Setelah menerima kembalian, aku dan Bu Mina pulang bersama. Berjalan pelan beriringan, perempuan ini lalu bertanya, "Timun surinya mau dibikin es buah ya, Jeng?"
Rupanya dia tahu, aku tadi beli timun suri. "Cuma mo dicampur air jeruk kok, Bu. Serbuk sari jeruk yang sachet itu. Kalo es buah kan, buahnya macem-macem, pake susu, pake sirup. Komplit."
"Lah, lauknya?" tanya dia lagi. Aku merasa seperti diinterogasi.
"Bikin semur tahu sama bihun goreng, Bu."
Perekonomian keluargaku sedang anjlok. Terpaksa kami harus prihatin. Belanja lima belas ribu sehari harus cukup untuk buka puasa dan sahur bertiga. Beruntung putriku pengertian. Namun, rasanya tidak perlu memberi tahu orang-orang bahwa aku ini sedang prihatin.
Bukannya malu atau gengsi. Toh ibu-ibu yang jeli, pasti bisa menilai dari apa yang kubeli di tukang sayur. Tempe lagi, toge lagi. Teri lagi, oncom lagi. Boro-boro ayam, telurnya saja buatku terasa mahal. Alasannya hanya satu, aku tidak suka menyebut-nyebut kesusahan pribadi di muka umum. Ini prinsip. Jika orang lain berpikir sebaliknya, silakan saja.
"Kalo Bu Mina, tahunya mau dimasak apa?"
"Digoreng aja, tambah sambel, deh. Buat buka, saya suka teh manis anget. Gampang, murah meriah juga."
Aku sampai di rumah lebih dulu. Dia menolak dengan santun saat kupersilakan singgah. Zahra yang sedang menyapu teras, menghampirinya, mengucapkan salam, dan mencium punggung tangan Bu Mina. Dia guru matematika putriku di sekolah.
 ***
Sejak pulang belanja tadi, aku berniat memberi Bu Mina sedikit lauk. Jadi, malam ini hanya ada seporsi bihun goreng, bukan dua seperti biasanya. Aku yakin, sepiring bihun goreng dan sepuluh potong semur tahu yang imut-imut ini, cukup untuk makan kami bertiga sampai sahur. Insya Allah suamiku dan Zahra tidak protes.
Pukul 5.15 sore, semua hidangan siap. Kuminta Zahra mengantarkan sepiring bihun goreng ke rumah Bu Mina. Bihun goreng rumahan yang sangat sederhana, hanya diberi irisan kol, wortel dan bakso.