Mohon tunggu...
Mulia Siregar
Mulia Siregar Mohon Tunggu... Penggiat Media dan bekerja sebagai tenaga ahli di DPR RI -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serpong, Riwayatmu Dulu (Dari Mayat Tak Dikenal, Sarang Ular, hingga Kota Mandiri)

25 Januari 2018   04:13 Diperbarui: 25 Januari 2018   16:24 8337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempat buang mayat

Saat mengelola rubrik hukum dan kriminal sekitar tahun 1993 di koran Merdeka (milik BM Diah-wartawan senior/mantan Menpen era Soekarno), saya tidak bisa duduk manis di ruang redaksi menunggu berita dari wartawan. Karena terbiasa bekerja ''lapangan'', bila ada peristiwa menarik, saya kerap ''turun'' dan berbagi tugas dengan wartawan di tempat kejadian perkara (TKP). Endang Sudarma (almarhum) dan Geong Rusdianto (kini di RCTI/MNC Grup), adalah wartawan yang gigih dan menjadi andalan untuk liputan hukum dan kriminal. Karena belum ada handphone, informasi harus diperoleh langsung dari TKP. Hasil liputan bersama wartawan, saya sajikan dalam bentuk laporan utama yang menarik untuk dibaca.

Ketika itu, tidak jarang ditemukan tiga sampai empat mayat tak dikenal di hutan karet di kawasan Serpong. Paling sering di hutan kelapa gading (kini jalan raya di depan Ruko Mendrisio, Paramout Gading Serpong hingga Jalan BSD Raya Utama menuju perumahan Puspitek, Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Kondisi mayat rata-rata sangat memprihatinkan dengan sekujur tubuh penuh belatung.

Mungkin karena jauh dari permukiman penduduk, ditambah rimbunnya hutan pohon karet/pinus/kelapa gading dan tanah yang penuh rawa menjadikan kawasan ini aman bagi pelaku untuk membuang jenazah korban yang sebelumnya dihabisi di tempat lain. Tingginya tingkat kriminalitas di kawasan Serpong dan sekitarnya mengakibatkan banyak warga lebih suka bercengkrama di rumah atau dengan tetangga dekat pada malam hari.

Perahu bambu alat transportasi untuk menyeberangi sungai. Foto: http://history-of-culture.blogspot.co.id
Perahu bambu alat transportasi untuk menyeberangi sungai. Foto: http://history-of-culture.blogspot.co.id
Hingga tahun 1980-1990-an, Serpong sangat jarang diberitakan media massa, kecuali soal maraknya begal, mayat tak dikenal, kegiatan pemerintahan di kantor Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) serta peringatan Peristiwa Lengkong setiap tanggal 25 Januari yang kerap dihadiri veteran tokoh-tokoh nasional. Pertempuran Lengkong (25 Januari 1946) adalah peristiwa bersejarah dan heroik para pahlawan kita melawan pasukan Jepang di Desa Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan.

Lurah Musa dan ular siluman

Kala itu, Serpong adalah daerah terpencil dan merupakan hamparan hutan karet/pinus, kelapa gading dan rawa-rawa. Jumlah sekolah dan Puskesmas sangat minim. Rumah Sakit yang ada hanya RS Ashobirin. Tidak ada bioskop atau tempat hiburan. Hiburan warga kala itu antara lain pemutaran film layar tancap. Itu pun bila ada warga menggelar hajatan.

Mata pencaharian warga umumnya pegawai perkebunan karet, bertani padi, dan berdagang. Tidak banyak hasil yang bisa diharapkan dari gaji sebagai pegawai perkebunan, atau bercocok tanam di lahan milik sendiri. Sebab, persawahan di daerah ini umumnya tadah hujan. Panen hanya setahun sekali. Begitu pun hasil kebun, meski panen lumayan banyak, warga terkendala alat transportasi sulit untuk menjual ke pasar lama di Tangerang.

Kalau tidak ada keperluan penting, warga Cihuni, Cigaten, Kampung Sawah, Kampung Bugur, Pondok Jengkol, Curug Sangereng, Rawa Buaya, sebisa mungkin menghindari berpergian ke Tangerang. Untuk ke Tangerang, mereka harus naik getek karena daerah tersebut terbelah oleh Kali Cisadane yang cukup lebar. Jembatan penyeberangan hanya ada di Cisauk Serpong yang dibangun masa penjajahan Belanda.

Salah seorang warga Pondok Jengkol, Jaro Gani menuturkan, ia dan keluarga pergi ke Tangerang hanya saat menjelang Lebaran untuk beli baju baru. Namun mereka harus naik getek yang disediakan Haji Endi secara cuma-cuma untuk menyeberangkan warga ke Jalan Raya Serpong.

Haji Endi dikenal banyak orang sebagai tuan tanah yang baik hati, ringan tangan dan kerap menolong warga sekitar. Pak Haji yang masih kerabat dekat artis Jaja Miharja ini mengupah seorang petugas getek untuk menolong warga yang hendak menyeberangi sungai dari Desa Cihuni menuju Jl Raya Serpong, jalan raya satu-satunya ketika itu. Kedua wilayah tersebut baru ''terhubung'' setelah tiga jembatan besar --mampu dilewati truk bermuatan berat-- selesai dibangun tahun 1990-an. Ketiga jembatan berlokasi di Jl SKKT, Desa Cihuni, yang dibangun oleh SK Keris, di pintu masuk perumahan Gading Serpong, dan Jalan Grand Boulevard BSD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun