politik yang semakin menguat dan mencuat, menuai sensasi, asumsi dan mengundang ragam anasir dalam memandang situasi kondisi politik yang sedang berkembang sekarang.
GeliatSensasional, pergerakan politik dalam menanti hajat terbesar dalam berdemokrasi pada laga pemilu tahun 2024, terutama persoalan siapakah yang akan menjadi Presiden pada masa berikutnya?Â
Kader (jagoan) sendiri-kah atau kader (jagoan) dari calon yang diusung dari rival politikÂ
Pilihan seputar calon presiden tema yang sangat sensasional, menarik para politikus untuk menabuh genderang perang sedini mungkin, dengan menciptakan kegaduhan untuk memancing bahkan 'tool' dalam membaca pergerakan lawan.
Sejauh ini, ada dua tampilan sikap yang mengemuka dari prilaku para elit dan partai politik jelang pilpres. Pertama, bersikap adem ayem (tenang). Dan kedua, cenderung bersikap grasak-grusuk (noise).Membangun Image partai dan citra diri dengan menggunakan metoda yang persuasif demi meraih simpati pemilih.Â
Dengan kaidah klasik, dalam rumus perpolitikan. Politik bukan berbicara tentang benar dan salah secara normatif, tapi lebih tertuju pada motif, diantara kata 'menang atau kalah'.Â
Rumus (hukum) politik ini berlaku sepanjang masa dalam ranah kekuasaan, pada konteks politik praktis. Yang dilakukan para politikus, siapa dan dimanapun.
Terlepas apapun platform dasar ideologinya. Nasionalis, Komunis, bahkan ideologi yang Agamis. Berpijak pada hukum politik, tujuan hanya satu yaitu kata menang.
Semaraknya ditengah gencarnya monuver politik dari politisi parpol. Tentunya bermuara kepada konteks ini. Apapun cara akan dilakukan untuk meraih tujuan.
Curi star, meggunakan instrumen penjaringan bakal calon, berkoalisi membangun poros kekuatan, merupakan upaya menujukan diri dalam menancapkan taji, cakar, jari serta 'auman'Â suara mana yang paling kuat untuk didengarkan.
Ajang kompetisi ketat yang serius, penuh seleksi alam demi lolos dalam mengejar tiket ambang batas legislatif sampai dengan jaminan kursi tertingi di eksekutif.
Pertemuan pentolan partai, perjamuan dalam Rakernas dua partai besar. Mengisyarat nuansa lain menyertai agenda rutin parpol tersebut, rencana peta politik kedepannya.
Faktanya, telah terbentuknya koalisi Koalisi Indonesia Baru, Barisan Koalisi Semut Merah, dan bayangan akan terbentuk koalisi baru dengan nama Koalisi Indonesia Raya, mengarahkan kerarah ini bukan.
Adalah hasil dari rangkaian safari selama ini, tersirat negosiasi politik seputar perkembangan iklim politik yang sedang berkembang, langkah gerak cepat dalam merespon dinamika politik sekarang.
Hal ini menurut kacamata awamologi penulis, sungguh menarik dan tanda tanya besar? Politik itu selalu ada kejutan, yang tak terduga-duga, gimana endingnya. Hanya berupa teka-teki.
Perumpamaan politik, bak pengolah Bisnis Ikan Pancing, dalam memikat atau menjaring para pelanggan atau pemancing lain. Dengan kiat yang menarik.
Seperti melepas Ikan yang bugar-bugar, besar-besar ke kolam pancing. Lalu, diekspos sedemikian rupa, informasi menyasar pada pemancing ternama ikut serta untuk merapat ke kolamnya.
Tak ubah dalam politik itu sendiri, genderang yang riuh mungkin saja memiliki tujuan. Membangun relasi atau membangun kerangka opini yang sengaja diembuskan. Bersifat Settingan.Â
Mungkin hal ini seperti dalam Film Bollywood berjudul 'Thugs Of Hindostan' yang diperankan Amir Khan, Amitabh Bachchan, dan Katrina Kaif.
Penonton bisa dibuat geram, mencaci maki Amir Khan. Yang selalu berbuat licik, jahat, bekerjasama pada musuh, berkhianat kepada teman-temannya. Tapi, justru yang sebenarnya adalah siasat (skenario) cerdik, cara mengalahkan para penjajah oleh Amir Khan.
Karena ramainya perbincangan politik, yang menarik dari sekian banyak parpol yakni tertuju pada satu parpol besar, yang dinilai masih belum tegas keputusannya, soal presiden yang diusung.
Masih kalem dalam kandangnya. Belum terdengar jelas aumam 'intruksi' suara Harimaunya, apakah ini sedang mengintai, menghitung waktu yang tepat untuk menerkam mangsa agar tak meleset. Entahlah.
Disertai sikap parpol yang terkesan bersikap membiarkan kader potensialnya seakan tidak diberi kesempatan maju, namun justru memberikan angin restu pada sosok putri sang ketua.Â
Publik geram. Sosok yang diharapkan seperti dibully, ditekan dalam posisi yang membingungkan. Kala partai yang lain pada riuh saling bakusapa. Kandang sendiri dibiarkan bakuhantam, pergesekan antara sang Ketua DPR dengan Gubenur Jawa Tengah.
Sang empunya partai belum mengariskan keputusan bakal calon yang akan diusung. Masih bersifat tanda tanya bagi umum, siapakah bakal yang akan ia dukung nanti? Entahlah.
Menariknya, parpol besar ini bermain cantik seperti cerita pada drama kolosal 'Thugs Of Hindostan', Â dimana penonton dibuat bertanya-tanya, menebak-nebak alur cerita.
Skema naskah cerita jadi semakin apik jika memiliki kejutan yang tidak terduga bagi penonton, plot cerita dibuat seapik mungkin membuat rasa penasaran akan jalan cerita. Geram plus kesal tentunya.
Tanpa disangka-sangka, tokoh antagonis dan protagonis bisa berangkulan. Bahkan sosok yang antagonis, memang peran. Dibuat seperti jahat, protagonis dibuat teraniaya sebisa mungkin.
Dan endingnya sang protogonis dan antagonis adalah satu keluarga yang memiliki tujuan menang dari para musuh. Dalam mengalahkan mereka, perlu adanya skenario yang tidak bisa ditebak orang diluar kandang, bahkan dalam kandang sendiri.
Siapakah aktor, sutradara, produser, dan editornya.
Yang mampu membuat penonton terkesima, marah-marah, dan sebagainya. Bagus banget filmnya, alurnya hebat, endingnya dahsyat.
Seperti inilah gambaran politik menurut penulis, yang sedang dilakukan oleh partai Banteng, PDI Perjuangan. Memperagakan skenario bermain cantik.
Dengan pemainya, Megawati, Jokowi, Ganjar Pranonowo, Puan Maharani dan para elit tertentu bermain. King Maker, Making Maker, Play Maker yang sedang bermain peran.Â
Buk Megawati menggunakan ketuk palu pada menit terakhir, meski bergaya keras terkesan arogansi. Pada sisi lain ia punya kalkulasi politik yang tajam, dalam membaca animo publik yang berkembang. Klimaknya, sang ketua umum menggunakan kuasa yang cantik, yakni menentukan Ganjar daripada putrinya. Lantas, Euforia publik tentunya gimana gitu...
Presiden Jokowi disisa waktu kepemimpinannya, dapat mengakomodir basis massa yang kini masih sangat solid, mencengkram para menteri dari perwakilan parpol dalam kabinetnya. Serta kuasanya itu, berguna kala politik semakin panas.
Sosok yang dapat menetralkan suasana dari riuhnya akan dinamika politik, atas calon yang ia dukung dan barisan pendukung paslon lain yang lazim menciptakan tensi dan sensi politik yang terkadang bergejolak.
Ganjar berperan sedemikian rupa, kiat untuk membaca respon publik, serta sikap tenang-tenang wae cara cantik dapat memantik simpatik publik. Plus, konsistensinya pada partai ditengah godaan dan rayuan mulai mendekatinya.
Puan dan kawan-kawan elit, disengaja berprilaku untuk memicu kegeraman, pemicu kerengangan pada Ganjar. Pointnya, yakni menampung animo arus besar dari publik pada satu titik lalu mengkristal pada sang Gubernur Jateng.
Endingnya? Mungkin Megawati tentunya pasti berpikir kearah itu, Ganjar Capres dan Puan dijadikan ketua umum PDI P secara aklamasi melanjut trah Soekarno, melanjutkan tongkat estafet Ibunya.Â
Mungkin kira-kira skema kisruh dari partai moncong putih. Publik bebas menilai. Yupss, kita tunggu jalan ceritanya.
Salam
#Hanya Asumsi Semata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H