Tidak mungkin ditunda sampai musim panas tiba--waktu yang aman untuk menggelar pesta. Perut Nastiti pasti membesar, sulit untuk disamarkan di balik gaun pengantin yang pas badan.
Tidak menjadi masalah meskipun saat itu puncaknya musim hujan. Mbah Wiroguno yang terkenal sebagai pawang hujan paling mumpuni siap dimintai tolong. Sangat mudah bagi Mbah Wiroguno menunda hujan atau menggesernya ke wilayah lain. Tidak pernah ada satu pun catatan kegagalan selama ia menjadi pawang hujan.
"Jangan lupa sedekahan tolak bala! Mohon keselamatan dan kelancaran pada Gusti Allah," pesan Mbah Wiroguno tatkala dimintai bantuan.
Dengan mantap orang tua Nastiti menjawab, "Nggih, Mbah. Pasti itu."
Seperti sebelum-sebelumnya, Mbah Wiroguno pun pasti melakukan puasa mutih dan laku ngebleng sebagai ritual pendahuluan. Katanya, sesaji dan doa saja tidak cukup.
Tiga hari menjelang hajatan digelar, hujan tidak turun. Sekawanan awan kelabu tetap bergelayut. Namun, sedikit demi sedikit bergeser ke arah Alas Cemoro, malu-malu melintasi langit Desa Kedawung, sungkan dan tidak kuasa membasahi bumi. Padahal, sebelumnya setiap pagi hujan deras mengguyur desa, berhenti sebentar, lalu merintik lagi sampai malam walaupun tak seberapa deras. Orang-orang percaya bahwa kekuatan spiritual sang pawang mulai bekerja.
"Besok cuaca pasti cerah!" sesumbar pemilik hajat. "Banyak orang penting bakal datang, loh."
"Jangan lupa lempar celana dalem perawan ke atas rumah, Yu!" celetuk tetangga yang ikut rewang masak. "Biar tambah cerah cuacanya."
"Hu'um."
"Celana dalemnya Suci aja!" timpal yang lain. "Jangan punyanya manten. Nggak bakalan manjur! Hahahaha."