Ada rasa malu menyelinap dalam hati. Namun, segera terhapus oleh bayangan bahwa bihun gorengku bisa menambah menu berbuka puasa keluarga Bu Mina. Ketimbang hanya ada tahu goreng, kerupuk dan sambel.
Aku merasa lebih beruntung. Setidaknya, selain bihun goreng, ada es timun suri dan semur tahu. Memberikan sepiring bihun goreng untuk Bu Mina adalah salah satu wujud syukurku pada Allah.
Sayangnya, Zahra tidak bersedia. Padahal sudah kujelaskan panjang lebar apa alasannya.
Zahra malah bertanya, "Mama yakin, Bu Mina beneran lagi prihatin? Lagi kesusahan? Dia aja gendut gitu."
"Astaghfirullah! Za, kamu kok mikirnya gitu, sih? Nggak ada hubungannya berat badan sama hidup susah, sama keprihatinan. Kita berbaik sangka aja. Luruskan niat. Gedein ikhlasnya. Selebihnya, biar jadi urusan Allah."
"Maafin Za, Ma."
"Iya, Mama maafin. Ummm, Za kuatir ya, makanan kita nggak cukup sampai sahur? Za nggak ikhlas?"
"Za ikhlas kok, Ma," jawabnya tegas. Tidak ada tanda-tanda kekesalan di wajahnya yang cantik. Aku jadi lega.
"Tapi tetep Mama aja ya, yang anterin. Maaf banget." Za memohon, sambil cengar cengir. Ah, dasar abege.
Aku berusaha sabar. Pendapat Za tentang Bu Mina, berbeda denganku. Dia bersikukuh lebih tahu tentang Bu Mina daripada aku. Ada benarnya, karena mereka sering bertemu di sekolah, juga berteman di Facebook. Sementara, aku jarang bermedsos ria. Keterbatasan budget untuk membeli paket data internet, menjadi alasannya.
Aku kadang ikut membaca status-status Bu Mina, saat memeriksa akun Facebook Zahra. Dari situlah aku tahu, keprihatinan hidup yang sedang dia jalani. Prosesnya belajar bersabar menghadapi ujian Allah. Juga tentang kegembiraannya, karena Allah sedang menaikkan derajat melalui kesusahan hidup dan keterbatasan harta. Dia mengunggahnya dalam kalimat-kalimat yang sangat bagus.