Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan yang Merenggut Keperawanan

16 September 2022   13:11 Diperbarui: 16 September 2022   13:13 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan yang Merenggut Keperawanan

Sepuluh tahun berlalu, kebencian Suci pada hujan masih sama. Tak peduli cuma gerimis yang turun sekejapan mata atau deras selama berjam-jam, ia selalu mengutuk keras hujan.

"Hujan sialan! Perawan mana lagi yang jadi hancur masa depannya gara-gara turun hujan begini?" Sering sekali Suci mengumpat seperti itu di depan banyak orang.  

Hampir semua orang di desanya tahu betapa Suci sangat membenci hujan. Sebagian besar dari mereka menertawakan, menganggap Suci lucu juga bodoh. Selebihnya tetap mencibir, sama persis seperti kejadian sepuluh tahun lalu.

Nasihat para tetua bahwa hujan membawa banyak berkah justru membuat Suci semakin meradang. Ia selalu mempertanyakan satu hal yang baginya teramat penting. Keberkahan macam apa yang membuat keperawanannya hilang begitu saja lantaran turun hujan.

Apa pun jawaban yang Suci dengar tentang hal-hal baik ketika hujan turun tidak mampu menyembuhkan luka hatinya. Ia tetap merasa harga dirinya telah tercabik-cabik parah. Lebih hancur dari suwiran daging sapi yang dijadikan abon curah. Atas semua sikapnya itu, ia terang-terangan mengambinghitamkan Mbah Wiroguno. Dukun sakti sekaligus sesepuh desa yang sangat dihormati, termasuk oleh orang tua Suci.

Suci baru berusia enam belas tahun saat Nastiti jadi pengantin. Sebelum acara resepsi digelar, beredar bisik-bisik warga di seluruh penjuru desa. Kakak perempuannya yang dikenal kalem dan jarang bergaul itu ternyata sudah hamil tiga bulan. Entah dari mulut siapa berita tersebut bermula. Yang jelas, sontak menjadi pergunjingan paling ramai yang pernah terjadi.

Meski demikian, tidak sedikit pun menyurutkan keinginan orang tua Nastiti untuk menyelenggarakan pesta pernikahan yang meriah. Perasaan malu dan kecewa pada putri sulung mereka tidak lebih besar dari bangga bisa berbesan dengan kepala desa.

Cepat atau lambat, pergunjingan akan reda dengan sendirinya. Lantas mereka beralih membicarakan kemeriahan pesta dengan penuh rasa takjub. Begitu ibu Nastiti berkeyakinan.

"Bahkan aku berani taruhan, Pak. Yang jadi biang gosip pasti ngamplopnya sedikit, tapi makannya paling banyak," ungkap kekesalan si ibu di depan suaminya.

Yang diajak bicara menghela napas panjang. Kemudian ia berkata, "Cukup sekali ini saja, kita jadi bahan omongan jelek orang-orang sekampung. Jangan sampai terjadi lagi. Aku malu, Bu."

Tanggal akad dan resepsi pernikahan sudah ditentukan. Tidak mungkin ditunda sampai musim panas tiba--waktu yang aman untuk menggelar pesta. Perut Nastiti pasti membesar, sulit untuk disamarkan di balik gaun pengantin yang pas badan.

Tidak menjadi masalah meskipun saat itu puncaknya musim hujan. Mbah Wiroguno yang terkenal sebagai pawang hujan paling mumpuni siap dimintai tolong. Sangat mudah bagi Mbah Wiroguno menunda hujan atau menggesernya ke wilayah lain. Tidak pernah ada satu pun catatan kegagalan selama ia menjadi pawang hujan.

"Jangan lupa sedekahan tolak bala! Mohon keselamatan dan kelancaran pada Gusti Allah," pesan Mbah Wiroguno tatkala dimintai bantuan.

Dengan mantap orang tua Nastiti menjawab, "Nggih, Mbah. Pasti itu."

Seperti sebelum-sebelumnya, Mbah Wiroguno pun pasti melakukan puasa mutih dan laku ngebleng sebagai ritual pendahuluan. Katanya, sesaji dan doa saja tidak cukup.

Tiga hari menjelang hajatan digelar, hujan tidak turun. Sekawanan awan kelabu tetap bergelayut. Namun, sedikit demi sedikit bergeser ke arah Alas Cemoro, malu-malu melintasi langit Desa Kedawung, sungkan dan tidak kuasa membasahi bumi. Padahal, sebelumnya setiap pagi hujan deras mengguyur desa, berhenti sebentar, lalu merintik lagi sampai malam walaupun tak seberapa deras. Orang-orang percaya bahwa kekuatan spiritual sang pawang mulai bekerja.

"Besok cuaca pasti cerah!" sesumbar pemilik hajat. "Banyak orang penting bakal datang, loh."

"Jangan lupa lempar celana dalem perawan ke atas rumah, Yu!" celetuk tetangga yang ikut rewang masak. "Biar tambah cerah cuacanya."

"Hu'um."

"Celana dalemnya Suci aja!" timpal yang lain. "Jangan punyanya manten. Nggak bakalan manjur! Hahahaha."

Ibu Nastiti bergegas pergi. Entah merasa gerah dengan ucapan para tetangga atau menyiapkan apa yang diusulkan. Bagaimanapun cepatnya zaman melaju, mereka masih percaya bahwa melempar celana dalam perawan ke atap rumah saat hajatan bisa mencegah hujan.

Pagi itu, Mbah Wiroguno menancapkan sapu lidi di tengah-tengah halaman rumah Suci. Di antara lidi-lidi itu telah ditusukkan bawang merah, cabe merah, kunyit, jahe, dan dlingo bangle yang jumlahnya ganjil. Tiga dan lima.

Tidak hanya sapu lidi berbumbu dapur yang ditancapkan. Sesaji komplit juga telah tersedia di atas tampah bambu. Pisang setangkep, kopi kental, teh manis, gecok bakal, sodo lanang, jajan pasar, polo pendem, kembang tujuh rupa, dan tak ketinggalan kemenyan madu.

Suci menyaksikan sendiri bagaimana semua sesaji dan ritual tolak bala dilaksanakan. Gadis remaja itu turut larut dalam sukacita. Suci mengajak sahabat-sahabatnya untuk menjadi pagar ayu dan pagar bagus. Tidak seperti Nastiti, ia punya banyak teman lelaki, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Bergaul akrab dan sering bepergian beramai-ramai.

"Sesaji lagi?"

"Iya," jawab Mbah Wiroguno dingin atas pertanyaan Suci.

Ia manggut-manggut seraya melihat laki-laki sepuh itu merangkai selembar daun pisang raja, suket grinting, kerikil, dan janur kuning jadi satu. Sesaji yang harus diletakkan di atap rumah---yang dipercaya---sebagai jembatan perantara alam kasatmata dengan alam kelanggengan. 

Esok harinya, sepuluh tahun lalu, menjadi hari terakhir Suci menyukai hujan.

Semua berjalan sempurna, andaikan sekelompok mendung tebal hanya lewat. Tidak menumpahkan air tanpa basa-basi. Tidak membuat kocar kacir para tamu yang sedang menikmati hiburan organ tunggal di halaman samping rumah. Tidak membuat tenda hijau lumut hampir terbang disambar angin.

Hari pernikahan Nastiti menjadi hari terenggutnya keperawanan Suci. Semua tidak akan terjadi, andaikan Suci tidak masuk ke dapur, di mana ibu-ibu rewang masak masih berkumpul. Andaikan dari dapur, ia tidak lari ke kerumunan tamu yang semula asyik joget dangdut.

"Wah, ini pasti yang dilempar bukan celana dalemnya perawan. Hahahaha."

"Loh, kamu juga udah ndak perawan to, Ci?"

"Mbakyunya yang anak rumahan saja, begitu. Apalagi Suci yang sobo dolan, sering montoran sono-sini sama lelaki."

"Gadis-gadis sekarang banyak yang sudah nggak perawan ternyata."

Beberapa kalimat serupa susul menyusul menghunjam hati Suci. Ucapan-ucapan nyinyir itu sontak mengalirkan darah kesedihan dan kemarahan yang tak mungkin bisa dilihat para penghujat.

"Sumpah! Aku masih perawan!" teriak Suci di antara tamu. "Dukunnya yang goblok, kok malah aku yang dituduh nggak perawan!"

Suci sempat menendang sapu lidi penangkal hujan ketika ditarik masuk ke rumah oleh ibunya.

"Hujan sialan!" teriak Suci lagi.

Mbah Wiroguno diam saja. Setidaknya karena gerakan komat-kamit bukan diartikan ia sedang bicara. Kali pertama kekuatan spiritualnya tidak mampu merayu alam semesta. Kali pertama sesaji di atap rumah tertutup celana dalam bekas pakai. Sesuatu yang tidak pernah ia perintahkan. Sungguh di luar dugaan.

Benar. Bisik-bisik tentang Nastiti yang telah berbadan dua sebelum nikah seketika mereda. Namun, bukan lantas membicarakan kemeriahan pesta. Sejak itu pergunjingan beralih topik, menganggap Suci tidak perawan lagi.

Bertahun-tahun kebencian Suci pada hujan kian menebal. Bagi perempuan lajang itu, hujan telah merenggut keperawanannya tanpa pernah satu kali pun ia berbuat zina. Sekuat hati ia menjaga diri dari jahanamnya nafsu lelaki, ternyata dihancurkan oleh deras air langit yang turun tiba-tiba.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun